Senin, 30 November 2020

Literasi Nongkrong Versi Pegiat Literasi TBM Lentera Pustaka

Nongkrong, tentu boleh-boleh saja. Siapapun boleh nongkrong. Yang tidak boleh dari nongkrong itu bila dipakai untuk ngomongin orang. Atau nongkrong yang tidak ada gunanya. Buang-buang uang tapi tidak produktif. Nongkrog yang isinya kejelekan dan ksia-siaan.

 

Sekitar 8 tahun lalu, saya pun pernah nongkrong. Hingga ke Shanghai di negeri Cina. Saat itulah saya mengenal tempat-tempat indah, seperti: Shanghai Pearl Tower, The Bund, Yu Garden, Huaihai Road, dan Nanjing Road yang spektakuler di malam hari. Bahkan kali pertama, saya naik kereta yang super cepat, 250km per jam pun di sini.  Dari Shanghai ke kota Hangzhou yang indah.

 

Jadi, nongkrong itu sangat boleh. Bila diisi dengan hal yang positif dan baik. Nongkrong yang bisa nambah pengetahuan. Nongkrong yang mencerahkan pikiran dan sikap untuk bertindak lebih positif. Nongkrong juga bagian dari literasi, asal menambah pemahaman dan kesadaran. Persis seperti nongkrong di taman bacaan.

 

Siapapun, saat nongkrong “dilarang” bawa-bawa status. Apalagi kasta, pangkat dan jabatan. Karena saat nongkrong, semua sama saja. Setara dan tidak ada beda. Seperti di hadapan Allah SWT, semua sama saja. Tidak ada miskin tidak ada kaya. Yang ada, seberapa patuh kepada Allah SWT dan seberapa besar amal kebaikan yang diperbuatnya.

 


Maka aneh. Bila ada orang nongkrong justri ngomel-ngomel. Negara diomelin, bangsanya sendiri dijelek-jelekin. Bila ada yang kurang, kenapa tidak aksi nyata untuk memperbaiki? Nongkrong itu bukan untuk membenci, menghujat apalagi mencaci. Apalagi di musim Covid-19 gini. Nongkrong hingga berkerumun itu tidak boleh. Apalagi tidak sesuai protokol kesehatan. Nongkrong itu tidak boleh egois. “Merasa benar sendirian, sementara orang lain salah”.

 

Menurut saya, nongkrong itu filosofinya membangun empati, menebar toleransi. Selalu menghargai orang lain, apapun kondisinya. Agar melatih mindset tentang cara menjalin hubungan baik, menjaga keharmonian. Seperti orang dagang, jual beli itu terjadi bila ada harmoni, ada sikap saling menghargai.

 

Lalu untuk apa? Bila nongkrong hanya untuk pamer diri. Apalagi hura-hura, buang-buang waktu sambl ngomongin yang tidak jelas. Bak selebriti. Jangan nongkrong bila tidka ada guna. Karena nongkrong adalah media literasi.

 

Nongkrong juga, bisa jadi, ujian terhadap kesalehan sosial seseorang. Agar tidak berpikir. Bahwa "saya lebih suci dari orang lain”. Dan yang paling penting, nongkrong itu bukan tergantung pada penampilan, pakaian atau aksesori dandanan. Nongkrong, hanya butuh otak dan akal sehat. Agar lebih berkualitas, lebih meslahat. Itulah literasi nongkrong. Salam literasi … #LiterasiNongkrong #BudayaLiterasi #TamanBacaan



Minggu, 29 November 2020

Ikhlas, Jangan karena polah semua jadi terpecah-belah

IKHLAS itu….

Ketika nasehat dan kritik bahkan fitnah

tidak kendorkan amalmu dan tidak membuat semangatmu punah

 

IKHLAS itu…

Ketika amal tidak bersambut apresiasi sebanding,

Tidak membuatmu urung bertanding

 

IKHLAS itu…

Ketika niat baik disambut berbagai prasangka,

Kau tetap berjalan tanpa berpaling muka

 

IKHLAS itu…

Ketika sepi atau ramai,

Ketika sedikit atau banyak,

Ketika menang atau kalah,

Kau tetap pada jalan yang lurus dan teruslah melangkah

 

IKHLAS itu…

Ketika kau lebih mempertanyakan ;

Apa amalmu dibanding apa posisimu

Apa peranmu dibanding apa kedudukanmu

Apa tugasmu dibanding apa jabatamu

 

IKHLAS itu..

Ketika ketersinggungan pribadi

Tidak membuatmu keluar dari barisan dan merusak tatanan

 

IKHLAS itu…

Ketika posisimu di atas, tak membuatmu bangga

Ketika posisimu di bawah, tak membuatmu enggan berusaha

 

IKHLAS itu…

Ketika khilaf, mendorongmu minta maaf

Ketika salah,mendorongmu berbenah

Ketika ketinggalan, mendorongmu untuk lebih berjuang

 

IKHLAS itu…

Ketika kebodohan orang lain terhadapmu,

Tidak kau balas dengan kebodohanmu terhadapnya

Ketika kezalimannya terhadapmu,

Tidak kau balas dengan kezalimanmu terhadapnya

 

IKHLAS itu…

Ketika kau bisa menghadapi wajah marah, dengan senyuman yang ramah

Ketika kau hadapi kata kasar dengan jiwa yang besar

Ketika kau hadapi dusta, dengan menjelaskan yang fakta

 

IKHLAS itu…

Mudah diucapkan dan sulit diterapkan,

Namun tidak mustahil bisa diusahakan

 

Ikhlas, jangan karena kalah semua salah

Jangan karena benci semua dicaci

Jangan karena polah semua jadi terpecah-belah

Ikhlaskanlah …..



Guru MTsN 2 Kerawang yang Enterpreneur Berbagi Peduli ke TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak

Bertajuk “Peduli Berkarya Sambil Beramal”, seorang guru yang enterprenuer dari Cikampek berbagi kepedulian ke Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak sekaligus memberikan bantuan “kaos seragam baru” bagi 70 anak-anak taman bacaan dan 11 ibu-ibu Gerakan BERantas BUta aksaRA (GEBERBURA) pada Minggu, 29 November 2020. Pak H. Kusnadi. Ibu Yayah, Ibu Iis, dan Ibu Nia yang sehari-hari bertugas sebagai guru di MTs Negeri 2 Kerawang memberikan motivasi akan pentingnya tradisi baca anak-anak di era serba digital sekarang.

 

Selain berdonasi kaos, Pak Kusnadi yang sekaligus pengusaha konveksi ini  pun menghibur anak-anak dengan bermain keyboard dan bernyanyi bersama, di samping memberikan santunan kepada anak-anak yatim binaan TBM Lentera Pustaka.  Berdialog langsung dengan anak-anak pembaca aktif dan ibu-ibu buta aksara.

 

“Senang sekali saya dapat ikut memotivasi anak-anak Taman Bacaan Lentera Pustaka sambil berdonasi kaos. Tradisi baca harus terus ditegakkan di anak-anak kita, apapun kondisinya. Saya ke sini pun belajar untuk membuka taman bacaan dan aktivitas literasi di Cikampek” ujar Pak H. Kusnadi saat mengisi acara di TBM Lentera Pustaka.


 

Sekalipun kegiatan membaca punya manfaat besar bagi anak-anak, Pak Kusnadi yang juga rekan sekelas masa kuliah Pendiri TBM Lentera Pustaka, menegaskan tidak mudah mengajak atau menumbuhkan tradisi membaca buku di kalangan anak-anak. Apalagi di era digitral seperti sekarang, anak-anak lebih gemar bermain gawai daripada membaca. Untuk itu, siapapun khususnya kalangan praktisi pendidikan harus peduli terhadap aktivitas taman bacaan. Di masa pendemi Covid-19 seperti sekarang, motivasi anak-anak untuk membaca buku harus terus digalakkan.

 

"Saya ucapkan Terima kasih kepada Pak Kusnadi dan rekan guru dari Cikampek yang sengaja datang ke TBM Lentera Pustaka untuk berdonasi seragam kaos, sambil menghibur dan memotivasi anak-anak di taman bacaan ini. Inilah bukti kepedulian nyata dari guru kepada Pendidikan nonformal. Agar banyak orang makin peduli terhadap tradisi baca anak-anak usia sekolah. Demi tegaknya budaya literasi masyarakat. " ujar Syarifudin Yunus, Pendiri TBM Lentera Pustaka sekaligus Pegiat Literasi Indonesia.


Patut diketahui, TBM Lentera Pustaka yang terletak di kampung Warung Loa Desa Sukaluyu kaki Gunung Salak, di usia ke-3 kini telah menjadi tempat membaca 70-an anak-anak usia sekolah yang terancam putus sekolah akibat kemiskinan di wilayahnya. Dengan waktu membaca seminggu 3 kali (Rabu-Jumat-Minggu), kini setiap anak mampu membaca 5-8 buku per minggu per anak. Dari sebelumnya tidak memiliki akses buku bacaan sama sekali. Dengan koleksi lebih dari 4.000 buku, TBM Lentera Pustaka bertekad akan terus menggaungkan perilaku baca dan budaya literasi pada anak-anak. Agar tidak tergerus oleh nafsu era digital yang kadang menyesatkan. Selain aktivitas taman bacaan, TBM Lentera Pustaka pun memiliki program GEBERBURA (GErakan BERantas BUta aksaRA) yang diikuti 11 ibu-ibu buta huruf, di samping membina 10 anak yatim sebagai binaan agar tetap lanjut sekolah.

 

Dalam kesempatan ini, Pak Kusnadi dan rekan pun ikut melakukan senam literasi, salam literasi dan doa literasi Bersama anak-anak TBM Lentera Pustaka. Di samping menyaksikan langsung perilaku baca melalui konsep “TBM Edutainment” yang digagas pendiri TBM Lentera Pustaka. Agar taman bacaan menjadi tempat yang menarik dan menyenangkan anak-anak dalam membaca buku.

 

Pesan moralnya adalah siapapun praktisi Pendidikan harus peduli dan ikut mengkkampanyekan akan pentingnya tradisi baca anak-anak. Akrabkan anak dengan buku dan taman bacaan. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #GuruPeduliTamanBacaan



 

Kamis, 26 November 2020

Serem Banget 6 Dampak Literasi Rendah, TBM Lentera Pustaka Giatkan Anak Membaca Buku

Dibandingkan negara-negara lain di dunia, tingkat literasi anak-anak dan orang dewasa di Indonesia tergolong rendah. Sebut saja, alokasi waktu membaca orang Indonesia per hari rata-rata hanya 30-59 menit. Masih kurang dari satu jam. Sedangkan, jumlah buku yang dibaca tuntas per tahun rata-rata hanya 5-9 buku (Perpusnas, 2017). Sementara standar UNESCO meminta agar waktu membaca tiap orang sekitar 4-6 jam per hari. Sementara masyarakat di negara maju rata-rata menghabiskan waktu membaca 6-8 jam per hari. Anehnya, orang Indonesia mampu menghabiskan waktu 5,5 jam sehari untuk bermain gawai atau gadget.

 

Laporan “Skills Matter” dari OECD (2016) menyebut tingkat literasi orang dewasa di Indonesia berada pada posisi terendah dari 40 negara yang mengikuti program ini. Hanya 1% orang dewasa di Jakarta yang memiliki tingkat literasi yang memadai (Level 4 dan 5);  mengintegrasikan, menafsirkan, dan mensintesis informasi dari teks yang panjang dan hanya 5.4% orang dewasa di Jakarta memiliki tingkat literasi pada level 3, yaitu dapat menemukan informasi dari teks yang panjang. Itu artinya, orang dewasa hanya terbiasa dengan bacaan dan informasi yang pendek. Bukan buku bacaan.  

 

Ternyata, kemajuan zaman dan teknologi canggih tidak berbanding lurus dengan meningkatnya kebiasaan membaca orang. Era digital dan revolusi industri 4.0 pun tidak menjamin tegaknya budaya literasi di Indonesia. Bahkan orang makin kaya pun belum tentu makin peduli pada budaya literasi. Justru sebaliknya, di era serba digital dan revolusi industri ini, faktanya makin banyak orang malas membaca, makin malas menulis. Perilaku baca makin terpinggirkan, budaya literasi kian dikebiri.

 

Bisa jadi, orang Indonesia hari ini lebih suka berceloteh di media sosial atau menonton TV. Maka wajar bila hoaks dan ujaran kebencian kian marak. Memang, agak sulit mengajak orang Indonesia untuk menadikan budaya literasi sebagai gaya hidup. Membangun tradisi baca, bisa jadi “jauh panggang dari api”.

 


Memangnya kenapa bila tingkat literasi masyarakat rendah?

Jujur, sebenarnya agak fatal bila tingkat literasi suatu bangsa rendah. Masyarakat yang tidak literat cenderung percara pada informasi yang salah, hoaks, bahkan gemar merendahkan orang lain. Masyaralat yang tidak literat itu berarti sulit memahami realitas, di samping tidka punya kesadaran untuk mencari solusi dari setiap masalah yang timbul.

 

Setidaknya, ada 6 (enam) dampak fatal bila tingkat literasi rendah, yaitu:

1.      Kebodohan masyarakat yang tidak berujung dan terus-menerus.

2.      Tingkat produktivitas manusia yang rendah jadi sebab sulit untuk maju.

3.      Mudahnya pendidikan berhenti atau masih tingginya angka putus sekolah anak.

4.      Kemiskinan yang tidak terobati bahkan makin meluas.

5.      Kriminalitas dan premanisme yang meninggi jadi sebab tidak tertib masyarakat.

6.      Sikap bijak yang gagal menyeleksi setiap informasi dan perilaku berkomunikasi yang emosional dan penuh sentimen.

 

Maka sebagai solusi, pemerintah atau masyarakat harus memberi ruang lebih besar kepada taman bacaan masyarakat (TBM).  Perlu dibuka taman bacaan yang lebih banyak. Harus ad akepedulian terhadap aktivitas membaca dan Gerakan literasi yang ada di taman bacaan. Taman bacaan adalah ujung tombak untuk mengkampanyekan tradisi baca dan budaya literasi di kalangan anak-anak dan masyarakat. Apalagi di tengah gempuran era digital.

 

“Terus terang, tradisi baca dan budaya literasi masyarakat Indonesia makin ke sini makin memprihatinkan. Zaman makin canggih tapi orangnya makin jauh dari buku bacaan. Hoaks makin marak. Jadi bukti tingkat literasi kita rendah. Untuk itu, taman bacaan masyarakat harus diberi peran lebih besar. Untuk menghidupkan tradisi baca dan budaya menulis. Jangan biarkan gawai merampas hidup anak-anak kita. Siapapun harus peduli terhadap gerakan literasi” ujar Syarifudin Yunus, Pendiri dan Kepala Program TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor.

 

TBM Lentera Pustaka yang terletak di kampung Warung Loa Desa Sukaluyu Kab. Bogor data ini memiliki 70-an anak pembaca aktif yang terancam putus sekolah akibat kemiskinan. Dengan alokasi waktu membaca 3 kali seminggu (Rabu-Jumat-Minggu), kini tiap anak mampu membaca 5-8 buku per minggu per anak. Padahal sebelumnya, anak-anak itu sama sekali tidak punya akses buku bacaan. Berbekal koleksi lebih dari 3.800 buku, TBM Lentera Pustaka bertekad terus menggalakkan tradisi baca dan budaya literasi pada anak-anak dan masyarakat. Selain aktivitas taman bacaan, TBM Lentera Pustaka pun memiliki program GEBERBURA (GErakan BERantas BUta aksaRA) yang diikuti 11 ibu-ibu buta huruf, di samping membina 10 anak yatim sebagai binaan agar tetap bisa melanjutkan sekolah.

 

Jadi apapun kondisinya. Tradisi baca dan budaya literasi harus tetap tegak di bumi Indonesia. Apapun masalah yang dihadapi bangsa hari ini, intinya bertumpu pada masalah literasi. Karena itu, siapapun harus ikut peduli mengatasi masalah literasi di Indonesia. Salam literasi #TamanBacaan #LiterasiMasyarakat #TBMLenteraPustaka

 


Si Menteri Tamak Kesandung Ekspor Benih Lobster

Sebut saja orang tamak. Hanya benih lobster saja di korupsi. Bukannya sejahterakan nelayan atau petambak. Bukannya memuat kebijakan yang pro rakyat. Ehh, justru sang Menteri yang tamak malah memeras “keringat” kaum miskin untuk koceknya. Bikin kebijakan untuk memperkaya dirinya. Pantas dulu, sibuk banget maungubah aturan Menteri sebelumnya. Ekspor benih lobster yang dulu dilarang, diubah jadi boleh oleh si tamak.


Dari kocek korupsi benih lobster itu pula. Si tamak pergi luar negeri, bilangnya tugas negara. Sudah tentu, tiket dan hotelnya pakai uang negara. Nah, giliran belanja; beli tas mahal, beli jam tangan, bahkan sepeda tidak tahunya pakai uang korupsi benih lobster. Sebegitu tamak-kah manusia? Katanya sudah kaya, katanya sudah cukup? Tapi masih berani dan tidak malu mengembat uang jerih payah rakyat.

 

Kontradiksi. Orang tamak selalu saja mengejar yang banyak. Sekalipun bukan hak-nya. Sementara orang miskin atau rakyat jelata tidak pernah bisa mengelak dari kesulitan ekonomi yang terus berombak.

 

Negeri ini kadang aneh. Benih lobster saja di korupsi. Kenapa yang di ekspor benihnya, kok bukan lobster yang siap disajikan? Bila mau ekspor ya harusnya lobster-nya, bukan benih-nya. Biar yang diuntungkan petambak atau nelayan negeri ini. Lebih aneh lagi, kebijakan salah kok tidak ada yang mau “melawan”, tidak segelintir orang di pemerintah pun yang bergeming. Orang tamak malah dikasih jalan. Negeri aneh, bila orang-orang tamak malah dipermudah. Sementara orang-orang miskin malah dibiarkan. Jangankan dibantu, ditengok saja tidak. Makin kasihan dan sedih saja orang-orang miskin. Tidak dipedulikan dan hanya dipermainkan. Sebut saja, ini negeri yang aneh.

 

Orang tamak atau si tamak, persis seperti orang makan yang tak pernah merasakan kenyang dan nikmat anugerah-Nya. Sifat tamak itu hasrat duniawi dan nafsu posesif yang tidak terkendali. Rakus alias serakah dalam hal kebendaan. Hingga lupa mana yang halal dan mana yang haram. Melacurkan diri untuk ketamakan.

 


Sementara orang-orang miskin. Persis seperti yang lihat dengan mata kepala sendiri. Akibat dampak Covid-19 yang makin mendera ekonomi mereka. Tidak satu pun dari orang-orang miskin berteriak “kekurangan”. Bahkan negara sekan “tidak hadir” di dekat mereka. Kaum ibu-ibu miskin yang tidak pernah tahu apa yang sedang terjadi di negerinya. Ada permainan apa di bangsanya? Mereka hanya bisa menerima hidup apa adanya. Ada yang bisa dimakan, bersyukur. Tidak ada yang bisa dimakan pun mereka terdiam di rumah. Coba simak gambar di atas, bagaimana ibu-ibu yang begitu semangat saat mendapat bantuan sembako. Mereka hanya bisa bersyukur bila ada yang membantunya. Merengkuh beras, minyak goreng, gula pasur, mie instan untukdibawa pulang. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menebar senyum untuk anak-anak mereka di rumah.

 

Si tamak, Menteri yang rakus itu kini dijebloskan ke penjara. Malu-maluin lalu meminta maaf di depan layar TV. Maka jauhi sikap tamak. Dilarang serakah atau rakus. Hindari sikap yang selalu ingin memperoleh sesuatu yang banyak untuk diri sendiri atau kelompoknya. Karena orang tamak, selalu mengharap pemberian orang lain yang sebanyak-banyaknya. Sementara dia sendiri bersikap pelit atau bakhil, tidak mau membantu orang lain yang membutuhkan. Tidak peduli dan apatis atas kebaikan. Amal dianggap hanya niat tanpa aksi.

 

Orang tamak selalu merasa harta kekayaan yang dimilikinya selalu kurang. Dan sulit untuk bersyukur kepada Allah. SWT. Orang tamak tidak pernah merasa cukup. Selalu ingin menambah apa yang seharusnya dimiliki. Tnpa memperhatikan hak-hak orang lain, apalagi kaum miskin.

 

Tamak, memang selalu dekat pada kebanyakan manusia. Mereka yang mencintai harta benda. Si tamak, orang-orang yang lupa. Bahwa rezeki itu sudah ditetapkan untuk setiap insan.  Hingga lupa bersyukur atas apa yang sudah dimiliki dan apa yang ada.

 

Ambil hikmah dari si tamak. Jangan serakah, hindari rakus. Tetaplah bersabar bila kurang. Dan bersyukur bila cukup apalagi kaya. Serta tetap peduli dan mau membantu orang-orang miskin yang membutuhkan.

 

Sungguh, seperti kata Mahatma Gandhi “Dunia ini cukup untuk menampung apapun, namun tidak cukup menampung orang yang tamak dan serakah”…

Selasa, 24 November 2020

TBM Lentera Pustaka Dipilih Pacific Life Insurance Salurkan CSR Sembako dan Buku Bacaan

Adalah fakta bahwa hanya 38,03 persen masyarakat yang paham akan literasi keuangan, sesuai data OJK (2019). Untuk itu sangat diperlukan kegiatan edukasi keuangan yang memadai di masyarakat. Atas dasar realitas itu dan sebagai bukti kepedulian sosial, Pacific Life Insurance menyalurkan CSR donasi sembako dan edukasi keuangan ke 50 ibu-ibu serta 150 buku bacaan ke  Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor (25/11/2020).

 

Penyerahan donasi dalam rangkaian Ulang Tahun Pacific Life yangg ke-4 pada tanggal 28 November 2020 ini dilakukan oleh Sasanto W. Simson, Presiden Direktur Pacific Life Insurance didampingi Irwan Surjadi (Direksi Kepatuhan) kepada Syarifudin Yunus selaku Pendiri TBM Lentera Pustaka dan 3 orang ibu-ibu. Paket sembako yang disalurkan berupa beras 10 kg, minyak goreng, gula pasir, sarden, mie instan, sabun, dan masker. Hal ini sekaligus menjadi aksi nyata kepedulian Pacific Life Insurance kepada 50 KK yang membutuhkan dan terdampak Covid-19. Selain itu, Harry Pontas (Head Markom Pacific Life Insurance) juga menggela literasi keuangan bertajuk "NGOBRAS UANG'" atau NGOBrol Santai keUANGan.

 

"Donasi sembako dan buku bacaan CSR Pacific Life Insurance ke Taman Bacaan Lentera Pustaka merupakan bagian dari tanggung jawab sosial kami. Sesuai dengan motto kami ‘mengedepankan hidup’ maka kegiatan berbagi telah menjadi tradisi korporasi. Edukasi keuangan pun kami sajikan agar kaum ibu dapat mengelola uang secara bijak " ujar Sasanto, Presdir Pacific Life Insurance di sela acara penyerahan.

 

Sebagai perusahaan asuransi jiwa, Pacific Life Insurance membuktikan kepeduliannya terhadap taman bacaan dan tradisi baca anak-anak yang tidak mampu. Di samping memberikan bantuan sembako kepada ibu-ibu yang membutuhkan. Melalui kegiatan CSR ini, Pacific Life Insurance pun ikut aktif dalam aksi kepedulian sosial khususnya dalam literasi keuangan ke masyarakat. Di samping fokus dalam bisnis asuransi jiwa, aksi sosial Pacific Life ini jadi bukti peran korporasi untuk peduli kepada taman bacaan sebagai penyeimbang gempuran era digital yang kian masif.

 


"Kami sangat mendukung kegiatan taman bacaan. Maka untuk mencapai kesuksesan perusahaan secara berkelanjutan, kami ingin berbagi kepada sesama sebagai cara kami mensyukuri apa yang telah kami peroleh " tambah Sasanto.

 

Patut diketahui, saat ini TBM Lentera Pustaka memiliki 70 anak pembaca aktif yang setiap 3 kali seminggu selalu membaca dan ada 11 ibu-ibu yang tergabung dalam Gerakan BERantas BUta aksaRA (Geberbura). Dengan koleksi 3.800 buku, perilaku membaca anak-anak usia sekolah terus meningkat. Tiap anak pun kini mampu membaca 5-8 buku per minggu.

 

"TBM Lentera Pustaka sangat berterima kasih dan apresiasi Pacific Life Insurance dalam mendonasikan 50 paket sembako dan buku bacaan. Bukan hanya kepedulian, aksi sosial ini pasti akan memberi berkah yang berkelanjutan bagi bisnis asuransi Pacific Life. Semoga kepedulian menjadi awal keberkahan perusahaan " ujar Syarifudin Yunus, Pendiri dan Kepala Program TBM Lentera Pustaka saat memberi sambutan.

 

CSR Pacific Life Insurance di Taman Bacaan Lentera Pustaka adalah kolaborasi antara asuransi jiwa dengan taman bacaan. Selain untuk edukasi literasi keuangan, kegiatan ini pun jadi dukungan nyata terhadap gerakan membaca anak-anak usia sekolah dan pemberantasan buta aksara.  

 

Dengan motto “mengedepankan hidup”, Pacific Life Insurance meyakini. Bahwa kepedulian tidak akan habis hanya karena membaginya. Bahkan bertamba ketika mau untuk berbagi kepada sesame. Maka saatnya korporasi peduli, ubah niat baik jadi aksi nyata. Salam literasi #PacificLifeInsurance #CSREvent #TBMLenteraPustaka



Selamat Hari Guru Nasional, Seperti Apa Guru yang Ideal Versi TBM Lentera Pustaka?

 Tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Namun kini, mencari sosok guru ideal semakin sulit. Hasil survei saya Juli 2020 pun menyebut 7 dari 10 siswa mengalami masalah saat pembelajaran jarak jauh (PJJ) di masa pendemi Covid-19. Kegiatan belajar-mengajar pun dinilai tidak efektif. Bisa jadi, kondisi ini akibat guru hanya menjadikan PJJ sebagai pengganti tatap muka di kelas. Tanpa mau menyederhanakan kurikulum. 

Sebagai renungan, dunia pendidikan pun mencari sosok guru ideal.Ditambah lagi, pemerintah melalui SKB 4 Menteri mulai memperbolehkan sekolah-sekolah melakukan pembelajaran tatap muka mulai Januari 2021. Guru-guru pun takut sekolah-sekolah berpotensi menjadi klaster baru peluran Covid-19. Pro-kontra menyelimuti dunia pendidikan Indonesia. Sementara para siswa sudah rindu sekolah, PJJ pun tidak efektif, dan guru-guru bingung bila harus belajar tatap muka. Jadi, seperti apa sosok guru yang ideal itu?

Guru ideal adalah harapan semua guru, bahkan siswa. Tapi hari ini, guru yang ideal bisa jadi “jauh panggang dari api”. Sejatinya, sosok guru ideal dianggap mampu menguasai materi pelajaran dan mampu mengelola kelas dengan optimal. Guru yang memiliki wawasan luas lagi kreatif dan inovatif. Berbasis nilai-nilai karakter yang positif, guru ideal akhirnya mampu mencapai tujuan melalui proses belajar yang menarik dan menyenangkan. Sayangnya, sosok guru ideal masa kini mungkin masih sebatas dambaan.  

Guru ideal, kata kuncinya bisa jadi pada kompetensi dan kualitas. Selain kompetensi pedagogik, guru juga dituntut harus memiliki kompetensi kepribadian, sosial, dan profesional dalam menjalankan tugas pengajaran. Secara kualitas, kualifikasi guru yang setara sarjana harus dipenuhi. Agar memiliki kualifikasi akademik yag sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya. Suka tidak suka, guru aktif dan terlibat dalam program peningkatan kompetensi pembelajaran (PKP). Untuk menambah pengetahuan dan keterampilan dalam pengembangan profesi guru. Karena sejatinya, guru adalah subjek yang mampu memecahkan masalah pembelajaran di kelas, bukan menjadi bagian dari masalah. Maka guru yang ideal, harusnya lebih kreatif dan inovatif dalam mengajar.

Diskursus tentang guru yang ideal, bisa dikatakan “tak lekang oleh waktu”. Apalagi di masa pembelajaran digital dan jarak jauh akibat pandemi Covid-19. Guru bukan hanya ujung tombak kecerdasan dan karakter siswa. Namun jadi andalan dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Namun sayang, dari 4,1 juta guru di Indonesia saat ini, masih ada 25% guru yang belum memenuhi syarat kualifikasi akademik dan 52% guru belum memiliki sertifikat profesi keguruan.

Bahkan nilai rata-rata nasional Uji Kompetensi Guru (UKG) tahun 2017 lalu, ada 70 persen guru belum memiliki kompetensi dasar, masih di bahwa nilai standar yang dipersyaratkan yaitu 75. Hanya 30 persen guru yang memiliki kompetensi yang memadai. Konsekuesninya, angka Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia dari United Nations Development Programme (UNDP) tahun 2019 pun hanya 0,707, berada di peringkat ke-111 dari total 189 negara.

Bila tujuan pendidikan, menuurt UU No. 20/2003adalah 1) mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual, 2) mengembangkan kesehatan dan akhlak mulia dari peserta didik, dan 3) membentuk peserta didik yang terampil, kreatif, dan mandiri. Maka jawabnya ada di tangan guru. Guru harus mampu berhadapan dengan segala masalah dan realitas Pendidikan. Di tetap mampu mengoptimalkan proses pembelajaran di kelas, yang tidak hanya terbatas pada kemampuan kognitif siswa tetapi afektif dan psikomotor. Guru harus lebih kreatif dalam mengajar, itulah sosok guru yang ideal.

 


Guru Ideal

Guru ideal harusnya mampu mengatasiproblematika belajarGuru yang kompeten dalam menjalankan kegiatan proses belajar mengajar (PBM), di samping mau menyesuaikan diri dengan dinamika peradaban dan zaman. Guru ideal, sejatinya tidak menjadikan belajar sebagai proses untuk mencetak siswa sebagai “ahli”. Tapi belajar adalah proses agar siswa dapat menemukan potensi dan jati dirinya. Belajar bukan hanya pengetahuan namun memperkaya pengalaman siswa.


Guru sebaiknya menjadi sosok yang tidak dominan di dalam kelas. Agar pembelajaran di sekolah bukan hanya menyajikan kurikulum dan penguasaan materi pelajaran semata. Tapi mampu mengubah siswa menjadi kompeten sesuai dengan potensi dirinya. Penciptaan suasana belajar yang dinamis, produktif, dan profesional harus menjadi spirit guru yang dieal. Sehingga implikasinya, guru mampu menjadi fasilitator dalam membentuk kepribadian siswa yang kokoh, baik secara intelektual, moral. Maka guru ideal, bukan hanya memiliki kompetensi pedagogis, namun kompetensi profesional, sosial, dan kepribadian. Agar guru memang layak ‘digugu”.


Proses belajar-mengajar dengan sistem top-down yang masih dipraktikkan guru di kelas harus dihilangkan. Karena sistem belajar top-down hanya dapat menghasilkan manusia yang cerdas. Tapi gagal menciptakan generasi yang berkarakter, kritis lagi kreatif. Guru yang ideal harus dapat mengubah kurikulum pembelajaran menjadi unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Kelas yang bergairah dan belajar yang penuh energi. Bahkan guru harus mampu “melawan” kurikulum yang mengungkung kreativitas guru dalam mengajar.


Guru di era digital memang harus berbebah dan berubah. Agar sosok guru yang ideal hadir di kalangan siswa sehari-hari. Beberapa indikator penting sosok guru yang ideal, antara lain: 1) bertumpu pada orientasi pembelajaran yang bersifat praktis, bukan teoretik, 2) mengakomodasi belajar sebagai sarana siswa untuk memperoleh pengalaman, 3) berorientasi pada kompetensi siswa, 4) mampu menyederhanakan materi pelajaran, dan 5) memiliki metode pembelajaran yang menarik dan menyenangkan.


Sejalan dengan itu, guru yang ideal pun harus mampu menggunakan model pembelajaran inovatif, seperti alat peraga, metode, dan strategi mengajar yang efektif dan bersifat student-centered. Guru yang memiliki semangat mengaja, bukan hanya sibuk mengurus administrasi dan tunjangan lalu meninggalkan jam mengajar. Karena profesi guru itu sepanjang hayat, bukan hanya satu semester atau satu tahun. Dan yang terpenting, guru yang ideal pun harus menjadi teladan siswa. Seperti ungkapan digugu dan ditiru”. Guru yang mampu menjadi contoh baik bagi siswa. Karena menerapkan nilai-nilai karakter yang baik.


PBM di kelas yang monoton dan membosankan, harus diakui lebih banyak disebabkan oleh lemahnya sikap guru. Siswa yang tidak bergairah, under estimate saat mengikuti pelajaran di kelas adalah tantangan guru ke depanMaka sosok guru yang ideal saat ini harusnya bukan lagi dambaan. Namun harus direalisasikan. Dengan cara meningkatkan kompetensi, kualitas, dan sikap guru menjadi lebih baik.


Guru yang ideal. Adalah sosok yang mampu menjadikan belajar dan pendidikan  untuk melahirkan harapan; bukan pesimisme dan umpatan yang terus-menerus. Selamat Hari Guru!



Gelar Workshop Literasi Sekolah, SMAN 28 Jakarta Latih Siswa Menulis

Di masa pandemi Covid-19. Upaya memperkuat karakter siswa sangat diperlukan, di samping memberi ruang kreativitas untuk kegiatan literasi sekolah. Spirit itulah yang mendasari SMAN 28 Jakarta hari ini menggelar workshop "Menulis itu Mudah untuk Literasi Sekolah” via zoom conference (24/11/2020). Diikuti 90 siswa, workshop ini menghadirkan 2 narasumber yaitu 1) Syarifudin Yunus, Penulis dan Dosen Unindra yang melatih penulisan/literasi dan 2) M. Shalehuddin Al Ayubi, S.I.Kom, M.Hum yang melatih Editing Video.

 

Dibuka oleh Drs. Umaryadi, M.M., Kepala Sekolah SMAN 28 Jakarta, workshop ini dilakukan untuk “mengobati” kerinduan kepada sekolah. Di samping untuk mengasah kreativitas siswa dalam bidang penulisan dan editing video. Selain siswa SMAN 28 Jakarta, workshop ini juga diikuti SMA imbas seperti SMAN 60 Jakarta, SMAN 55 Jakarta, SMA Suluh, dan SMA Fatahillah. Kegiatan ini juga jadi bukti komutmen SMAN 28 Jakarta dalam menggerakkan aktivitas literasi sekolah sekalipun di tengah pembelejaran jarak jauh (PJJ) sata wabah Covid-19.

 

"Di masa pandemi Covid-19 ini, geliat literasi sekolah harus terus dihidupkan. Maka workshop SMAN 28 Jakarta ini digelar sebagai wujud kepedulian sekolah kepada siswa untuk merangsang kreativitas saat belajar dari rumah. Di sampung menjadikan kegiatan literasi sekolah sebagai upaya penguatan karakter siswa" ujar Drs. Umaryadi, M.M., saat membuka workshop secara virtual, didampingi Maryono, Wakasek bidang Kesiswaan SMAN 28 Jakarta.

 


Workshop ini menjadi bagian untuk meningkatkan aktivitas literasi sekolah dan memacu talenta menulis siswa. Untuk itu, setiap siswa dibimbing langsung oleh Syarifudin Yunus untuk menulis secara praktis. Karena menulis, hakikatnya adalah perbuatan bukan pelajaran. Menulis pun harus dibiasakan di kalangan siswa SMA. Sebagai upaya untuk menghindari hoaks dan berita bohong.

Melalui workshop “menulis itu mudah”, siswa SMAN 28 Jakarta diberi tips menulis dengan mudah yang bersumber dari 1) pengetahuan, 2) pengalaman, dan 3) perasaan. Maka Langkah praktis menulis harus didasari pada 5 prinsip, yaitu 1) menulis dari sekarang, 2) menulis yang banyak, 3) menulis sebagai kebiasaan, 4) menulis dengan tujuan, dan 5) nenulis hingga tuntas.

 

Alhasil, setiap siswa dalam workshop ini mampu membuat 1 tulisan yang siap dipublikasi di medias social. Proses praktis menulis secara sederhana, membuat 1 tulisan yang berisi 3 paragraf dalam waktu 10 menit. Sungguh, kegiatan literasi sekolah sebagai penguatan karakter siswa memang perlu dilakukan secara lebih intensif dan massif.

 

"Luar biasa, workshop ini jadi buktis siswa SMA punya talenta dalam menulis. Workshop menulis dan literasi SMAN 28 Jakarta patut diapresiasi. Karena siswa diberi ruang untuk berkerasi melalui tulisan. Jelas, menulis bukan pelajaran atau teori. Tapi perilaku" ujar Syarifudin Yunus saat memberi materi workhop secara online.

 

Tips menulis lainnya disajikan kepada siswa SMA dalam workshop ini antara lain proses menulis yang perlu memenuhi tahapan 1) pelahiran ide, 2) pengembangan ide, 3) penulisan ide, dan 4) penyempurnaan ide. Sehingga akhirnya, setiap siswa dapat mengekspresikan ide dna pikirannya secara tertulis.

 

Hingga akhirnya setiap siswa memahami. Bahwa menulis dan literasi menjadi aktivitas yang tidak dapat dipisahkan dari kegiatan belajar di sekolah. Maka ekspresikan imajinasimu melalui tulisan … Salam literasi #SMAN28Jakarta #PenulisanLiterasiSiswa #GerakanLiterasiSekolah