Kamis, 24 September 2020

TBM Lentera Pustaka Sharing Kisah Taman Bacaan di Komunitas Profesional

Bertajuk “Memutus Mata Rantai Putus Sekolah”, X-Man Community sebagai komunitas profesional di perusahaan asuransi jiwa menggelar diskusi informal via zoom meeting (24/9/2020) sebagai wujud membangun kepedulian sosial. Semangat filantropi yang berbasis nilai-nilia kegotong-royongan dan kemanusiaan.

 

Dikomandoi Patrick Atkins dan diikuti 27 anggota, diskusi kali ini menyajikan peran Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor dalam memutus mata rantai putus sekolah. Disksui edisi sebelumnya mengangkat topik “Berjuang Sehat Saat Wabah Covis-19” dan yang akan datang tentang “Tetap Sehat dan Energi Di Usia Tua”.

 

Di tengah era digital saat ini, suka tidak suka, tradisi membaca anak semakin terpinggirkan. Di saat yang sama pula, kemiskinan pun masij jadi sebab tingginya angka putus sekolah. Oleh karena itu, aksi nyata kepedulian sosial untuk memutus mata rantai putus sekolah anak-anak di daerah atau di pelosok Indonesia harus terus digaungkan. Kalangan profesional dengan kapasitas yang dimiliki pun dapat ikut serta bergotong-royong untuk mendukung aktivitas sosial yang ada di tengah masyarakat.

 

“Diskusi informal X-Man ini akan digelar rutin. Sebagai sarana silaturahim, di samping untuk ngbrol bareng sola-soal yang tidak ada hubungannya dengan pekerjaan Karena X-Man intinya punya kesamaan spirit untuk tetam menjaga kontak. Apalagi di tengah wabah Covid-19, silaturahim itu bikin sehat” ujar Patrick Atkins.


 

Antusiasme peserta diskusi pun terlihat dari upaya untuk mendonasikan buku bacaan ke taman bacaan, pentingnya kegiatan membaca di kalangan anak-anak, CSR korporasi hingga aksi nyata untuk terjun ke taman bacaan dengan mengajar atau memotuvasi anak-anak kampung. Melalui diskusi ini, ada informasi dan tambahan wawasan tentang apa yang perlu diperbuat untuk sesame. Sebuah semangat kedermawanan di kalangan profesional.

 

Patut dikeahui, X-Man Community merupakan komunitas informal para profesional asuransi jiwa yang pernah bersama bekerja di bawa “satu bendera”. Atas dasar kedekatan emosional dan upaya membangun silaturahim tetap menjalin komunikasi hingga saat ini. Tujuannya, agar bisa memperoleh informasi kondisi teman-teman dan sebagai wadah diskusi “menyegarkan” di sela kesibukan sehari-hari. Karena sehat pun bisa dibangun dari “rasa kebersamaan” dengan teman-teman.

 

Selain memberikan pencerahan di luar aktivitas profesional, X-Man Community pun dapat ikut berkontribusi dalam pikiran dan Tindakan untuk hari esok yang lebih baik lagi. Karena di era yang seperti sekarang, kolaborasi dan kebersamaan adalah kata kuncu yang tidak boleh diabaikan. Tetap semangat dan sehat selalu #XManCoomunity


 

Rabu, 23 September 2020

Kisah Perjuangan TBM Lentera Pustaka Memutus Mata Rantai Putus Sekolah

Nanti malam, Kamis 24 September 2020 melalui zoom, saya akan berbagi kisah tentang upaya “Memutus Mata Rantai Putus Sekolah” di kalangan profesional dunia asuransi jiwa. Saya menyebutnya kawan-kawan lama yang peduli sosial.

 

Bahkan di masa Covid-19 ini, bukan tidak mungkin angka anak “putus sekolah” bertambah. Akibat PJJ yang sulit dikontrol oleh sistem, tidak adanya kontrol partisipasi sekolah yang ketat, keterbatasan infrastruktur pendidikan. Apalagi anak-anak di pelosok kampung yang keluarganya jelas-jelas mengalami “kesulitan ekonomi, seperti yang ada di wilayah TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor.

 

Faktanya, tahun 2019 saja yang keadaannya normal, dilansir Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), ada 4,5 juta anak Indonesia yang putus sekolah (https://mediaindonesia.com/read/detail/321026-angka-putus-sekolah-selama-pandemi-harus-diantisipasi-pemerintah). Itu sekitar 6% dari  seluruh usia anak sekolah di Indoesia yang mencapai 53 juta. Sebabnya klasik, putus sekolah itu terjadi akibat “kemampuan ekonomi keluarga”, tidak punya biaya untuk sekolah dan aktivitas terkaitnya. Bahkan di sinyalir, separuh anak putus sekolah tersebut berada di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Mungkin karena memang jumlah penduduk dan anak usia sekolah tergolong besar di wilayah tersebut.

 


Nah khusus di daerah TBM Lentera Pustaka di Desa Sukaluyu di Kaki Gunung Salak.

Data yang saya peroleh, tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya 81,9% hanya SD, SMP 8,9%, dan tamat SMA 8,3%.

 

Satu desa diperkirakan ada sekitar 3.100-an anak usia sekolah. Tentu dari berbagai jenjang usia. Sementara mata pencaharian utama masyarakatnya sebesar 71,2% tidak memiliki penghasilan tetap atau tidak bekerja. Tergolong prasejahtera. Apalagi fasilitas perpustakaan atau taman bacaan yang menyediakan akses untuk anak-anak tidak ada sebelumnya. Lalu, akan seperti apa anak-anak usia sekolah ke depannya?

 

Maka atas dasar upaya memutus mata rantai putus sekolah itulah, TBM Lentera Pustaka hadir di Kampung Warung Loa Desa Sukaluyu di Kaki Gunung Salak. Agar anak-anak usia sekolah punya “akses buku bacaan” yang dapat memperkaya pengetahuan dan Pentingnya kesadaran untuk tetap sekolah. Taman bacaan untuk mengubah “cara pandang” anak akan pentingnya sekolah. Jangan sampai berhenti sekolah di era yang katanya serba digital atau revolusi industri 4.0 itu.

 

Jujur saja, menurut saya, bicara membangun tradisi “masyarakat literat’ dengan realitas yang ada seperti sekarang. Mohon maaf, mungkin hanya isapan jempol. Masih ada persoalan mendasar di kalangan anak-anak usia sekolah. Soal keberlangsungan sekolah mereka. Belum lagi soal kaum buta huruf yang relatif terpinggirkan, yang belum “dilirik” sama sekali ileh kaum “berada dan mampu”.

 

Banyak orang prihatin terhadap anak yang putus sekolah, lalu mengelus dada. Banyak orang pula gelisah secara sosial melihat anak-anak yang nongkrong di pinggir jalan padahal harusnya sekolah. Itu tanda angka putus sekolah masih “menghantui” anak-anak Indonesia.

 

Di TBM lentera Pustaka, membangun tradisi memmbaca buku anak-anak usia sekolah. Sungguh hanya “jembatan” menuju target besar agar “tidak ada lagi anak putus sekolah”. Itulah yang akan saya bagi kisahnya nanti malam. Tentang memutus mata rantai putus sekolah melalui TBM Lentera Pustaka, Gerakan BERantas BUta aksaRA (GEBERBURA) Lentera Pustaka, dan pengajian bulanan anak-anak yatim binaan Lentera Pustaka. Agar tidak ada lagi anak putus sekolah.

 

Ada anggapan. Putus sekolah katanya sebab kemiskinan. Pun kemiskinan jadi sebab putus sekolah. Di kepala siapapun, diskusi dan perdebatan itu tidak akan pernah tuntas. Manakala kita tidak melakukan “aksi nyata” untuk memutus mata rantai putus sekolah … Salam literasi #TBMLenteraPustaka #GeberBura #TamanBacaan #BudayaLiterasi



Jumat, 18 September 2020

Taman Bacaan Lentera Pustaka Ingatkan "Hati-hati Sama Netizen yang Maha Sok Tahu"

Saat ditanya, siapa yang paling gampang mengumbar komentar di dunia ini?

Sebagian besar jawabnya pasti “netizen”. Netizen itu sebutan untuk orang yang aktif di dunia maya. Netizen, istilahnya "warga internet" atau citizen of the net. Akibat ponsel ada di genggaman tangannya, netizen begitu mudahnya memainkan jari-jemarinya. Berceloteh, mengoceh, bila perlu menghakimi orang lain. Tentang apa saja, tentang apa pun.

 

Di kalangan netizen. Ada anekdot yang menyebut “netizen maha benar”. Atau netizen selalu benar. Itu berarti, netizen tidak pernah salah. Anekdot itu pula yang menjadikan netizen merasa boleh mengomentari apapun. Tiap ada masalah atau info terkini di negeri ini, netizen buru-buru menyerbu. Semua linimasa media sosial, entah

instagram, facebook, twitter, dan sejenisnya dibanjiri komentar netizen. Di situlah, kadang netizen itu menyebalkan, bahkan menjengkelkan.

 

Apakah netizen itu maha benar?

Menurut saya, jelas tidak. Malah netizen bisa jadi “biang kerok” kegaduhan. Tahu sedikit tapi komentar banyak. Berlaku sok bijak tapi berharap mencari-cari kesalahan orang. Bersikap seperti benar tapi lupa kesalahannya sendiri. Berbagi berita seakan bertanya padahal menyebarkan hoaks. Berceloteh di media sosial seakan menuntut klarifikasi, entah kepada siapa? Jadi netizen, menurut saya, bukan maha benar tapi maha sok tahu. Tidak benar tapi sok tahu, netizen netizen.

 

Ada beberapa cara kerja netizen di media sosial. Bila ditelusuri, perilaku netizen di media sosial bisa dideteksi. Hal yang paling kentara adalah “mengomentari hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dikomentari”. Urusan pribadi orang, urusan kebijakan negara, bahkan urusan berita yang belum pasti kebenarannya pun buru-buru dikomentari. Wajar bila netizen di negeri ini dikenal sebagai "kaum paling cerewet di media sosial", berada di urutan ke-5 dunia, melebihi Tokyo dan New York sekalipun.

 

Ciri lain netizen adalah terlalu mudah menghujat dan menyalahkan. Apapun soalnya, netizen buru-buru mncari salahnya lalu menghujat sebebas-bebeasnya. Atas nama hak asasi manusia, netizen merasa boleh berkomentar apapun. Begitu dinasihat, langsung menjawab sambil nolot “mulut mulut gue, pikiran pikiran gue, usil ama lo…”. Begitulah kata netizen yang sok tahu. Bersikap nyinyir dan gemar meninggalkan hujatan di mana-mana. Apalagi kepada orang-orang yang ‘tidak sealiran” dengannya. Beragam postingan dikomentari sekehendak hati netizen. Mulai dari nyinyir, menyalahkan, membenci hingga menghina sekalipun.

 

Hebatnya lagi, netizen itu seperti “tukang debat”. Ada saja yang dikomentari dan diperdebatkan. Salaing berbalas komentar untuk hal yang tidak penting-penting amat. Netizen yang saling adu argument, berdebat agar dibilang ilmiah. Padahal itu semua omong kosong dna tidak berbobot. Kita sering lipa, netizen itu punya banyak masalah. Nah, berdebat itulah yang jadi pelariannya.

 

Netizen itu bukan maha benar. Tapi maha sok tahu.

Tiap kali ada berita atau soal yang tidak disukainya. Netizen buru-buru mencari atau mention teman senasib, teman sealiran. Netizen yang merasa jadi “korban” lalu cari teman senasib. Itu bukti bahwa netizen itu banyak yang tipikal “baperan”, sulit menerima realitas. Mereka hanya mau keadaan seperti apa yang diinginkannya. Mungkin kalau boleh, netizen pun ingin hidup di surga sendiri. Tidak boleh ada orang lain yang menemaninya, apalagi yang tidak sealiran.

 

Perilaku netizen paling konyol kian tampak. Netizen seringkali berkomentar tapi belum membaca. Dia sendiri tidak tahu “duduk persoalannya”. Tapi hebatnya, langsung komentar dan menyerang siapapun yang perlu disalahkan menurut dia. Netizen yang bilang “jangan menilai buku dari sampulnya’. Tapi dia sendiri yang “menguliti” isi buku gara-gara sampulnya. Ujung-ujungnya, si netizen pun sering enggak nyambung, suka salah fokus. Jadi, OOT (out of topic) itu ciri terhebat dari netizen. Bawaannya ke personal dan emosional. Saran yang paling pas untuk netizen adalah “perbanyak baca buku”, bukan perbanyak nonton tv atau ngomongin orang.

 

Jadi jelas, netizen itu bukan maha benar. Tapi maha sok tahu. Giliran hal yang tidak disukai, dia buru-buru komentar. Giliran tidak punya uang, si netizen jadikan media sosial untuk berdagang. Medsos yang dipakai untuk jualan biasanya punya netizen. Tapi di balik itu, netizen bila lagi benar. Mereka pun gemar mengajak kebaikan di media sosial. Sekalipun menjengkelkan, netizen tergolong peka dan suka menasihati orang lain. Walau dirinya sendiri susah dinasihati. Asal ada orang posting foto dengan pakaian seksi atau sedang pacaran. Netizen pasti akan berkomentar “aurat jangan diumbar ke orang-orang dong” atau “semoga lekas diberi hidayah ya…”. Makin terbukti, netizen itu maha sok tahu bukan maha benar.

 

Jadi, apa yang saya mau katakan tentang netizen?

Berhati-hatilah pada netizen. Karena bila tidak sepaham dengan netizen maka dia akan menyerang habis-habisan. Karena netizen itu sangat militan, spartan, dan loyalis sejati. Mampu berkomentar seenak pikirannya.

 

Dan yang paling hebat dari netizen adalah “ilmu pengetahuan” yang dimiliknya seakan melebihi buku ensiklopedia. Netizen itu tahu segala hal walau hanya sedikit saja lalu berkoar-koar di media sosial. Seperti orang benar. Netizen itu maha sok tahu.

 

Netizen suka lupa. Ada tiga hal yang tidak bisa disembunyikan dalam hidupnya, yaitu matahari, bulan, dan kebenaran … #LiterasiMediaSosial #BudayaLiterasi

Jangan Tutupi Bumi yang Luas dengan Daun yang Kecil

Wabah Covid-19 ini sepertinya kian ganas. Banyak orang yang OTG tahu-tahu sakit. Orang baik seperti Pak Sekda DKI Jakarta pun terkena corona. Ada puluhan ribu pasien corona pun kini masih dirawat di rumah sakit. PSBB ketat pun diberlakukan lagi. Negeri ini, tiba-tiba, dihantui ancaman makhluk bernama virus corona.

 

Sementara di luar sana. Makin terlihat kasat mata kesombongan anak manusia di dunia. Angkuh dan arogan. Pangkat, jabatan, harta bahkan status sosial terus-menerus dipertontonkan. Memuji dan berbangga-bangga tentang dirinya sendiri sambil merendahkan yang lain. Selalu merasa benar sambil mencari kesalahan orang lain. Manusia yang tidak suka lagi diberi nasihat. Kepeduliannya makin hilang. Hingga akhirnya menolak kebenaran.

 

Mereka terus sibuk memperebutkan dunia. Berusaha menggenggam dunia. Hingga lupa bahwa dunia itu sebentar. Sombong lalu lupa bersyukur. Dunia dianggap abadi dan akan selamanya. Lalu lupa, bahwa dunai adalah kehidupan yang menipu. Dunia itu hanya “casing”, hanya “bungkus” semata. Tidak lebih tidak kurang.

  

Jangan sampai “daun yang kecil menutupi bumi yang luas”.

BUMI itu luas. DAUN itu kecil. Anugerah Allah yang tak terbatas itu BUMI. Uang, harta, jabatan itu cuma selembar DAUN. Jadi, mana mungkin selembar "daun yang kecil" bisa menutupi "bumi yang luas" ini. Karena faktanya, daun menutupi telapak tangan saja sulit. TAPI kalo DAUN yang kecil menempel di pelupuk MATA kita, maka tertutuplah BUMI. Gelap dan gak bisa terlihat lagi jalan yang terang.

 

Maka tidak perlu sombong. Sebaliknya, selalu ada alasan kuat untuk bersyukur.

Untuk siapapun. Apapun keadaannya. Katanya hidup di dunia cuma sementara, terus mau apa lagi? Apa yang mau dikejar, apa pula yang maudiperebutkan? Sungguh, dunia tidak akan pernah ada cukupnya. Maka, jangan tutupi BUMI yang luas dengan DAUN yang kecil.

 

Jan


gan sombong. Bumi itu luas, daun itu sempit. Bersyukurlah.

Jangan terlalu mudah melupakan anugerah Allah. Jangan mudah tidak puas atas apa yang dimiliki. Banyak orang sekarang, menempatkan diri sebagai “korban”. Marasa menderita, merasa ada yang kurang. Merasa kurang, kurang lagi dan kurang terus. Bahkan di masa Covid-19, merasa terpenjara. Terkurung di dalam rumah. Merasa nestapa….

 

Orang-orang yang lupa. Bahwa apapun yang ada dan terjadi di dunia adalah kehendak-Nya. Tidak ada jalan hidup manusia yang dirancang oleh otaknya, oleh kecerdasannya. Lalu merasa dirinya hebat. Dan akhirnya lupa bila ada Allah dalam hidupnya.

 

Maka, DAUN yang kecil pun menutupi BUMI yang luas.

Tiap hari berkeluh-kesah. Mengeluh setiap hari. Hingga menebar kebencian dan permusuhaan kepada orang lain. Tiap hari hanya mencari-cari kejelekan orang lain. Tiap hari galau, bete sampai seolah tidak ada lagi harapan untuk kebaikan. Bermental “korban”, berjiwa menderita. Lalu, lupa bersyukur.

 

Bersyukurlah atas apa yang dimiliki. Maka, jangan tutupi BUMI yang luas dengan DAUN yang kecil. Fokuslah pada apa yang dimiliki, bukan pada apa yang diinginkan. Lebih baik mensyukuri apa yang ada daripada mengeluhkan yang tidak ada. Lebih baik pelihara yang sudah ada di rumah daripada membandingkan dengan yang ada di luar rumah.

 

Sudahlah, jangan tutupi BUMI yang luas dengan DAUN yang kecil.

Agar jangan terlalu memikirkan apa yang dipunya. Hingga lupa atas apa yang sudah dimiliki. Karena semua yang kita miliki saat ini adalah anugerah dan karunia yang pantas untuk kita.

Hidup itu WAKTU yang dipinjamkan, sedangkan harta adalah BERKAT yang dipercayakan.

"Banyak orang sudah punya tapi merasa belum punya". Mau sampai kapan hidup kayak gitu?

 

Bahagialah secukupnya. Sedihlah seperlunya. Mencintailah sewajarnya. Membencilah sekedarnya. TAPI INGAT, BERSYUKURLAH SEBANYAK-BANYAKNYA. Tolong, jangan tutupi "BUMI yang luas" dengan "DAUN yang kecil"…

Rabu, 16 September 2020

Nasihat Itu Ajaran Baik Bukan kata-kata Buruk, Terapi Nasihat TBM Lentera Pustaka

Ada yang perlu diluruskan tentang “nasihat”.

Nasihat, bukan nasehat. Itu artinya “ajaran atau pelajaran baik”. Atau lainnya berarti “anjuran (petunjuk, peringatan, teguran) yang baik”. Maka bagi siapapun, menasihati atau menasihatkan pasti “pesannya baik, sesuatu yang positif”. Ada ajaran moral yang baik dari nasihat. Jadi sangat salah, bila ada orang menasihati sesuatu yang buruk, apalagi jahat.

Contoh nasihat, “Nasihat pemerintah, semua orang wajib pakai masker”. Tapi sebaliknya “Gimana tidak sakit, sudah dinasihati tidak mau” adalah bukan nasihat.

 

Di tengah wabah Covid-19, nasihat baik itu penting. Bahkan di era media sosial seperti sekarang pun nasihat yang baik sangat penting. Karena selain sebagai koreksi, nasihat juga sebagai evaluasi atas apa yang pernah diucapkan dan dilakukan. Agar ke depan jadi lebih baik, bukan lebih buruk. Maka nasihat adalah sesuatu yang baik.

 

Maka nasihat, tidak tercermin darih kata-kata yang buruk. Tidak ada nasihat pada kata-kata yang jelek atau jahat. Berdalih nasihat. Tapi mencela, mencaci, menghujat, membenci, menyalahkan atau merendahkan orang lain. Sama sekali itu semua bukan nasihat. Berdebat yang tidak ada manfaatnya pun bukan nasihat. Coba cek di media sosial. Gayanya seperti bernasihat. Tapi nyatanya, kata-kata yang dipakai tidak baik, tidak pantas. Sekali lagi, itu bukan nasihat.

 

Kenapa nasihat? Karena manusia itu makhluk yang labil. Pemilik salah dan khilaf. Kan tidak ada manusia yang sempurna. Namanya manusia. Satu waktu berbuat baik, di waktu lain berbuat buruk. Saat ingat baik, saat lupa jahat. Hari ini benar, bsia jadi besok salah. Atas dasar itu tiap manusia pasti butuh nasihat, antara dinasihati atau menasihati. Tujuannya, untuk mengingatkan. Agar jadi lebih baik, jadi lebih benar, jadi lebih ingat. Itulah nasihat.

 

Maka siapapun, selagi masih jadi manusia. Jangan pernah merasa paling benar dan mengklaim tidak pernah salah. Manusia itu pasti ada salahnya. Dan orang yang anti nasihat, kemungkinannya hanya dua: 1) sombong atau 2) bebal. Merasa diri paling benar, sementara yang lain salah.

 


Sejatinya, nasihat itu untuk memperbaiki diri. Nasihat pun boleh disebut sebuah “investasi” kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat. Karena tanpa nasihat, manusia akan sulit dikontrol. Bahkan bisa menabrak aturan apa pun. Menjadi liar dan tidak terkendala. Hingga akhirnya membuat kerusakan dan kerugian. Tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga orang lain.

 

Maka di TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor. Saya pun membiasakan untuk memberi nasihat kepada anak-anak kampung usia sekolah dan masyarakat sekitar. Agar mereka lebih paham arti kehidupan dan mampu berdaya di tengah peradaban, bukan malah terlindas zaman. Taman bacaan bukan hanya jadi tempat baca. Tapi juga tempat bernasihat orang dewasa kepada anak-anak. Agar mereka tidak salah jalan. Agar hidup lebih bermanfaat untuk orang lain, bukan malah merusak orang lain.

 

Karena saya percaya. Nasihat itulah yang duperlukan banyak orang hari ini. Agar jadi lebih baik, lebih bijak, lebih rendah hati, dan lebih peduli.  Karena “sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS 103:2-3).

 

Mungkin karena nasihat, kesalahan dan kekurangan manusia bisa ditambal. Sebab pengetahuan manusia itu terbatas, tidak bisa menjangkau segala hal dalam kehidupan. Dan nasihat baik itu datangnya dari Allah, walau eksekusinya bisa saja melalui orang lain. Jadi, nasihat itu kebaikan bukan keburukan. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #BudayaLiterasi #PegiatLiterasi

 

Minggu, 13 September 2020

Taman Bacaan Lentera Pustaka Jalankan Filosofi Tempe Mendhoan

Mendhoan, siapa yang tidak tahu?

Mendhoan itu hidangan lezat terbuat dari tempe. Mendhoan paling asyik jadi “teman ngobrol” apalagi disajikan dengan secangkir kopi atau teh. Saking nikmatnya, obrolan pun bisa ngalor-ngidul. Segala rupa diobrolin. Mendhoan makin berkesan bila disantap dengan sambal kecap atau cabe rawit. Apalagi sambil traveling ke daerah aslinya tempe mendhoan di Purwokerto, Banyumas dan sekitarnya.

 

Sebagai penikmat mendhoan, saya pun berpikir. Apa sih nilai-nilai yang bisa diperoleh dari tempe mendhoan selain untuk disantap. Maka saya menyebutnya, filosofi mendhoan. Ternyata, mendhoan dapat diartikan sebagai prinsip untuk "selalu berjiwa muda". Ada yang bilang tempe mendhoan itu belum matang. Karena belum matang itu berarti bersedia siap untuk matang, menuju kematangan. Bila matang diartikan sudah tua dan sudah sampai waktunya untuk dipetik, dimakan seperti buah-buahan. Maka mendhoan bermakna selalu bersemangat dalam melakukan sesuatu. Sehingga nantinya. Setiap perbuatan dan karya dapat dinikmati dan dipetik. Untuk diri sendiri maupun orang lain.

Mendhoan. Konon katanya secara etimologis berasal dari kata, ‘mendho’ yang berarti “di antara kata mendhak (ke bawah) dan mendhuwur (ke atas)". Mendho memiliki definisi “tanggung”, yaitu tidak ke bawah pun tidak ke atas. Mendhoan itu tanggung. Karena kalau sampai kering, namanya jadi keripik tempe. Tapi bila terlalu basah pun namanya jadi oncom atau apa. Jadi secara filosofis, manusia sejatinya perlu menata diri dan hati-hati. Jangan sampai terlalu ke atas dan jangan terlalu ke bawah; yang pas-pas saja. Agar tidak mudah terjatuh, agar tidak terlena dalam kehidupan duniawi yang sementara.

 

Mendhoan hakikatnya mengandung filosofi yang berguna bagi pelajaran hidup manusia. Sebut saja, filosofi mendhoan. Karena dalam bahasa jawa kuno "Mendho" berarti mentah. Lalu mendapat akhiran "an". Jadilah mendhoan yang berarti mentahan atau belum matang. Maka, hidup pun selalu berjiwa muda dan jangan terlalu cepat puas sebelum mampu menebar manfaat dan kebaikan kepada orang lain.

 

Meskipun mendhoan itu enak dan nikmat rasanya. Namun ada nasehat kehidupan di dalam mendhoan. Agar manusia tidak terbuai dalam kenikmatan dunia saja. Pasalnya ada hal lain yang harus berani dilakukan, yaitu berjalan ‘mendhuwur’' alias ke atas. Selalu ada perjalanan ke atas yang lebih berat. Berjalan ke depan yang banyak tantangan. Bukan pula harus ke bawah (mendhak) hingga terlena dan terjatuh. Saat di atas harus tetap eling, ingat. Saat di bawah harus tetap berjuang dan ikhtiar lan sabar.

 


Filosofi mendhoan pun sangat erat kaitannya dengan taman bacaan.

Karena di taman bacaan, mengubah perilaku anak-anak yang terbiasa main menjadi “dekat” dengan buku tidaklah semudah membalik telapak tangan. Bukan hanya tekad kuat, keberanian, dan komitmen. Tapi jauh lebih dari itu, sungguh butuh kesabaran dan kemampuan khusus untuk meyakinkan masyarakat dan anak-anak untuk mau membaca secara rutin di taman bacaan.

 

Sungguh, membangun tradisi baca dan budaya literasi di tengah gempuran era digital sama sekali tidak semudah yang diseminarkan atau didiskusikan banyak orang. Karena tradisi baca dan budaya literasi tidak bisa sebatas niat baik. Tapi harus aksi nyata dan terjun ke lapangan.

 

Seperti filosofi mendhoan, mengelola taman bacaan itu harus punya modal “semangat berjiwa muda, pantang menyerah”. Plus harus hati-hati alias pas-pas saja, tidak terlalu ke atas (sombong) atau terlalu ke bawah (pesimis).

 

Perjuangan tidak kenal lelah dalam menebar virus membaca di kalangan anakkanak usia sekolah yang terancam putus sekolah, itulah yang saya lakukan di TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor. Sejak tahun 2017 didirikan, Taman Bacaan Masyarakat Lentera Pustaka telah mengubah anak-anak kampung yang semula polos, pemalu dan cenderung sulit berinteraksi dengan orang “dari luar”. Kini berubah menjadi anak-anak yang terbiasa membaca rutin 3 kali seminggu. Bahkan bisa “menghabiskan” 5-8 buku per minggu per anak Sebuah perilaku dan budaya anak-anak yang tadinya “jauh” dari buku, kini menjadi lebih “dekat” pada buku dalam kesehariannya.

 

Taman bacaan Lentera Pustaka hadir semata-mata untuk menekan angka putus sekolah. Karena anak-anak di Desa Sukaluyu di Kaki Gunung Salak, 81% tingkat pendidikannya hanya SD dan 9% SMP. Itu berarti, angka putus sekolah masih tergolong sangat tinggi. Mungkin karena persoalan ekonomi alias kemiskinan. Maka dengan modal seadanya, dari garasi rumah kemudian diubah menjadi rak-tak buku bacaan. Bahkan dengan mengusung konsep “TBM Edutainment”, kini TBM Lentera Pustaka tumbuh menjadi taman bacaan yang kreatif dan menyenangkan. Tandanya adalah 1) program taman bacaan berjalan dengan intensif dan rutin, 2) jumlah anak pembaca aktif mencapai 60-an anak, 3) mendapat dukungan dari masyarakat sekitar, 4) menjalakan program berantas buta aksara, 5) memiliki koleksi buku lebih dari 3.800, 6) selalu ada donatur buku bacaan, 7) ada dukungan relawan yang membimbing dan mengajar setiap bulan, dan 8) seluruh biaya operasional dan program taman bacaan disponsori oleh 3 CSR korporasi (AJ Tugu Mandiri, Bank Sinarmas, dan Asosiasi DPLK).

 

Perjuangan tidak kenal Lelah, memang harus jadi spirit taman bacaan.

Karena buku bacaan diharapkan bisa mengubah mind set akan pentingnya sekolah dan belajar. Agar angka putus sekolah bisa ditekan. Maka taman bacaan harus dikelola dengan efektif dan partisipatif. Taman bacaan yang  mampu mengerahkan kerativitas dan kolaborasi agar tetap bertahan, mampu survive sekalipun terpinggirkan dari perhatian banyak orang.

 

Berbekal filosofi mendhoan. Taman bacaan di mana pun menjadi simbol. Bahwa alangkah mulia apabila kehidupan dijalankan dengan rasa kepedulian untuk sesama. Dan semuanya harus dihadapi dengan penuh tanggung jawab tanpa melakukan tindakan endho ataupun menghindar dari realitas.

 

Karena di taman bacaan, siapapun yang menggerakkan tidak cukup dengan tekad. Tapi membutuhkan hati untuk tetap bertahan di jalan kepedulian. Salam literasi #FilosofiMendhoan #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #GerakanLiterasi



Jumat, 11 September 2020

Literasi Menurut Pendiri Taman Bacaan Lentera Pustaka

Faktanya, literasi masih banyak belum dipahami banyak orang. Literasi, memang sering disebut dalam berbagai diskusi dan seminar. Namun dalam realisasinya, praktik baik literasi belum banyak dilakukan. Atas alasan itu pula, Indonesia disinyalir memiliki tingkat literasi yang belum memadai atau tergolong masih rendah.

 

Salah satu bukti rendahnya tingkat literasi di Indonesia (Litbang Kemdikbud, 2019) adalah angka rata-rata Indeks Alibaca Nasional berada di angka 37,32. Indeks aktivitas literasi yang tergolong rendah. Indeks kumulatif dari 1) dimensi kecakapan 75,92, 2) dimensi akses 23,09, 3) dimensi alternatif 40,49, dan 4) dimensi budaya 28,50.

 

Adalah Central Connecticut State University yang merilis “The World Most Literate Nation Study” (2016) atau  studi bangsa-bangsa paling literat di dunia. Hasilnya, Indonesia berada pada posisi ke-60 dari 61 negara, hanya di atas Botswana. Untuk kawasan ASEAN, posisi Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Ditambah lagi laporan Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 yang dilakukan The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menempatkan posisi Indonesia di peringkat 72 dari 77 negara. Skor kemampuan siswa Indonesia dalam membaca 371 (di bawah rata-rata OECD 487), untuk matematika 379 ( di bawah rata-rata OECD 487), dan untuk sains 389 (di bawah rata-rata OECD 489).

 

Lagi-lagi, laporan “Skills Matter” OECD (2016) melalui tes PIAAC pun menyatakan tingkat literasi orang dewasa Indonesia berada pada posisi terendah dari 40 negara. Hanya 1% orang dewasa yang memiliki tingkat literasi yang memadai; yang dapat mengintegrasikan, menafsirkan, dan mensintesis informasi dari teks yang panjang. Lalu, hanya 5,4% orang dewasa yang dapat menemukan makna informasi dari teks yang panjang. Mungkin, beragam studi itu relevan dengan data UNESCO yang menyebut posisi membaca Indonesia 0,001%. Atau hanya ada 1 dari 1.000 orang Indonesia yang gemar membaca. Tentu, validitas data dan studi itu dapat diperdebatkan. Tapi buat saya yang penting, data itu harusnya menjadi sinyal bangsa Indonesia untuk memperbaiki diri dalam hal tingkat literasi. Agar ke depan, kondisi literasi orang Indonesia bisa terus meningkat.

 

 

Ironisnya, Indonesia ini negara dengan terbanyak ke-5 di dunia, mencapai 272 juta orang. Riset We Are Social bertajuk "Global Digital Reports 2020" menyebut 64% penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet. Anggka pengguna internet menakjubkan, sudah mencapai 175,4 juta orang. Waktu berselancar di dunia maya rata-rata orang Indonesai selama 7 jam 59 menit per hari, sementara rata-rata global hanya 6 jam 43 menit di internet per harinya. Maka tidak heran, orang Indonesia masuk “kaum paling cerewet di media sosial”, berada di urutan ke 5 dunia, melebihi Tokyo dan New York sekalipun.

 


Nah, jadi apa itu literasi?

Sejatinya, literasi selalu berevolusi sesuai dengan tantangan zaman. Dulu, literasi diartikan sebatas kemampuan membaca dan menulis. Tapi kini, literasi sudah mengalami perluasan makna menyangkut “kecakapan hidup” dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Literasi yang merambah pada praktik pendidikan, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi.

 

Para ahli, seperti Sulzby (1986) menyebut literasi sebagai kemampuan berbahasa dalam berkomunikasi seperti membaca, menyimak, berbicara, dan menulis dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya. Graff (2006) pun memaknakan literasi sebagai kemampuan untuk menulis dan membaca. Dalam kamus online Merriam – Webster, literasi didefinisikan kemampuan atau kualitas melek aksara. Sementara UNESCO menyatakan literasi sebagai keterampilan dalam membaca dan menulis.

Tapi kini yang paling tepat, menurut Education Development Center (EDC), literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya, lebih dari sekadar kemampuan baca tulis.

 

Maka menurut saya, literasi adalah kesadaran untuk belajar dan memahami realitas untuk mentransformasikan pikiran ke dalam perilaku nyata yang lebih baik. Maka kata kunci literasi, harus ada kesadaran belajar – memahami realitas yang ada – transformasi ke dalam perilaku sehari-hari. Hal ini sejalan dengan istilah literasi dalam bahasa latin “literatus”, yang berarti orang yang belajar.

 

Dalam konteks era digital dan revolusi industri 4.0, mau tidak mau, literasi harus bertumpu pada 5 (lima) perilaku yaitu: 1) memahami, 2) melibatkan, 3) menggunakan, 4) menganalisis, dan 5) mentransformasi teks. Jadi dengan tegas, literasi pastinya merujuk pada “kompetensi dan kecakapan” seseorang dalam menyeimbangkan pikiran dan perilaku, mampu adapatsi terhadap perubahan, dan terpenting mampu memecahkan masalah dalam realitas kehidupan sehari-hari. Sangat jelas, literasi lebih dari sekadar kemampuan membaca dan menulis.

 

Seseorang dapat disebut literat, bila memiliki kompetensi dan kecakapan hidup yang mumpuni. Orang yang berdaya dan memberdayakan atas dasar kesadaran belajar, kemampuan memahami realitas, dan mampu mentransformasikan pikiran ke dalam perilaku sehari-hari. Hidupnya adaptif, kontibusinya positif, dan manfaatnya solutif.

 

Gerakan literasi adalah spirit abad 21. Itu pula yang jadi sebab lahirnya Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai implementasi PP Mendikbud No. 23/ 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Maka agar menjadi bangsa yang unggul di tengah arus globalisasi dan revolusi industri 4.0, ada 3 (tiga) fokus dan poros pendidikan nasional Indonesia, yaitu: 1) literasi dasar, 2) kompetensi, dan 3) kualitas karakter.


Literasi dasar sebagai poros pendidikan mencakup 6 (enam) hal, yaitu; 1) literasi baca-tulis, 2) literasi numerasi, 3) literasi sains, 4) literasi digital, 5) literasi finansial, dan 6) literasi budaya dan kewargaan. Berbekal literasi dasar itulah diharapkan terbentuk 4 (empat) kompetensi pendidikan yang mencakup 1) kemampuan berpikir kritis, 2) kreativitas, 3) komunikasi, dan 4) kolaborasi. Ujungnya, puncak kecakapan literasi dasar dan kompetensi akan bermuara pada  kualitas karakter pendidikan Indonesia yang 1) religius, 2) nasionalis, 3) mandiri, 4) gotong royong, dan 5) integritas. Memang kesannya terlalu ideal. Tapi skrenario itulah yang diharapkan dari gerakan literasi nasional. Persoalannya, tinggal di implemenasi saja.

 

Akhirnya, literasi adalah perbuatan alias perilaku. Jangan biarkan literasi hanya besar di ruang-ruang seminar atau pikiran semata. Tanpa ada implementasi atau aksi nyata. Maka semua pihak, siapapun, harus peduli dan ikut aktif dalam menggerakan aktivitas literasi di manapun. Untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan.

 

Karena di tengah gempuran era digital dan rongrongan gaya hidup. Mau tidak mau, hanya tingkat literasi yang mampu menumbuhkan daya kreatif, daya tahan, dan daya saing masyarakat menjadi lebih baik. Menuju peradaban dan kehidupan masyarakat yang lebih cerdas dan berkualitas.  

 

Sungguh, masa depan bangsa Indonesia ada pada tingkat literasi masyarakatnya.  Salam literasi. #GerakanLiterasi #BudayaLiterasi #PegiatLiterasi



Kamis, 10 September 2020

8 Poin Hasil Survei Dana Pensiun Untuk Generasi Milenial, Apa Saja?

Generasi milenial, mereka yang lahir pada kisaran 1980 hingga 2000-an menjadi topik yang selalu dibicarakan. Mulai dari gaya hidup, candu internet, gemar yang instan bahkan punya obsesi bisnis yang tinggi. Alvara Research Center (2020) menyebutkan generasi milenial menyimpan potensi besar untuk bisnis. Di tahun 2020, generasi milenial mendominasi populasi penduduk di Indonesia. Sekitar 34 persen atau mencapai 91 juta orang dan akan terus mendominasi hingga tahun 2035.

 

Selain candu internet, generasi milenial lebih memilih melakukan transaksi non-tunai. Cara berpikir dan bekerjanya pun lebih cepat dan cerdas lantaran didukung oleh teknologi. Hebatnya lagi, generasi milenial juga memiliki perilaku senang berwisata. Setahun sekali, 1 dari 3 milenial pergi liburan.

 

Ada dugaan, generasi milenial tergolong “dompet tipis”. Bisa jadi iya. Tapi kondisi itu bukan disebabkan karena mereka tidak punya uang. Justru karena generasi milenial gampang terbuai oleh gaya hidup dan jiwa konsumerisme. Belum lagi hobby nongkrong di warung kopi.  

 

Maka dalam hal keuangan. Generasi milenial di Indonesia, faktanya lebih suka menghabiskan uang untuk mendapatkan pengalaman tertentu. Dibandingkan menabung atau menambah aset. Apalagi harus berpikir soal masa pensiun. Lalu pertanyaannya, apakah generasi milenial “tidak peduli’ terhadap masa tuanya, hari pensiunnya?


Untuk membuktikannya, saya melakukan survei sederhana tentang dana pensiun, khususnya DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) pada generasi milenial. Dengan jumlah responden 100 milenial di Jabodetabek pada tahun 2019 lalu. Apa kata milenial tentang dana pensiun?

1.    Bahwa 60% generasi milenial tidak tahu dana pensiun atau DPLK

2.    Faktanya 90%  generasi milenial pun tidak punya dana pensiun atau DPLK untuk hari tuanya

3.    Namun 100% generasi milenial menganggap dana pensiun atau DPLK itu penting untuk dirinya

4.    Oleh karena itu, 77%  generasi milenial ingin punya dana pensiun atau DPLK secara individual

5.    Bahkan 63% dari generasi milenial mau membeli produk dana pensiun atau DPLK secara online

6.    Saat sekarang pun 70% generasi milenial mau sisihkan dana untuk masa pensiunnya

7.    Ada 42% generasi milenial siap menyisihkan iuran dana pensiun di kisaran 6%-10% dari gaji

8.    Bahkan 90% generasi milenial mau membayar iuran dana pensiun secara bulanan

 


Tentu data di atas hanya survei sederhana. Harus divalidasi dan ditindak-lanjuti agar lebih akurat. Tapi intinya, ada pesan penting yang ingin saya sampaikna, yaitu 1) generasi milenial punya “minat” terhadap dana pensiun sebagai alternative perencanaan masa pensiun dan 2) generasi milenial pun konsen soal akses untuk mendapatkan dana pensiun atau DPLK secara online. Maka untuk semua itu, kata kuncinya ada pada edukasi dana pensiun atau DPLK.

 

Edukasi dana pensiun itulah yang sangat penting. Untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman generasi milenial tentang dana pensiun atau DPLK, atau disebut tingkat “literasi”. Dan setelah itu baru bisa berpotensi menjadi “inklusi” atau memiliki program dana pensiun.

 

Bak “buah simalakama”. Di satu sisi, generasi milenial mungkin berpikira mereka masih muda sehingga tidak perlu terburu-buru punya dana pensiun walau nyatanya mereka sama sekali tidak punya persiapan yang memadai untuk hari tua. Namun di sisi lain, bagaimana cara untuk “memengertikan” generasi milenial akan pentingnya dana pensiun, di samping memberi kemudahan akses untuk bisa memiliki program dana pensiun.

 

Mungkin, untuk urusan dana pensiun. Generasi milenial perlu lebih bersabar untuk memahami dan memilikinya. Asal tetap sadar bahwa pensiun atau berhenti bekerja, cepat atau lambat pasti tiba. Dan pensiun bukan soal waktu. Tapi soal keadaan, mau seperti apa nantinya ?

 

Akankah generasi milenial “bangkrut” di hari tua? #GenerasiMilenial #DanaPensiun #EdukasiDPLK