Rabu, 30 April 2025

Literasi Dana Pensiun, Simulasi Tabungan Pensiun berdasarkan Gaji dan Target Dana

Apakah punya tabungan pensiun atau dana pensiun pasti sejahtera di hari tu? Jawabnya jelas belum tentu. Karena tabungan pensiun bukan untuk menjamin kekayaan atau kesejahteraan di masa pensiun, melainkan untuk memastikan ketersediaan dana untuk hari tua. Sebutlah namanya “kesinambungan penghasilan di masa pensiun”. Karena sejatinya, di usia pensiun, siapapun tidak lagi bekerja dan tidak punya gaji lagi. Jadi, dari mana sumber penghasilan untuk membiayai hidupnya? Di situlah, tabungan pensiun atau dana pensiun diperlukan.

 

Lalu, bagaimana simulasi tabungan pensiun atau dana pensiun berdasarkan gaji dan target dana? Sebagai contoh saja, sebut saja Si A sebagai karyawan perusahaan swasta di Jakarta, saat ini berusia 32 tahun dan gajinya Rp. 10 juta. Dia akan pensiun di usia 56 tahun, dengan prediksi membutuhkan pengeluaran bulanan saat pensiun nanti Rp. 5 juta. Rencananya, dia akan menabung untuk pensiun 10% dari gaji setiap bulan, berarti sebesar Rp. 1 juta per bulan sebagai tabungan pensiun. Estimasi imbal hasil investasi 5% dan estimasi inflasi per tahun 4%.

 

Maka hasil simulasi tabungan pensiunnya, diperoleh data total tabungan pensiun yang terkumpul (Akumulasi 10% dari gaji Rp10 juta) dalam 24 tahun masa kerja, jika diinvestasikan dengan return 5% per tahun maka dana yang terkumpul saat pensiun mencapai Rp 555 juta. Sementara total dana yang dibutuhkan Si A mencapai Rp 2,33 miliar untuk membiayai 29 tahun masa pensiun, dari 56 tahun sampai usia 85 tahun. Dari simulasi tersebut, maka terjadi “kesenjangan” tabungan pensiun yaitu Rp 2,33 miliar (dana yang dibutuhkan saat pensiun) dikurangi Rp 555 juta (proyeksi dana yang terkumpul), maka terjadi kekurangan sebesar  Rp1,78 miliar. Masih kurang ya? Tentu, namun dana untuk masa pensiun tersedia. Bandingkan dengan mereka karyawan yang tidak punya tabungan pensiun.

 


Karena itu, sebagai solusi atas tabungan pensiun yang masih kurang, mungkin dapat diantisipasi dengan 1) tingkatkan persentase tabungan pensiun menjadi minimal 20–25% dari gaji (sekitar Rp2–2,5 juta/bulan), 2) memilih instrumen investasi dengan imbal hasil lebih tinggi, seperti DPLK atau reksa dana saham, 3) melakukan evaluasi tahunan untuk menyesuaikan perubahan gaji dengan iuran pensiun, 4) menurunkan target pengeluaran bulanan pensiun, dan 5) menggabungkan dengan aset lain sepertiproperti atau passive income.

 

Intinya, siapapun perlu menyiapkan tabungan pensiun sejak dini. Agar tersedia kepastian dana untuk masa pensuun, di samping bisa mendapatkan imbal hasil investasi yang optimal karena sifatnya jangka panjang. Agar tersedia kesinambungan dana untuk masa pensiun, saat tidak bekerja lagi. Patut dipahami, survei membuktikan 1 dari 2 pensiunan di Indonesia sangat mengandalkan biaya hidupnya dari transferan anaknya (ADB, 202$), bahkan 9 dari 10 pekerja di Indonesia sama sekali tidak siap pensiun atau berkenti bekerja. Sebabnya, karena tidak tersedianya dana yang cukup untuk masa pensiun.

 

Maka sederhana, jangan tunda lagi untuk memiliki tabungan pensiun atau dana pensiun, Kalau bukan kita, mau siapa lagi yang siapkan pensiun? Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDanaPensiun #DPLKSAM

 


Literasi Kaum Sarungan, Berteman dengan Kesederhanaan

Cuma gara-gara sarung, saya sih nggak masalah dibilang kampungan. Karena sarung hanya simbol doang kok. Agar lebih legowo dan mau menerima realitas apa adanya. Sementara banyak orang sibuk membahas “ijazah palsu”, keracunan di MBG, hingga dokter PPDS. Justru saat sarungan, saya diingatkan untuk tidak mengejar kesempurnaan dalam hal apa pun. Kaum sarungan ya sederhana saja. Tidak mau bertuhan pada kemewahan. Hanya bisa berteman pada kesederhanaan.

 

Saat sarungan, tidak ada lagi orang besar atau orang kecil. Tidak ada pangkat atau jabatan. Semuanya sama saja dan setara. Karena sarung tidak pernah membeda-bedakan orang. Apalagi kasta sosial. Kan mottonya, “sarung untuk semua”. Mungkin, bila ada hari ini orang yang mau menahan ego, pasti dia kaum sarungan. Tidak suka asal omong, apalagi celoteh yang tidak ada gunanya. Kaum sarungan selalu percaya. Tidak ada masalah yang kelar, bila modalnya hanya omongan dan celotehan.

 

Di zaman begini. Makin banyak orang sudah tidak suka lagi sarungan. Tida elit, kurang prestise. Memakai sarung tidak keren. Pantas, makin banyak yang sulit menahan diri. Terlalu emosinal dan mudah tersinggung. Gampang iri dan benci ke orang lain. Mentalitasnya jadi “korban”, selalu menyalahkan orang lain. Seolah-olah apa yang terjadi pada dirinya akibat ulah orang lain. Mungkin, karena jarang sarungan ya.

 


Kata pepatah, “bagai menghasta kain sarung”. Artinya, jauhilah perbuatan yang sia-sia. Tidak usah banyak berbicara bila tidak mampu memilih kata-kata. Cukup kerjakan saja yang baik, tebarkan yang bermanfaat. Kaum sarungan selalu sadar bahwa bahagia itu bukan milik orang-orang yang hebat. Tapi milik orang-orang yang realistis. Sehingga mampu menemukan hal sederhana dalam hidupnya dan tetap bersyukur dalam segala keadaan. Kaum yang tidak resah bila ada yang membencinya. Apalagi hanya urusan dunia. Kaum sarungan hanya takut bila dibenci Allah SWT. Karena tidak mau menebar kebaikan dan kemanfaatan kepada orang lain.

 

Mungkin kita sudah lupa. Sarungan itu ada adabnya, ada akhlaknya. Untuk selalu hidup sederhana dan berani menahan ego. Sekaligus menjaga diri dari nafsu dunia. Dan sarung selalu melindungi apapun yang ada di dalamnya; selalu bersyukur atas apa yang sudah dimilikinya. Tapi sayang, mulut manusia itu tidak ada sarungnya, jari-jari tangan di medsos pun tidak ada sarungnya. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka

Selasa, 29 April 2025

Potensi Dana Manfaat Lain dan Iuran Sukarela di DPLK?

Ada yang bertanya, kira-kira berapa potensi dana yang bisa dikumpulan dari manfaat pensiun lainnya, manfaat lain, manfaat pensiun secara berkala, dan iuran sukarela di DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan)? Sebelum menjawab itu, mungkin ada baiknya kita mengingat landasan hukum-nya sesuai dengan POJK No. 27/2023 tentang Penyelenggaraan Usaha Dana Pensiun. Ditegaskan pada Pasal 83 ayat 1) Selain menyelenggarakan Program Pensiun, Dana Pensiun dapat menyelenggarakan program yang memberikan Manfaat Pensiun lainnya dan/atau manfaat lain kepada Peserta dan/atau Pihak yang Berhak. Manfaat Pensiun lainnya dan/atau manfaat lain merupakan pilihan tambahan kepada Peserta.

 

Adapun Jenis Manfaat Pensiun lainnya, antara lain: a) dana kompensasi pascakerja, b) dana manfaat tambahan, c) dana santunan Disabilitas, d) dana santunan kematian; dan e) dana santunan kesehatan pensiunan. Sedangkan manfaat lain, antara lain: a) dana pendidikan untuk anak, b) dana perumahan, c). dana ibadah keagamaan, dan d) dana santunan kesehatan karyawan.  Maka untuk menyelenggarakan Manfaat Pensiun lainnya dan/atau manfaat lain, setiap dana pensiun wajib terlebih dahulu mengaturnya dalam Peraturan Dana Pensiun (sesuai ayat 2 Pasal 83).

 

Nah, berapakah potensi dana yang dapat dikumpulkan dalam program manfaat pensiun lainnya dan manfaat lain di DPLK? Sebagai ilustrasi sederhana saja, potensi dana yang terkumpul untuk program manfaat pensiun lainnya (khusus dana kompensasi pascakerja) dengan indikator: 1) jumlah peserta: 100.000 pekerja, 2) iuran per peserta per bulan: Rp100.000, 3) jangka waktu kepesertaan: 10 tahun (120 bulan), dan 4) asumsi imbal hasil investasi: 7% per tahun (atau sekitar 0,583% per bulan) diperkirakan nilai Future Value (FV) untuk satu peserta mencapai Rp17.390.000. Maka bila mampu mencapai 100.000 peserta, akan terkumpul dana kompensasi pascakerja sebesar Rp1.739.000.000.000 (satu triliun tujuhratus tiga puluh sembilan miliar rupiah). Artinya, ada potensi dana kompensasi pascakerja sebesar Rp1,739 triliun (untuk 100.000 peserta, iuran Rp100.000 per bulan selama 10 tahun, dengan return 7% per tahun). Tentu saja, ilustrasi ini perlu didalami lebih lanjut namun harus dipahami pembayaran kompensasi pascakerja (uang pesangon) merupakan hak pekerja yang wajin dibayarkan pemberi kerja kepada pekerja bila terjadi pensiun, meninggal dunia atau di-PHK. Karena itu, DPLK dapat menjadi pilihan untuk pendanaan kompensasi pascakerja.

 

Sedangkan untuk potensi dana yang terkumpul dari program manfaat lain, sebagai contoh khusus dana ibadah keagamaan. Bila seorang pekerja ingin berangkat umroh dengan target dana Rp. 100 juta melalui manfaat lain Di DPLK. Maka diperoleh simulasi target dana ibadah keagamaan (umroh) Rp100.000.000, dengan return investasi 5% per tahun (0,4167% per bulan), si peserta harus menyetor iuran bulanan manfaat lain sebesar Rp643.700 selama 10 tahun. Dengan Demikian, program manfaat lain ibadah keagamaan perlu disosialisasikan untuk peserta DPLK yang berada di kisaran usia 30-40 tahun. Seandainya saja, dana ibadah keagamaan di manfaat lain DPLK diikuti 10.000 peserta, maka akan terkumpul dana sebesar Rp. 1 triliun selama 10 tahun atau Rp. 77,244 miliar per bulan di DPLK. Skema manfaat lain di DPLK, prinsipnya semakin lama jangka waktu, semakin kecil iuran bulanan yang disetorkan.

 


Bagaimana dengan manfaat pensiun secara berkala? Kita tahu aturannya, pembayaran Manfaat Pensiun secara berkala dibayarkan oleh Dana Pensiun (ayat 4) yang dipilih peserta DPLK, maka harus memenuhi ketentuan: Dibayarkan secara berkala berdasarkan pilihan Peserta, Janda/Duda, atau anak untuk periode paling singkat 10 (sepuluh) tahun setelah Peserta mencapai usia pensiun sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan Dana Pensiun. Opsinya, perhitungan periode pembayaran Manfaat Pensiun secara berkala terhitung periode paling cepat adalah 10 (sepuluh) tahun sampai dengan 25 (dua puluh lima) tahun setelah Peserta tersebut mencapai Usia Pensiun Normal. Ditinjau dari potensi dana yang terkumpul, sesuai dengan data yang ada (unaudited), pembayaran manfaat pensiun DPLK lebih dari Rp. 500 juta dalam 4 tahun terakhir (2021-Juni 2024) rata-rata sekitar 35% dari total manfaat yang dibayarkan, yang berarti seharusnya manfaat pensiun dibayarkan secara berkala/bulanan. Dari Rp. 12,6 triliun manfaat pensiun DPLK yang dibayarkan setiap tahunnya, terdapat Rp. 4,5 triliun nilai manfaat pensiun di atas Rp. 500 juta (setelah pengambilan manfaat pertama sebesar 20%). Ini berarti, potensi manfaat pensiun DPLK yang dibayarkan secara berkala sekitar Rp. 4,5 triliun per tahun. Artinya, potensinya sangat besar.

 

Sedangkan untuk iuran sukarela di DPLK, selain iuran bulanan atau reguler, peserta dana pensiun bisa menambahkan iuran sukarela untuk meningkatkan manfaat pensiun yang akan diterimanya saat pensiun. Iuran sukarela dana pensiun adalah tambahan iuran yang berasal dari peserta dana pensiun (baik DPPK maupun DPLK) untuk meningkatkan manfaat pensiunnya. Iuran sukarela bisa bersifat rutin dengan jumlah nominal tertentu atau tidak rutin sebagai sarana menabung untuk masa pensiun seperti saat terima bonus atau THR. Maka iuran sukarela di DPLK menjadi penting, untuk meningkatkan tingkat penghasilan pensiun (TPP) saat manfaat pensiun dibayarkan sebagai antisipasi terhadap tingkat penghasilan pensiun aktual di Indonesia yang hanya mencapai 10-15% dari gaji terakhir, dan tergolong sangat rendah.

 

Ditinjau dari potensi dana yang terkumpul untuk iuran sukarela di DPLK, sangat tergantung pada partisipasi peserta, nominal iuran, dan jangka waktunya. Contoh sederhana, potensi aset dari iuran sukarela di DPLK dengan asumsi jumlah peserta 1.000 orang, iuran sukarela per peserta: Rp500.000 per bulan, dengan rata-rata imbal hasil investasi (return): 7% per tahun dalam jangka waktu 20 tahun. Maka total potensi dana kelolaan iuran sukarela dari 1.000 peserta DPLK mencapai Rp263 miliar. Potensi dana kelolaan iuran sukarela di DPLK sangat dipengaruhi oleh 1) jumlah peserta aktif yang ikut serta, 2) konsistensi dan besaran iuran, 3) kinerja investasi DPLK, dan 4) biaya pengelolaan. Tentu saja, potensi dana iuran sukarela dapat menjadi aset jangka panjang yang signifikan untuk individu dan dapat meningkatkan skala ekonomi DPLK secara institusional.

 

Sekali lagi hanya ilustrasi, bila semua program tersebut (manfaat pensiun lainnya, manfaat lain, manfaat pensiun secara berkala, iiuran sukarela) dikelola oleh satu DPLK, maka potensi dana yang terkumpul per tahun terdiri dari 1) manfaat pensiun lainnya (dana kompensasi pascakerja) untuk 100.000 peserta Rp. 173 miliar, 2) manfaat lain (ibadah keagamaan) utuk 10.000 peserta Rp. 100 miliar, 3) manfaat pensiun secara berkala Rp. 4,5 trilun, dan 4) iuran sukarela untuk 1.000 peserta mencapai Rp. 21,9 miliar. Maka total per tahun dana kelolaan DPLK tersebut bertumbuh mencapai Rp. 4,794 triliun per tahun.

 

Jadi bagaimana, tertarikkah untuk mengotmalkan layanan manfaat pensiun lainnya, manfaat lain, manfaat pensiun secara berkala, dan iuran sukarela di DPLK? Semuanya terserah kita, kalua tidak sekarang mau kapan lagi? Salam #YukSiapkanPensiun #DPLKSAM #EdukatorDanaPensiun

 

Catatan Literasi, Kenapa Harus Berubah?

Seorang kawan cerita tentang dirinya yang sedang kecewa, lalu meminta saran? Saya katakan, kecewa itu biasa. Semua orang pernah kecewa. Kecewa juga fakta, tinggal kita menyikapinya mau bagaimana? Mau kecewa terus atau move on untuk menjadi lebih baik.

 

Kehidupan yang dijalani siapapun tidak selalu berjalan seperti yang dikehendaki. Selalu ada pasang-surut. Hari ini berhasil besok gagal. Hari ini senang besok sedikit, begitu silih berganti. Maka kecewa selalu ada, entah karena ulah orang lain atau atas sebab diri sendiri. Rasa kecewa pasti muncul saat kita gagal melakukan sesuatu. Tidak berhasil mendapatkan sesuatu yang diinginkan, pasti kecewa.

 

Helen Keller pernah mengajarkan kita untuk tidak terlalu terjebak dalam kekecewaan atau kehilangan. Ketika sebuah “pintu” tertutup—entah itu kesempatan yang hilang, kegagalan, atau akhir dari sesuatu, kita sering terlalu fokus pada rasa sedih atau penyesalan, sehingga melewatkan peluang baru yang mungkin sudah ada di depan mata. Terjebak pada rasa kecewa yang berlebihan.

 

Tabir kecewa selalu ada pada setiap orang. Karenanya, siapapun penting memiliki perspektif yang terbuka dan fleksibel. Bersikap realistis dan melangkah pergi. Sebab kehidupan selalu penuh dengan perubahan, dan setiap akhir sering kali menjadi awal dari sesuatu yang baru. Dengan menerima apa yang sudah berlalu dan mengalihkan perhatian kita ke peluang baru, kita bisa menemukan jalan lain yang mungkin lebih baik dan lebih sesuai dengan tujuan hidup kita.

 

Jangan larut dalam kecewa. Karena the show must go on. Hidup terus berjalan dan keberanian untuk melihat ke depan adalah kunci untuk menemukan kebahagiaan yang baru.

 

Ada benarnya, kunci perubahan dan gairah hidup itu ketika memusatkan seluruh energi bukan melawan yang lama, tetapi membangun yang baru. Membuang jauh rasa kecewa dan masa lalu. Kata Socrates, perubahan hidup bukan datang dari kemarahan terhadap masa lalu. Tapi dari keberanian untuk membentuk masa depan. Terlalu banyak orang terjebak dalam dendam, rasa kecewa, penyesalan, dan amarah terhadap apa yang sudah terjadi sehingga seluruh energinya habis untuk melawan bayangan yang tidak bisa diubah. Terlalu meratapi masa lalu dan kekecewaan.

 


Kata Socrates lagi, untuk melepaskan beban masa lalu bukan dengan melupakannya. Tapi dengan memilih untuk tidak lagi diperbudak olehnya. Energi yang dihabiskan untuk melawan hanya akan melemahkan. Tapi energi yang dipusatkan untuk membangun sesuatu yang baru, pasti memberi harapan, kekuatan, dan jalan untuk tumbuh lebih luar biasa

 

Ketahuilah, hidup kita tidak ditentukan oleh apa yang telah rusak, tapi oleh apa yang berani kita bangun setelahnya. Perubahan bukan tentang melawan bayangan lama tapi tentang menyalakan cahaya baru. Jadilah literat!

 

Senin, 28 April 2025

Hanya 5% Pensiunan yang Menggantungkan Hidupnya dari Uang Pensiun, Kok Bisa?

Faktanya, mayoritas lansia atau pensiunan di Indonesia bergantung pada keluarga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.  Menurut laporan Badan Pusat Statistik (2025), sebanyak 84% lansia atau pensiunan menggantungkan kebutuhan hidupnya dari penghasilan anggota rumah tangga yang bekerja. Sementara itu, 11% bergantung pada bantuan dari pihak lain, 5% dari uang pensiun, dan sedikit yang bergantung pada investasi yang dimiliki. Konsekuensinya lainnya, banyak pensiunan yang “terpaksa” bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, meskipun seharusnya sudah memasuki masa pensiun.

 

Di sisi lain, setelah memawancarai 20 pensiunan di Jakarta, untuk mengetahui berapa besaran kebutuhan biaya hidup di masa pensiun (dengan perkiraan gaji terakhir Rp. 10.000.000,- per bulan), maka diperoleh informasi pengeluaran bulanan pensiunan yang terdiri dari: makan, belanja bulanan, biaya air + listrik, internet, gaya hidup, asuransi Kesehatan, dan lain-lain diperoleh jumlah kebutuhan bulanan pensiunan mencapai Rp. 5.600.000,- (lima juta enam ratus ribu rupiah) per bulan atau setara 56% dari gaji terakhir. Bila saat ini tingkat penghasilan pensiun (TPP) orang Indonesia berada di 10% dari gaji terakhir, maka pensiunan memgalami kekurangan untuk biaya hidup sebesar Rp. 4.600.000,- (empat juta enam ratus ribu rupiah) atau kekurangan TPP sebesar 46% dari gaji terakhir. Dengan demikian, dapat dikatakan tingkat penghasilan pensiun (TPP) pekerja saat ini mengalami kekurangan 46% dari gaji terakhir. Kondisi ini tentu menjadi sebab pensiunan gagal mempertahankan standar hidup di hari tua, di samping mengalami masalah keuangan di masa pensiun. Angka TPP ini tentu jauh di bawah dari biaya hidup ideal untuk menjaga gaya hidup yang nyaman di masa pensiun, yang membutuhkan Rp16,52 juta per bulan (Kompas, 2022) atau setara dengan 90% dari gaji terakhir.

 

Hanya 5% pensiunan yang menggantungkan hidupnya dari uang pensiun, sementara 84% pensiunan bergantung secara finansial dari keluarganya. Sementara usia harapan hidup orang Indonesia kini mencapai 72 tahun. Bila pensiun di usia 55 tahun, anak-anak atau keluargan akan menanggung “beban ekonomi” ornag tuanya selama 17 tahun masa kehidupan. Bila kondisi ekonomi anak atau keluarag mencukupi mungkin tidak masalah, tapi bagaimana bila anak atau keluarga tidak punya dana yang cukup?

 


Sebagai antisipasi kondisi pensiunan dan lansia di Indonesia seperti sekarang, mau tidak mau, dana pensiun harus meningkatkan peran pentingnya dalam menjamin kesinambungan penghasilan di masa pensiun sekaligus untuk meningkatkan tingkat penghasilan pensiun (TPP) atau replacement rate pekerja di Indonesia. Karena melalui dana pensiun, seorang pekerja akan memiliki sumber penghasilan yang stabil di hari tua, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup dan menjaga kualitas hidup di hari tua tanpa perlu bergantung kepada anak atau keluarganya. Adalahtantangan dana pensiun swasta, untuk melakukan optimalisasi peran dana pensiun yang terdiri dari; 1) meningkatkan literasi dan edukasi keuangan, khususnya sosialisasi pentingnya manfaat dana pensiun ke masyarakat umum, pekerja formal, dan informal, 2) melalukan diversifikasi produk dan layanan untuk menyediakan lebih banyak pilihan program pensiun sesuai profil risiko dan kebutuhan peserta, dan 3) menyediakan akses digital dana pensiun yang mudah dan terpercaya. Di sisi lain, dana pensiun harus mampu  menjawan tantangan dana pensiun seperti peningkatan tata kelola, penguatan kinerja investasi, kolaborasi dengan perusahaan/pemberi kerja, mendorong kepesertaan di sektor informal, peningkatan insentif pajak, sinergi dengan kebijakan pemerintah, dan penerapan manajemen risiko yang efektif. Agar nantinya, pensiunan atau lansia di Indonesia tidak lagi bergantung secara finansial kepada anak atau keluarganya. Salam #YukSiapkanPensiun #DPLKSAM #EdukasiDanaPensiun



Minggu, 27 April 2025

Berapa Tingkat Penghasilan Pensiun Pensiunan di Indonesia?

Kajian dan informasi tentang tingkat penghasilan pensiun (TPP) atau replacement rate pensiunan di Indonesia tergolong langka. Hampir tidak ada acuan yang baku tentang seberapa besar penghasilan di masa pensiun yang pas untuk orang Indonesia? Tidak ada pula “angka nyata” rata-rata secara agregat yang diterima oleh pensiunan di Indonesia saat ini. Belum lagi bila dikaitkan dengan alasan subjektif yang menyatakan kebutuhan biaya dan rumah tangga setiap orang berbeda-beda, standar hidup berbeda, dan tingkat konsumsi bulanan pun berbeda. Oleh karena itu, patokan tingkat penghasilan pensiun hanya dapat diprediksi berdasarkan data-data yang ada.

 

Bila kita sebagai pekerja formal, dengan asumsi hanya memiliki program pensiun wajib (seperti: Jaminan Hari Tua dan Jaminan Pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan) dan memiliki gaji terakhir sebelum pensiun Rp. 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) per bulan, maka diprediksi tingkat penghasilan pensiun (TPP) yang diperoleh hanya 10% dari gaji terakhir atau sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) per bulan tanpa diketahui akan berlangsung berapa lama terjadi setelah pensiun. Angka TPP ini hanya membandingkan gaji terakhir sebelum pensiun dengan tingkat penghasilan yang diperoleh dari program pensiun wajib sebagai manfaat pensiun setelah si pekerja pensiun. Hal ini berarti, seorang pekerja dengan gaji terakhir Rp. 10.000.000,- (sebelum pensiun) hanya akan ter-cover biaya hidupnya di masa pensiun sebesar Rp. 1.000.000,- (setelah pensiun) atau terjadi penurunan penghasilan sebesar 90% dari gaji terakhir.

 

Sementara itu, setelah memawancarai 20 pensiunan di Jakarta, untuk mengetahui berapa besaran kebutuhan biaya hidup di masa pensiun (dengan perkiraan gaji terakhir Rp. 10.000.000,- per bulan), maka diperoleh infomrasi pengeluaran bulana pensiunnan yang terdiri dari: makan, belanja bulanan, biaya air + listrik, internet, gaya hidup, asuransi kesehatanm dqan lain-lain diperoleh jumlah kebutuhan bulanan pensiunann sebesar Rp. 5.600.000,- (lima juta enam ratus ribu rupiah) per bulan). Maka bila dikalkulasi secara aktual, tingkat penghasilan pensiun (TPP) pensiunan di Indonesia terjadi kesenjangan atau kekurangan sebesar Rp. 4.600.000,- (empat juta enam ratus ribu rupiah) atau kurang 46% dari gaji terakhir (lihat). Dengan demikian, dapat dikatakan tingkat penghasilan pensiun (TPP) pekerja formal di Indonesia saat ini mengalami kekurangan 46% dari gaji terakhir. Kondisi ini tentu menjadi sebab pensiunan gagal mempertahankan standar hidup di hari tua, di samping mengalami masalah keuangan di masa pensiun.

 


Informasi tentang tingkat penghasilan pensiun (TPP) harus dipahami sebagai data untuk memproyeksikan keadaan pensiunan di Indonesia dari segi ketersediaan finansialnya. Melalui TPP, harapannya dapat membangun kesadaran akan pentingnya mempersiapkan masa pensiun atau hari tua, di samping perlunya pengelola dana pensiun seperti DPLK menyusun langkah strategis untuk meningkatkan TPP pekerja atau orang Indonesia. Dalihnya sederhana, bila ingin kepesertaan dana pensiun meningkat dan aset kelolaan bertumbuh signifikan maka harus dilakukan perubahan pola edukasi, pemasaran, dan ketersediaan akses digital dana pensiun kepada masyarakat. Karena hampir tidak mungkin, peserta dan aset kelolaan dana pensiun di Indonesia tumbuh signifikan tanpa adanya perubahan pola edukasi, pemasaran, dan ketersediaan akses digital dana pensiun.

 

Nah mari kita bertanya, berapa kebutuhan biaya hidup kita di saat pensiun nanti? Salam literasi #YukSiapkanPensiun #EdukasiDanaPensiun #DPLKSAM

 

Leiterasi Kebencian, JustFocus on Yourself

Reaksi seseorang terhadap kebencian dapat menentukan siapa yang sebenarnya menang dalam pertikaian. Jika kita membalas kebencian dengan amarah dan caci maki, kita justru masuk ke dalam permainan musuh, kehilangan kendali atas diri sendiri, dan akhirnya menjadi sama seperti mereka. Maka jangan balas kebencian dengan kemarahan.

 

Sebaliknya, kemenangan sejati adalah ketika kita tetap tenang, tidak terprovokasi, dan mampu merespons dengan cara yang lebih bijaksana. Dengan begitu, kita tidak hanya mempertahankan martabat, tetapi juga menunjukkan bahwa kebencian mereka tidak memiliki kuasa atas diri kita. Ini adalah bentuk kemenangan yang lebih bermakna, mengendalikan diri sendiri daripada dikendalikan oleh emosi negatif.

 

Jangan pernah membalas kebencian dengan amarah. Karena kebencian adalah beban yang terlalu berat untuk ditanggung. Ia melukai si pembenci lebih dari melukai yang dibenci. Amarah bukanlah jawaban atas ras benci. Hanya cinta yang bisa mengalahkan kebencian. Sebab. kebencian tidak akan pernah bisa mengalahkan cinta. Bila hari ini ada siklus kebencian pada manusia, itu terjadi karena dibalas amarah yang tidak ada habisnya.

 


Patut dipahami, kita tidak pernah bisa mengontrol orang lain untuk bersikap apapun. Orang lain mau benci, mau tidak suka sama sekali tidak bisa dikontrol. Terserah mereka mau seperti apa? Nyatanya, kita hanya bisa mengontrol diri kita sendiri, mengendalikan sikap kita. Untuk tetap berbuat baik dan menebar manfaat kepada orang yang lain lagi, bukan untuk musuh kita. Jadi biarlah orang lain membenci kita, toh siapa yang menabur pasti akan menuai.

 

Bila akhirnya dibenci, rileks saja. Tetaplah berbuat baik dari menebar manfaat di manapun. Pilih lingkungan dan tempat yang baik. Dan kita tidak perlu membersihkan nama di cerita orang lain, biarkan mereka salah paham dan tenggelam dalam kebencian dan opini buruk mereka tentang diri kita. Just focus on yourself, upgrade diri, karena yang kenal kita sepenuhnya adalah diri kita sendiri. Jadilah literat, seperti saat bergaul di taman bacaan.

 

Dan yang paling penting, biarlah orang lain yang membenci kita. Tapi kita jangan pernah membenci diri kita sendiri. Karena benci memang tidak ada yang mempelajarinya namun semua orang bisa merasakannya. Salam literasi!

Kisah Pak Wiryo di Masa Pensiun

Angin pagi menusuk kulit, membawa aroma aspal basah dan debu yang beterbangan. Di sudut pertigaan kota yang mulai terabaikan, warung kelontong di depan rumah Pak Wiryo terlihat sepi, seperti ia sendiri yang kini mulai tua, rapuh, tetapi tetap berdiri.

 

Pak Wiryo sudah 68 tahun. Tubuhnya kini tidak seperti saat bekerja. Namun masih dipaksa bangkit setiap pagi untuk membuka warung. Tangannya gemetar sedikit saat menaikkan rolling door. Tulang-tulangnya berderak setiap kali ia jongkok dan berdiri. Tapi wajahnya tetap menampakkan sesuatu yang tidak mau dibilang tumbang: “harga diri”.

 

Di antara deru kendaraan yang lewat tanpa menoleh, ia menunggu warungnya. Setiap pembeli yang datang adalah rezeki kecil yang tidak boleh disia-siakan. Ia menunggui warungdengan sabar, merapihkan dagangan, menata, membuka dan menutup warung lagi di larut malam. Begitu terus, seakan waktu di sekelilingnya sudah berhenti, hanya suara anak-anak yang berlarian dan detak jantungnya yang mengisi dunia masa pensiun Pak Wiryo.

 

Dulu saat masih bekerja, hidupnya tidak seperti ini. Ada masa-masa ia pulang kerja dengan senyum lebar — naik motor, disambut anak-anaknya yang berlari dari pintu rumah. Dulu, tangannya kuat, mengangkat kursi, bahkan memasukkan motor ke dalam rumah setiap malam.. Dulu, tubuh Pak Wiryo kebal pada hujan dan panas. Tapi waktu beranjak tua melucuti semuanya secara perlahan, tanpa bisa dielakkan lagi.

 

Tabungan? Pensiun? Semua itu terdengar mewah untuk seorang pegawai kecil seperti Pak Wiryo yang hidupnya habis untuk membayar cicilan dan biaya hidup itu sehari-hari. “Boro-boro siapin pensiun, untuk makan sehari-hari saja sudah pas-pasan” batin Pak Wiryo dulu saat masih bekerja.

 

Di usia pensiunnya kini, Pak Wiryo hanya bisa merenung. Di dalam sakunya kini, hanya ada receh dari barang dagangan yang laku di warngnya. Bahkan mungkin tidak cukup untuk membeli sekarung beras. Tapi ia tetap menutup warungnya setiap malam dengan rapi, menurunkan rolling door seperti biasa. Menata warung sebelum ditutup, seolah besok dunia masih membutuhkan tenaganya.

 

Ketika duduk di bangku di rumah, tatapan Pak Wiryo berat. Dia seperti ingin Kembali ke masa-masa bekerja dulu. Ngonbrol dengan kawan sambil ngopi. Seakan menggiring ke bayangan masa lalunya: tawa anak-anaknya yang kini telah menjauh, suara istrinya yang memanggil dari dapur. Rumah kecil itu kini terasa lebih sunyi. Istri Pak Wiryo, Bu Sarti terduduk duduk di dalam kamar, membungkus kakinya dengan selimut tipis, sesekali batuk kecil yang kering.

 

Malam di kota itu begitu dingin. Pak Wiryo duduk di serambi, menatap bulan yang setengah tertutup awan. Dalam diamnya, ada pertanyaan yang selalu datang tapi tak pernah dijawab:
"Untuk apa aku terus berjalan, ketika yang kutuju tak lagi ada?"

 


Pak Wiryo di masa pensiun kini justru berjuang justru lebih keras dibandingkan saat masih belerja. Ia menyesal karena tidak mempersiapkan masa pensiunnya sejak dulu. Tidak punya tabungan untuk hari tua, sehingga terpaksa membuka warung untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, di samping mencari kesibukan di masa pensiun. Sampai-sampai Pak Wiryo selalu berpesan kepada anak-anaknya yang sudah bekerja.

 

Jangan lupa Nak, selalu siapkan masa pensiun. Nabung untuk hari tua. Jangan sampai di hari tua seperti Bapak, tidak punya uang yang cukup untuk biaya hidup” katanya.

 

Masa pensiun, benar-benar seperti jalan yang sepi. Tidak ada lagi canda, tidak ada lagi panggilan anak-anaknya. Semuanya sudah terlanjur, Pak Wiryo harus tetap menjalani hari tuanya Bersama istri sambil membuka warung. Begitulah hidup, mungkin cukup di waktu bekerja lalu kurang di saat pensiun.  

 

Tapi Pak tetap percaya, mungkin esok pagi ada satu-dua pembeli di warungnya yang datang. Satu hari lagi untuk bertahan. Satu lagi alasan untuk tetap hidup dan menjalani masa tuanya. Karena bagi Pak Wiryo, berhenti bukan pilihan. Hidup di hari tua, meski sepahit apapun, harus diselesaikan dengan kepala tegak.

 

Di jalanan yang kian sepi itu, Warung pak Wiryo tetap berdiri, — menunggu pembeli, bertahan, dan melawan waktu yang terus bergulir. Ternyata kata Pak Wiryo, tidak ada yang bisa menikmati hari tua bila tidak punya uang cukup di masa pensiun. Ayo siapkan pensiun!

Sabtu, 26 April 2025

Cerpen: Maaf Ayah Terlalu Sibuk untuk Melihat Duniamu

 

Di sebuah kota yang sibuk dan tidak jauh dari Jakarta, Nina tinggal bersama ayahnya di rumah sederhana di tepi jalan. Ibunya sudah lama tiada, dan sejak itu, ayahnya menjadi satu-satunya dunia Nina. Tapi dunia Ayah perlahan mulai dipenuhi layar—ponsel, komputer, pekerjaan—sementara dunia Nina dipenuhi halaman-halaman kosong yang ia ingin isi dengan cerita.

 

Setiap sore, Nina duduk di beranda rumah, memperhatikan anak-anak lain berjalan beriringan menuju taman bacaan. Tawa mereka, cerita-cerita mereka tentang naga, angkasa, dan negeri-negeri jauh selalu membuat Nina bermimpi.

 

Suatu hari, saat langit mulai berwarna oranye, Nina memberanikan diri menghampiri Ayah yang sedang menunduk menatap layar.

"Yah..." suaranya ragu, hampir tenggelam di antara bunyi notifikasi, "besok ada acara membaca buku di taman bacaan. Boleh aku ikut?"

Ayah mendengus pendek.

"Besok Ayah lembur, Nak. Lagipula, sekarang kan bisa nonton cerita lewat YouTube. Ngapain repot-repot baca buku?"

Nina diam. Ia tidak berdebat. Ia tahu, di dunia Ayah, mungkin membaca sudah dianggap tua dan sia-sia. Tapi di dunia Nina, membaca adalah pintu ke keajaiban yang belum pernah ia alami.

 

Malam itu, Nina mengambil buku kecil dari rak kayu reyot di ruang tamu—buku satu-satunya yang tersisa dari ibunya. Ia membaringkan diri di kasur tipisnya, berusaha mengeja perlahan meski lampu kamar redup. Matanya panas menahan tangis, tapi bibirnya tetap berbisik, merangkai kata-kata dengan susah payah. Setiap kata yang ia mengerti, terasa seperti menemukan bintang di langit gelap.

 

Beberapa hari kemudian, saat Ayah pulang larut, ia menemukan sesuatu di kulkas—selembar kertas bergambar tangan. Di dalam gambar itu, seorang ayah dan anak duduk di bawah pohon, dikelilingi tumpukan buku. Di sudut gambar itu, dengan tulisan kecil Nina yang goyah, tertulis:

"Aku ingin membaca dunia, bersama Ayah."

Ayah diam lama, ponsel di tangannya jatuh ke sofa. Ada rasa aneh mengalir di dadanya—seperti sesuatu yang hilang perlahan, dan baru kini ia sadari.

Malam itu, Ayah berdiri di ambang pintu kamar Nina. Ia melihat anak kecilnya sudah tertidur, dengan sebuah buku terbuka di dadanya, dan sebuah senyum tipis di wajahnya yang kelelahan. Ayah mendekat, mengusap rambut Nina perlahan.

"Maaf, Nak," bisiknya, suaranya bergetar, "Ayah terlalu sibuk untuk melihat duniamu."



----

Esok paginya, langit mendung dan jalanan masih basah sisa hujan malam. Tapi Ayah sudah siap berdiri di depan pintu, memegang dua jas hujan kecil dan satu payung besar.

"Nina," katanya sambil tersenyum kaku, "mau ke taman bacaan bareng Ayah?"

Nina terdiam. Untuk sesaat, ia pikir ia sedang bermimpi. Tapi ketika Ayah mengulurkan tangan, Nina segera berlari dan menggenggamnya erat. Di sepanjang perjalanan, mereka bercerita—tentang buku, tentang mimpi, tentang hal-hal kecil yang selama ini tak pernah mereka bicarakan.

 

Sesampai di taman bacaan, Nina memilih sebuah buku bergambar tentang petualangan seorang anak perempuan yang berkelana ke negeri bintang. Ia duduk di pangkuan ayahnya, membacakan setiap kalimat dengan suara bergetar, sesekali salah mengeja, tapi tetap penuh semangat.

Ayah mendengarkan, matanya berkaca-kaca. Setiap kata yang keluar dari mulut kecil Nina adalah musik paling indah yang pernah ia dengar. Dan di bawah pohon tua yang menaungi taman bacaan itu, Ayah mengikatkan satu janji baru di hatinya:

Bahwa dalam hidupnya yang singkat ini, ia tidak akan pernah lagi melewatkan kesempatan untuk menemani anaknya membaca dunia.

 

Karena ia tahu sekarang—membaca bukan sekadar mengisi waktu, tapi mengisi jiwa. Sebuah janji di taman bacaan dari hati seorang ayah. Salam literasi! @kisah di balik perjuangan TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor.



Jumat, 25 April 2025

Literasi Berpikir

Ada benarnya, tidak semua hal perlu dibalas. Dan tidak semua hal pula perlu dibahas. Tapi semua hal patut dipikirkan, direnungkan. Karena pikiran manusia adalah sesuatu yang aktif, dinamis, dan senantiasa bergerak. Otak manusia tidak statis, bahkan ia tidak pernah benar-benar diam. Pikiran sifatnya begitu alami. Manusia tidak bisa pernash bisa berada dalam keadaan netral terlalu lama. Tidak bisa diam melulu. Karena jika tidak mengisi pikirannya dengan hal-hal yang baik, maka dia tidak sedang tumbuh. Pikiran selalu mengajak untuk memperbaiki diri, mencari ilmu, merefleksi diri, atau berbuat kebaikan.

 

Maka tanpa sadar, bila pikiran manusia itu diam. Pasti isi kepalanya, mulai terisi oleh hal-hal yang melemahkan; kemalasan, prasangka, atau kekosongan makna.

 

Seorang penulis novel epistolary asal Inggris, Samuel Richardson telah mengingatkan. Untuk mengajak kita selalu sadar bahwa dalam kehidupan, stagnasi adalah ilusi. Pikiran harus terus bergerak sebagai tanda sedang tumbuh. Seperti membaca sebagai tanda sedang berpikir, seperti menulis sebagai tanda masih hidup. Diam di tempat bukan berarti kita tetap sama; sering kali kita justru mundur secara perlahan.

 

Itulah mengapa pertumbuhan, baik secara intelektual maupun spiritual, harus menjadi proses sadar, sesuatu yang dikerjakan terus-menerus. Harusada kesengajaan dalam berpikir, harus ada kesungguhan dalam bertindak. Jangan ada yang ditunda, karena menunda perbaikan diri hari ini berarti memberi ruang bagi keburukan untuk tumbuh besok. Dengan memahami bahwa pikiran tidak pernah berhenti, maka kita terdorong untuk lebih waspada, lebih hati-hati. Tentang apa yang sedang kita isi ke dalamnya hari ini? Tentang apa yang kita pikirkan hari ini? Karena pada akhirnya, siapa kita di masa depan adalah akumulasi dari arah pikiran hari ini. Kita adalah pertumbuhan yang kita pilih setiap hari, mau sadar atau tidak. Begitulah adanya.

 


Ketika berpikir, kita semakin paham. Bahwa manusia itu beda-beda. Beruntungnya beda, sedihnya beda. Masalahnya beda, cobaannya pun beda. Tidak ada yang berat tidak ada yang ringan karena apapaun yang kita alami sudah sesuai dengan porsi pundaknya masing-masing, sesuai pada takdirnya masing-masing. Ada yang sudah berhasil, ada yang sedang menunggu hasil. Jadi, kenapa harus bersedih kelamaan?

 

Adalah wajar dalam hidup, terkadang ada yang menemukan hal buruk di tempat yang baik. Sebaliknya, ada yang menemukan hal baik di tempat yang buruk. Bila itu terjadi, maka kita diminta untuk berpikir. Agar selalu bersikap realistis. Karena tidak semua harapan sesuai dengan kenyataan. Berpikirlah selalu untuk memperbaiki saja niat, membaguskan ikhtiar, dan memperbanyak doa. Selebihnya serahkan segalanya kepada Alah SWT. Salam literasi!

BPKH dan PPJKI Gelar Seminar Sovereign Wealth Fund (SWF), Wujudkan Ekosistem Halal Global

Di tengah kondisi perekonomian dunia yang tidak pasti akibat perang dagang, menuntut seluruh pemangku kepentingan di berbagai negara, termasuk Indonesia, untuk berpikir dan bertindak secara strategis dalam merancang arah pengelolaan investasi yang adaptif dan berorientasi jangka panjang. Salah satunya melalui Sovereign Wealth Fund (SWF), yang saat ini diwujudkan melalui pendirian Danantara. Mampukah Danantara ke depan menjalankan peran dan strategi investasi yang mendukung pertumbuhan ekonomi nasional?

Sebagai upaya menyikapi kondisi tersebut, Perkumpulan Praktisi Jasa Keuangan Indonesia (PPJKI) bekerja sama dengan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) menyelenggarakan Seminar Investasi dan Keuangan Nasional 2025 bertajuk “Peran & Strategi Sovereign Wealth Fund (SWF) di Indonesia terhadap Gonjang-Ganjing dalam Ekonomi dan Investasi Global” di Jakarta (24/4/25). Seminar ini bertujuan memberikan gambaran strategis kepada pelaku ekonomi, khususnya terkait pengelolaan dana investasi berskala besar serta potensi yang dapat diraih pada tahun 2025.

Tito Sulistio, Anggota Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan sekaligus Ketua Dewan Pembina PPJKI, dalam sambutannya menyatakan bahwa seminar ini sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada anggota PPJKI, yang sebagian besar terlibat langsung dalam pengelolaan investasi dan berhadapan dengan risiko global. “Tantangan sekaligus peluang investasi saat ini terbuka sangat luas, di mana telah terjadi banyak disrupsi teknologi di berbagai sektor keuangan. Hal ini mendorong perlunya seluruh pemangku kepentingan untuk membekali diri dengan informasi global, seperti yang disampaikan dalam seminar ini,” ujar Tito.

Sementara itu, Prof. Roy Sembel dalam paparannya menekankan bahwa dengan jumlah penduduk yang besar serta kekayaan sumber daya alam, Indonesia perlu memberdayakan investor ritel dan institusional lokal guna membangun pasar keuangan yang lebih bergairah dan sehat. “Agar ini dapat terwujud, Indonesia perlu memacu penciptaan SDM yang kompetitif agar bisa mewujudkan Indonesia yang adil, makmur, dan bermartabat,” tegasnya.

Pada kesempatan yang sama, Indra Gunawan, Anggota Badan Pelaksana BPKH, dalam materinya menyampaikan keberhasilan BPKH dalam mengelola dana umat. Menurutnya, BPKH sebagai pengelola dana haji sebesar Rp171 triliun, berkepentingan untuk memahami kondisi global saat ini sebagai landasan pengambilan keputusan investasi yang bijak.

Saat ini, BPKH mencatatkan kinerja luar biasa dengan net return tertinggi sepanjang sejarah, yakni Rp11,6 triliun atau hampir 7% per tahun pada 2024. Selain itu, BPKH juga meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) enam kali berturut-turut sejak awal berdiri. Meskipun dana yang dikelola bersumber dari jamaah haji (non-APBN), skema pengelolaan dana haji memiliki perbedaan mendasar dibandingkan SWF global yang umumnya berbasis APBN.

Indra Gunawan menambahkan bahwa BPKH dapat menjadi model Lembaga Pengelola Dana Umat (LPDU) sebagai embrio dari “Sovereign Halal Fund”, sejalan dengan gagasan Menteri Agama untuk mengonsolidasikan dana umat dari berbagai lembaga seperti BWI, BAZNAS, BPJPH, dan LAZ.



Konsolidasi LPDU berpotensi besar dalam mobilisasi dana umat guna pemberdayaan ekonomi dan membangun ekosistem halal global. Untuk mewujudkan Sovereign Halal Fund, dibutuhkan asesmen menyeluruh dengan arahan dari Presiden, DPR, serta konsultasi dengan Kementerian Agama, Keuangan, Sosial, dan lembaga terkait lainnya guna memastikan transisi yang baik, manajemen risiko optimal, dan mendukung tujuan Maqashid Syariah serta SDGs.

Dalam meningkatkan kapasitas kelembagaan dan profesionalitas, BPKH telah menjalin sinergi dengan berbagai asosiasi profesi, termasuk PPJKI. Sejak 2018 hingga 2023, BPKH secara konsisten memperoleh opini WTP selama enam tahun berturut-turut dari BPK RI. Karyawan BPKH pun telah memiliki sertifikasi profesi internasional seperti ACIArb, CSA, CIB, CPM, CRP, CFA, CERG, dan GRCP, yang aktif di PPJKI.

Sistem tata kelola BPKH mengacu pada standar internasional seperti ISO 9001:2015, ISO 37001:2016, ISO 31000, ISO 37000, ISO 19600, dan ISO 27001. Para pimpinan dan pegawai BPKH rutin melaporkan LHKPN serta memanfaatkan Whistle Blowing System untuk mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Penghargaan eksternal seperti Fourstar Digital Transformation 2023, ESG Green Initiative Investment 2024, dan CIO Non-Bank Financial Institution 2024 menjadi bukti atas kinerja unggul BPKH.

 

Pengelolaan Syariah yang Terjamin.

Pengelolaan dana haji BPKH sepenuhnya berbasis syariah sesuai arahan DSN-MUI melalui investasi di BPS-BPIH. Portofolio investasi didominasi instrumen risiko rendah hingga menengah (minimal idAA), seperti SBSN dan deposito bank syariah dengan kesehatan keuangan yang baik. Inovasi seperti Virtual Account Jemaah Haji telah menghasilkan nilai manfaat sebesar Rp18,3 triliun, sementara total nilai manfaat BPIH sebagai subsidi biaya haji mencapai Rp41,6 triliun. Keamanan dana jemaah dijamin LPS sesuai UU No. 4/2023 tentang PPSK, serta memperoleh pengecualian pajak atas instrumen investasi melalui PMK No. 18/PMK.03/2021 dan UU PPSK.

Haryajid Ramelan, Sekretaris Jenderal PPJKI, menyampaikan bahwa organisasinya berkomitmen untuk menghimpun, membina, dan memberdayakan para praktisi jasa keuangan Indonesia agar dapat berperan aktif dalam pembangunan ekonomi nasional. “PPJKI secara konsisten memberikan edukasi dan literasi kepada anggota maupun masyarakat umum. Dengan komitmen kuat, kami terus mendorong peningkatan kompetensi, integritas, dan profesionalisme di sektor jasa keuangan Indonesia,” tegas Haryajid.



Kamis, 24 April 2025

Literasi Bahagia dari Taman Bacaan

Banyak orang mencari kebahagiaan di orang lain. Tidak sedikit pula yang mencari bahagia di tempat lain, di kafe-kafe di objek wisata, bahkan di obrolan bersama orang lain. Itu semua contoh salah mencari kebahagiaan. Bahagia kok di orang lain?

 

Kita sering lupa, bahagia itu ada di diri sendiri. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang harus dicari di masa depan atau di tempat yang jauh. Walt Whitman, seorang penyair AS asal Belanda mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati ada di sini dan sekarang. Bahagia ada di momen yang sedang kita jalani hari ini, bukan di saat yang akan datang atau dalam impian yang belum terjadi. Bahagia tidak akan pernah ada di orang lain, apalagi di tempat-tempat yang semu.

 

Sering kali kita menunda rasa bahagia dengan berpikir, “Aku akan bahagia kalau sudah berhasil,” atau “Nanti, setelah ini selesai, baru aku bisa tenang.” Cara berpikir bahagia seperti itu salah semua. Bahagia tidak pernah menunggu momen sempurna. Ia hadir dalam hal-hal sederhana: dalam nafas pagi, pada secangkir kopi, dalam tawa kecil, pada pengabdian di taman bacaan, bahkan dalam syukur atas apa yang ada sekarang. Ada dalam hati dan jiwa yang selalu bersikap realistis dan menerima apa adanya dalam hidup.

 


Bahagia yang sejati, justru terletak pada cara kita menghargai diri sendiri, di kala menghargai waktu saat ini, bukan besok atau akan datang. Karena kalau kita terus menunda kebahagiaan, kita akan terus mengejar bayangan. Tapi jika kita membuka mata dan hati sekarang juga, kita mungkin sadar bahwa kebahagiaan sebenarnya sudah ada, di dalam diri, di tempat ini, di jam ini saat kita menyadarinya.

 

Bagi saya, bahagia pun ada di taman bacaan. Saat menghadirkan senyum pada anak-anak bisa memegang buku bacaan. Saat bernasihat pentingnya membaca buku, bisa sediakan akses bacaan. Saat mengerjakan apapun yang kita senangi, yang baik dan bermanfaat bagi sesama. Itu semua wujud bahagia yang tidak dimiliki banyak orang. 


Jadi, kenapa harus menunda untuk bahagia? Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi


Pak Joko Murung di Hari Tua, Terlambat Menyadari Pentingnya Dana Pensiun

Pak Joko menghabiskan lebih dari 30 tahun hidupnya sebagai karyawan bagian administrasi di sebuah perusahaan jasa pengiriman di Jakarta. Setiap pagi ia berangkat naik motor, pulang sore dengan senyum dan sedikit lelah di wajahnya. Ia dikenal jujur, rajin, dan jarang mengeluh. Tapi satu hal yang ia abaikan: menabung untuk pensiun.

 

Gaji Pak Joko pas-pasan, dan ia merasa selalu cukup untuk kebutuhan bulanan, sekolah anak-anak, dan sedikit rekreasi bersama keluarga. Soal pensiun? "Nanti aja mikirnya," katanya dulu pada teman kerjanya yang ikut program DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan).

 

Tahun berlalu cepat. Anak-anaknya tumbuh, satu per satu lulus dan mandiri. Dan tibalah saatnya Pak Joko pensiun di usia 58 tahun. Pada hari perpisahan di kantor, ia menerima sekotak kenang-kenangan, satu sertifikat penghargaan, dan uang pesangon seadanya.

 

Tiga bulan pertama setelah pensiun, hidup terasa seperti liburan. Tapi di bulan keempat, ia mulai cemas. Tagihan listrik tetap normal. Harga sembako naik. Motor tua mulai rewel. Dan uang tabungan makin menipis.

 

Suatu pagi, Pak Joko duduk di warung kopi sambil menatap kosong.

 

"Pak Joko, sehat?" sapa Pak Anwar, mantan kolega.

 

"Sehat, War. Cuma... hidup nggak semudah yang saya bayangkan pas pensiun."

 

Pak Anwar tersenyum, "Saya sempat ikut DPLK dulu. Nggak banyak, tapi cukup buat bantu-bantu hidup sekarang. Sayang, waktu nggak bisa diulang ya, Pak."

 

Pak Joko hanya mengangguk. Pahit, tapi benar. Ia berharap bisa mengulang masa mudanya, sekadar menyisihkan sedikit untuk hari tua, untuk masa pensiun.

 


Kini Pak Joko, sering murung. Karena pusing untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari di usia pensiun. Sudah tidak punya gaji tapi kebutuhan tetap meningkat. Pak Joko terlambat menyadari pentingnya dana pensiun. Iya menyesal tidak mau ikut program DPLK saat masih bekerja dulu. Maka apapun alasannya, sangat penting menyiapkan masa pensiun sejak dini, khusunya melalui DPLK. Karena melalui DPLK, setidaknya setiap karyawan memiliki 3 (tiga) keuntungan, yaitu: 1) ada dana yang pasti untuk hari tua, 2) ada hasil investasi yang optimal karena sifatnya jangka panjang, dan 3) ada kedisplinan menabung untuk masa pensiun plus ada insentif pajak saat manfaat pensiun dibayarkan.

----

Syarifudin Yunus, edukator dana pensiun dan Ketua Dewan Pengawas DPLK Sinarmas Asset Management mengingatkan pentingnya perencanaan masa pensiun sejak dini. Saat masih bekerja harus berani menyisihkan sebagian gaji untuk hari tua. Agar kerja yes, pensiun oke. Tetap punya kesinambungan penghasilan di masa pensiun. "Dari kisah Pak Joko, kita belajar pentingnya punya dana pensiun. Agar tetap mandiri secara finansial di hari tua, dan tidak bergantung kepada anak di masa pensiun" ujar Syarif.

 

Jangan sampai saat kerja berjaya tapi begitu pensiun merana. Salam literasi #YukSiapkanPensiuj #EdukasiDanaPensiun #DPLKSAM