Senin, 16 Desember 2019

Feature: Dialog Anak Gadis dan Ayahnya di MRT


Zaman now, banyak orang mengeluh dalam hidup. Apa saja dikeluhkan. Seakan lupa syukur. Itu bukan karena capek. Tapi karena kurang dialog. Lalu mereka lupa. Bahwa hidup itu memang harus berjuang. Berjuang untuk untuk kehidupan yang lebih baik. Bukan di dunia, tapi sesudah di dunia. Di alam yang gak fana...


Dialog gadis kecil dengan ayahnya. Di perjalanan moda MRT. Seketika, sang Ayah mengenggam kepala anaknya. Menciumnya sambil tersenyum. Tanda cinta sekalipun tanpa gemuruh.

"Nak, tetaplah jadi dirimu seperti perjalanan kita. Kebaikan itu sederhana Nak, asal kamu mau melakukannya. Karena kebaikan itu tak berbatas. Ia mudah muncul, kapanpun dan dimanapun. Asal kamu mau melakukannya. Itulah kebaikan"

Mungkin, banyak orang sudah lupa. Dialog anak gadis dan ayahnya.
Dialog itu cara sederhana untuk mencairkan suasana. Bahkan untuk mengisi waktu luang sekalipun. Ibarat menonton film. Kadang, daya tarik film itu bukan berasal dari pemainnya. BUkan pula dari alur cerita atau artistiknya. Tapi justru film itu berkesan karena dialog-dialog-nya. Dialog yang pas dan mengena di hati penontonnya. Dialog berkelas yang punya pesan moral merasuk kalbu. Persis seperti rasa yang sedang terbenam di diri si penonton.

"Kamu Nak, jadilah pribadi yang baik. Pribadi yang selalu bersyukur atas setiap keadaan diri. Pelajaran itu bisa susah atau bisa gampang. Tapi yang terpenting harus kamu hadapi dengan baik. Karena berani berhadapan dengan realitas pun sebuah kebaikan"


Ahh, ini hanya dialog anak gadis dan ayahnya.
Tapi dialog itulah yang sering membuat seseorang senang dan riang hati. Bahkan tidak edikit orang yang terkesima orang lain. Akibat dialog-dialognya yang berisi, bernas lagi mencerahkan. Maka berdialog-lah, selagi masih bisa. Dan yang penting, dialog yang positif. Karena dialog positif itu, konon, bisa lima kali lipat membahagiakan daripada dialog yang negatif. Dialog yang menyehatkan…

Dialog gadis kecil dengan ayahnya. Tentu gak ada yang istimewa. Tapi penting dikisahkan. Tanda hidupnya sebuah tradisi dialog. Tradisi ngobrol bareng yang sudah sering ditinggalkan orang. Bukan dialog tentang kekayaan, buka pula tentang harta apalagi jabatan. Tapi dialog dari hati ke hati, dialog yang ringan-ringan. Agar hidup jangan dilihat sebagai beban. Tapi anugerah. Dialog. Karena siapapun yang hidup tanpa dialog, berarti mati.

Dari dialog, manusia itu diingatkan. Bahwa manusia diberi kaki yang kuat, itu untuk melangkah ke tempat ilmu dan amal. Diberi jemari tangan yang lentik, itu untuk menghitung berapa banyak kebaikan yang sudah ditebarkan. Diberi bibir yang menarik, itu untuk ber-ucap perkataan yang baik.

Lalu, diberi pipi yang lesung, itu untuk menebar senyum yang ikhlas kepada siapapun. Diberi mata yang menawan, itu untuk selalu melihat kebaikan pada orang lain. Diberi tubuh yang sempurna, itu untuk menyisihkan rezeki kepada orang yang kurang mampu. Bahkan diberi wajah yang bercahaya, itu untuk membersihkan kotornya batin dalam diri.

Dialog anak gadis dan ayahnya.
Karena saat dialog, di situ ada nasehat. Hidup itu pasti ada ujian, ada cobaan. Tinggal kita yang menyikapinya, mau menjadikan hidup kita "lebih baik" atau "lebih pedih". Karena setiap masalah punya dua kebisaan. Bisa "menguatkan" atau bisa "menghancurkan". Maka Nak, pilihan itu ada pada kamu. Kamu yang pilih mau kuat atau mau hancur. Kata orang di luar sana, mau jadi pemenang atau pecundang.

Berdialog, kadang jadi pemicu seseorang untuk berjuang menjadi lebih baik. Menjadikan hati yang baik, bukan wajah yang indah. Menjadikan pikiran yang objektif, bukan otak yang berlumur segumpal subjektivitas. Ingatlah Nak, jangan terkecoh. Karena hal-hal yang indah itu tidak selalu baik. Tapi hal-hal yang baik akan selalu indah.

Ketahuilah Nak, untuk menjadi lebih baik. Kadang kita harus berhenti mendengarkan orang lain. Dan harus lebih peduli untuk mendengar apa yang disuarakan oleh hati kita sendiri... Itu sudah cukup di zaman now #TGS #BudayaLiterasi #PegiatLiterasi



Minggu, 15 Desember 2019

Ajarkan Kaligrafi Mutek di TBM Lentera Pustaka, Alumni Bahasa Indonesia Peduli Sosial


Sebuah pengabdian, pastinya tidak berbatas.
Karena kebanggaan profesi atau hidup bukan atas sebab materi. Tapi karena seberapa banyak kita bisa mengabdi. Karena di dalam pengabdian, ada seberkas cahaya kebaikan bahkan kepedulian. Maka wajar, pengabdian sering kali disebut “perjuangan yang tak bertepi”.

Berangkat dari spirit pengabdian itulah, Alumni Pendidikan Bahasa Indonesia FBS UNJ membuktikan pengabdiannya melalui bakti sosial dalam event tutup tahun 2019 di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor pada Minggu, 15 Desember 2019.

Bertajuk “Membuat Kaligrafi dengan Mutek-mutek”, Kak Imas (Bindo 87), Kak Inel (Bindo 86), dan Kak Harry (Bindo 86) mengajarkan sekitar 50 anak-anak pembaca aktif di taman bacaan untuk membuat hiasan kaligrafi dengan mutek-mutek. Setiap anak dibimbing untuk mulai menyiapkan desain kaligrafi, lalu memasang mutek-mutek, hingga membubuhi glitser sehingga terbentuk kaligrafi yang indah. Melalui event tutup tahun ini, diharpakan tahun 2020 nanti, kreativitas anak-anak taman bacaan menjadi lebih terlihat. Sehingga dapat menghasilkan produk kreativitas sesuai dengan minat dan bakatnya. Selain, terus bertahan untuk membaca secara rutin di taman bacaan seminggu 3 kali sebagai bagian untuk memelihara tradisi baca dan budaya literasi anak-anak kampung usia sekolah.

“Sebagai alumni Bahasa Indonesia FBS UNJ, kami punya tanggung jawab moral untuk ikut berbakti sosial. Membuat kaligrafi mutek-mutek ini prakarya yang mudah. Namun hasilnya bagus dan indah, bahkan bisa dijual” ujar Imas Eva Nurviati, Alumni Bahasa Indonesia FBS UNJ yang juga guru di Nurul Fikri di sela acara.


Untuk diketahui, TBM Lentera Pustaka merupakan taman bacaan satu-satunya yang resmi di Kec. Tamansari Kab. Bogor yang didirikan oleh Syarifudin Yunus, alumni ANgkatan 89 Pendidikan Bahasa Indonesia FSB UNJ dan dikenal sebagai pegiat literasi Indonesia. Saat ini TBM Lentera Pustaka menjadi tempat membaca rutin 60 anak pembaca aktif seminggu 3 kali, dengan koleksi 3.400 buku bacaan. Setelah 2 tahun berjalan, kini anak-anak TBM Lentera Pustaka terbiasa membaca 5-8 buku per minggu. Sebuah capaian yang luar biasa demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi di tengah gempuran era digital seperti sekarang. TBM Lentera Pustaka juga dikenal sebagai taman bacaan yang unik dan kreatif karena menerapakan “TBM Edutainment” dalam pengelolaannya, di samping selalu menggelar event bulanan dengan menghadirkan “tamu dari luar”.  

Bakti sosial alumni Pendidikan Bahasa Indonesia FBS UNJ ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian sosial sekaligus sumbangsih alumni perguruan tinggi kepada masyarakat, khususnya anak-anak taman bacaan. Tujuannya sederhana, agar anak-anak kampung lebih termotivasi membaca di taman bacaan, di samping tetap akrab dengan buku bacaan. Alumni Pendidikan Bahasa Indonesia FBS UNJ menyadari seberapa besar pun ilmu yang diperoleh di kampus, pada akhirnya harus dikembalikan kepada masyarakat agar lebih bermanfaat.

Pesan moralnya adalah melalui bakti sosial. Alumni Pendidikan Bahasa Indonesia FBS UNJ mengajak masyarakat, kalangan kampus, dan profesional untuk berkiprah secara nyata dalam mengembangkan tradisi baca dan budaya literasi di kalangan anak-anak, khususnya seperti di taman bacaan masyarakat. Karena prinsipnya, kepedulian sosial bukanlah sekadar niat baik tapi harus diwujudkan dalam aksi nyata.


Melalui “Membuat Kaligrafi dengan Mutek-mutek”, anak-anak TBM Lentera Pustaka dapat belajar bahwa keindahan pun bisa diraih dengan alat-alat sederhana, walau hanya dengan pensil, kain, dan mutek-mutek. Nilai estetika yang bisa diraih dengan cara sederhana. Asal dilandasi rasa hati yang ikhlas dan senang hati.

Bila hari ini, anak-anak TBM Lentera Pustaka bisa belajar membuat kaligrafi dengan indah. Maka esok, mereka pun bisa membuat cita-cita dan impian di masa depan yang indah melalui buku bacaan.

Dan yang terpenting, bahwa pengabdian dan kepedulian adalah keberanian buat siapa pun…. #TBLenteraPustaka #BacaBukanMaen #BudayaLiterasi



Sabtu, 14 Desember 2019

Tahun 2020, Ngapain TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak?

Insya Allah di thn 2020, TBM Lentera Pustaka mulai ajarkan anak-anak pembaca dgn belajar komputer, meringkas bacaan n internet sehat ... @terima kasih Bank Sinarmas yg telah mendonasikan perangkat komputer.

Pun bersama sponsor CSR Korporasi thn 2020, TBM Lentera Pustaka siap menggempur kampung-kampung di sekitarnya tuk tegakkan tradisi baca n budaya literasi.

Ganti tahun, tambah usia. Itu momen menambah kapasitas kebaikan n kepedulian kita. Gak perlu nunggu kaya untuk sedekah. Gak perlu jadi ustadz tuk ngajak anak-anak ber-akhlak baik. Gak perlu jadi tokoh tuk membangun lingkungan yg lebih baik.

Bila kita bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Mengapa gak tambah kebaikan yang kita punya. Mumpung menghirup udara di dunia gratis n belum diminta pertanggungjawaban. Biar siap saat kembali ke hadirat-Nya.

Jadilah, pengisi acara event bulanan dan relawan TBM Lentera Pustaka di Kaki Gn. Salak Bogor. Demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi anak-anak kampung di daerah minus. Kalo bukan kita siapa lagi? #TBMLenteraPustaka #BudayaLiterasi #BacaBukanMaen


Minggu, 08 Desember 2019

Taman Bacaan Lentera Pustaka Berawal dari Garasi Rumah, Demi Tegaknya Tradisi Baca


Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka berawal dari garasi rumah. Digagas oleh Syarifudin Yunus, sebagai ikhtiar kecil untuk menghidupkan tradisi baca anak-anak usia sekolah; yang sebelumnya jauh dari akses bacaan. Dan kini, sekitar 60-an anak-anak usia sekolah mulai rajin membaca. Sekalipun perjuangan untuk mengajak anak-anak lainnya belum usai, bahkan tidak akan pernah usai. Tiap Rabu sore, Jumat sore, dan Minggu pagi, anak-anak dari 3 kampung di Kaki Gunung Salak pun kini terus membaca buku yang tersedia secara gratis.

Syarifudin Yunus yang kini tengah menempuh S3-Program Doktor Manajemen Pendidikan di Pascasarjana Unpak – beasiswa dari Unindra, sadar betul mengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) tidaklah mudah. Karena faktanya di Indonesia, banyak taman bacaan masyarakat yang “mati suri” akibat tiga hal; 1) buku ada pembaca tidak ada, 2) pembaca ada buku tidak ada, dan 3) komitmen pengelola TBM yang lemah, tidak fokus mengelola taman bacaan. Maka di benaknya, taman bacaan harus bisa menjadi arena yang asyik dan menyenangkan anak-anak.

Dari bekas garasi rumah yang kini berubah menjadi taman bacaan, Syarif pun menerapkan konsep “TBM Edutainment”, sebuah cara beda dalam mengelola taman bacaan masyarakat. Taman bacaan bukan hanya menjadi tempat membaca anak-anak atau masyarakat. Tapi taman bacaan harus bisa menjadi “motor penggerak” aktivitas sosial dan kemasyarakatan di mana taman bacaan beroperasi. “TBM-edutainment”; tata kelola taman bacaan masyarakat yang memadukan edukasi dan entertainment.


Konsep “TBM-edutainment” inilah yang diterapkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di Kp. Warung Loa Desa Sukaluyu Kec. Tamansari di Kaki Gn. Salak Bogor yang bertumpu pada membudayakan membaca bersuara, selalu ada “senam — salam – doa literasi” sebelum jam baca, laboratorium Baca tiap hari Minggu; kegiatan pemahaman bacaan di alam terbuka, selalu ada event bulanan, dengan mendatngkan “tamu dari luar” untuk ber-interaksi dan memotivasi anak-anak agar rajin membaca, ada “jajajan kampung” gratis setiap bulan, tersedia WiFi gratis tiap Sabtu dan Minggu, anugerah pembaca terbaik diberikan kepada anak yang rajin membaca dan mengusung motto #BacaBukanMaen; untuk menjaga keseimbangan antara perilaku membaca dan bermain anak-anak.

“Konsep TBM-Edutainment saya gagas agar mampu menjadikan taman bacaan sebagai center dari edukasi dan entertainment untuk anak-anak. Hal ini sebagai penyesuaian terhadap era digital dan milenial.  Maka harus ada cara yang kreatif dan beda untuk menghidupkan tradisi baca dan budaya literasi anak-anak. Membaca harus asyik dan menyenangkan” ujar Syarifudin Yunus, alumni peraih UNJ Award 2017 dan salah satu pegiat literasi Indonesia.

Satu hal yang selalu diperjuangkan Syarifudin Yunus. Bahwa mengelola taman bacaan butuh kolaborasi dengan rekan-rekan yang peduli atau korporasi yang “concern” terhadap tradisi baca dan budaya literasi anak.  Karena itu, setiap tahun, TBM Lentera Pustaka selalu mengajak kalangan korporasi untuk menghibahkan dana CSR ke taman bacaan yang relatif tidak besar. Hanya untuk membeli buku bacaan baru dan operasional program taman baca. Maka di tahun 2019 ini, TBM Lentera Pustaka pun menggandeng CSR Korporasi dari Chubb Life, AJ Tugu Mandiri, dan Perkumpulan DPLK.  Tentu, demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi anak-anak usia sekolah. Agar tidak terlindas oleh pengaruh era digital yang jelek. Maka, untuk mendirikan taman bacaan di rumah sangat dibutuhkan komitmen dan kreativitas agar tetap bertahan. Demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi anak-anak usia sekolah.


Tradisi Baca Anak
Mengubah perilaku anak-anak yang terbiasa main menjadi “dekat” dengan buku tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bukan hanya tekad kuat, keberanian, dan komitmen. Tapi jauh lebih dari itu, sungguh butuh kesabaran dan kemampuan khusus untuk meyakinkan masyarakat dan anak-anak untuk mau membaca secara rutin. Apalagi anak-anak yang ada di kampung atau pedesaan seperti di Kampung Warung Loa Desa Sukaluyu Kec. Tamansari Kaki Gunung Salak Bogor. Membangun tradisi baca dan budaya literasi, sama sekali tidak mudah. Dan tidak pernah sama dengan tema seminar atau diskusi tentang pentingnya budaya literasi.

Perjuangan tidak kenal lelah dalam menebar virus membaca, itulah yang dilakukan Syarifudin Yunus, Pendiri dan Kepala Program Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka. Pria berusia 49 tahun yang berprofesi Dosen Unindra ini, sejak 5 November 2017, telah mengubah anak-anak kampung yang semula polos, pemalu dan cenderung sulit berinteraksi dengan orang “dari luar”. Berubah menjadi anak-anak sekolah yang terbiasa membaca 3 kali seminggu, bahkan bisa “menghabiskan” 5-10 buku per minggu. Sebuah perilaku dan budaya anak-anak yang tadinya “jauh” dari buku, kini menjadi lebih “dekat” pada buku dalam kesehariannya.

Tekad pria yang berprofesi sebagai Dosen Unindra ini sederhana saja. Tradisi baca dan buku dianggap mampu menekan angka putus sekolah. Karena anak-anak di Desa Sukaluyu, 81% tingkat pendidikannya hanya SD dan 9% SMP. Itu berarti, angka putus sekolah sangat tinggi. Mungkin karena persoalan ekonomi.

Maka berangkat dari tekad menekan angka putus sekolah dan membangun tradisi baca di kalangan anak-anak usia sekolah, Syarif begitu panggilannya, lalu mengubah “garasi rumah” menjadi rak-rak buku yang menjadi cikal bakal TBM Lentera Pustaka.

Dengan modal seadanya, mulailah disiapkan taman bacaan. Tanpa disangka, bantuan rekan-rekan yang peduli pun mengalir. Mulai dari donasi buku bacaan, bantuan dana untuk fasilitas taman bacaan, hingga perlengkapan taman bacaan. Tanggal 5 November 2017 pun TBM Lentera Pustaka diresmikan oleh Camat Tamansari, Prof. Dr. Sofyan Hanif (Warek 3 UNJ), Khatibul Umam (Anggota DPR), dan Dr. Liliana Muliastuti (Dekan FPBS UNJ). 

Awal berdiri, hanya 18 anak yang mau bergabung untuk membaca tiap Rabu-Jumat-Minggu. Buku yang tersedia pun hanya 700 buku bacaan. Dan kini setelah 2 tahun berjalan, TBM Lentera Pustaka telah memiliki 62 anak pembaca aktif, yang rutin membaca 3 kali seminggu dengan koleksi buku lebih dari 3.000 buku. Dan kini, anak-anak yang terancam putus sekolah pun berubah menjadi anak-anak yang giat membaca buku. Anak-anak yang “haus” buku bacaan baru.

“Saya berpikir sederhana. Buku dan bacaan diharapkan bisa mengubah mind set akan pentingnya sekolah dan belajar. Agar angka putus sekolah bisa ditekan. Karena saya tidak punya uang banyak untuk menyekolahkan mereka. Maka saya memilih mendirikan taman bacaan. Agar tidak ada lagi anak yang putus sekolah, di samping membangun tradisi baca anak-anak” ujar Syarifudin Yunus yang kini tekun sebagai pegiat literasi.


Semua Pihak Harus Peduli Tradisi Membaca
Maka ke depan, tradisi baca dan budaya literasi sudah pasti hanya bisa tegak bila didukung oleh banyak pihak; aparatur, masyarakat, kaum yang peduli atau relawan, donatur, dan korporasi. Semua pihak harus peduli tradisi baca dan budaya literasi. Karena kepedulian sosial bukanlah sekadar niat baik tapi harus diwujudkan dalam aksi nyata, perilaku nyata untuk terjun langsung ke lapangan secara konsisten.

Di TBM Lentera Pustaka, dari garasi rumah hingga hidupkan tradisi baca anak-anak di Kaki Gunung Salak Bogor. Memang belum usai dan akan terus berlangsung. Agar menjadi “legacy – warisan” bagi umat. Dan kini TBM Lentera Pustaka pun mulai merambah ke aktivitas sosial yang lebih besar, menyiapkan kreasi dan inovasi baru sebagai bagian untuk pengembangan taman bacaan. Agar dapat mengundang daya tarik anak-anak untuk makin rajin dalam membaca.

Beberapa program TBM Lentera Pustaka yang telah disiapkan antara lain: 1) Penyelenggaraan “Gerakan BERantas Buta  aksaRA (GEBER BURA)” bagi ibu-ibu dan bapak-bapak yang buta huruf sebagai bagian gerakan pemberantasan buta huruf, 2) Implementasi “Wisata Literasi lentera Pustaka Gn. Salak”sebagai wisata edukasi alternatif yang berbasis membaca buku sambil menyusuri sungai dan kebun di alam terbuka dengan spot-spot foto yang menarik sambil berlatih cara mudah memahami isi bacaan melalui teknik metaforma, dan 3) Edukasi Literasi Finansial (EDULIF) sebagai bentuk program edukasi literasi keuangan anak-anak setiap bulan. Agar anak-anak mampu mengenal dan mengelola uang secara sederhana, membelanjakan uang berdasarkan “kebutuhan” bukan “keinginan”.

“Taman bacaan masyarakat adalah momentum semua pihak untuk ikut berbuat menyiapkan masa depan anak-anak yang lebih baik dari orang tuanya. Maka, semua pihak harus turun tangan dan terlibat. Agar niat baik segera berubah jadi aksi nyata” tambah Syarifudin Yunus.

Jangan bilang kita cinta anak, bila tidak ada aksi nyata. Karena cinta bukan hanya serpihan ludah yang terpancar dari lisan semata. Tapi cinta itu tentang pengabdian dan kepedulian yang tertumpahkan tanpa henti sepanjang masa. Agar anak-anak tetap mau membaca buku.
Maka siapapun, jangan pernah menyerah mengelola taman bacaan masyarakat. Karena selalu ada cara yang kreatif dan inovatif untuk menjadikan taman bacaan masyarakat agar lebih asyik dan menyenangkan. Berbekal spirit itulah, sikap optimis untuk membangun tradisi baca dan budaya literasi anak-anak akan menjadi kenyataan… salam literasi #TBMLenteraPustaka #BudayaLiterasi #PegiatLiterasi


Kamis, 05 Desember 2019

Literasi Ekonomi, Cara Memperlakukan Uang?


Bahwa kondisi ekonomi saat ini secara umum dirasakan sulit, tentu sesuatu yang sulit dibantah. Menteri Keuangan Sri Mulyani pun pun dengan tegas menyatakan kondisi ekonomi saat ini berat (CNBC News, 14 November 2019). Ekonomi global melemah. Bahkan indikator perdagangan internasional menunjukkan angka terlemahnya sejak 20 tahun.

Maka imbasnya, perekonomian nasional Indonesia pun mengalami pelemahan. Perdagangan barang dan jasa, arus modal termasuk dana secara psikologis dan sentiment pun terus tertekan. Kinerja neraca perdagangan pun kian lesu, baik ekspor maupun impor.

Lalu, apa artinya itu semua? Tentu, urusan negara dan pemerintah untuk mencarikan solusi terbaiknya. Namun, kondisi ini pun bisa jadi momentum bagi masyarakat untuk merefleksi diri tentang “literasi ekonomi” yang dipahami dan dijalankan selama ini. Bila ekonomi dalam kondisi sulit, adakah kesadaran masyarakat untuk mengubah perilaku ekonominya sendiri?

Maka di situlah pentingnya literasi ekonomi. Sebuah budaya literasi untuk lebih mengedepankan “kesadaran” memahami kondisi, kesadaran belajar tentang apapun dalam kehidupan, termasuk masalah ekonomi. Melalui literasi ekonomi yang kokoh, masyarakat diharapkan mampu bertahan dalam situasi ekonomi seperti apapun. Utamanya, manakala ekonomi sedang sulit.

Karena literasi ekonomi, setidaknya masyarakat diajarkan dan diajak untuk tahu dan paham dalam mengelola uang. Paham tentang cara mengendalikan kebutuhan dan keinginan manusia yang tidak terbatas. Sementara sumber daya yang ada tetap terbatas.  Peran penting literasi ekonomi inilah yang seharusnya disajikan ke tengah masyarakat. Agar lebih paham, lebih mampu mengendalikan diri dalam urusan ekonomi.


Karena ekonomi, hakikatnya bukanlah “kekuasaan” manusia terhadap uang atau modal. Tapi literasi ekonomi lebih menekankan tentang pemahaman bahwa ekonomi harus lebih bertumpu pada 1) rasionalitas komposisi biaya versus manfaat (cost vs benefit), 2) tahu mana yang jadi kebutuhan – mana yang jadi keinginan, dan 3) sikap manusia itu sendiri terhadap uang.

Melalui literasi ekonomi yang mumpuni, setidaknya masyarakat mampu sadar dan tahu dalam mengambil keputusan ekonomi. Pemanfaatan ekonomi atau uang yang lebih berorientasi pada “manfaat” yang lebih besar daripada “biaya”. Bukan sebaliknya, lebih besar “pasak” daripada “tiang”.

Misal saja. Bila kita ke pasar ingin membeli kebutuhan lauk pauk, lalu mengapa begitu mudah tergoda dengan “diskon 50%” buah-buahan impor. Sehingga lupa membeli kebutuhan lauk pauk yang utama ketimbang buah-buahan impor yang hanya sebatas keinginan.  Kemudahan berbelanja online pun sering kali hanya untuk “pelampiasan nafsu konsumtif” yang sebatas keinginan. Karena belum tentu barang yang dibeli online itu dibutuhkan. Fakta inilah yang kian menegaskan pentingnya literasi ekonomi.

“Suka tidak suka, budaya literasi ekonomi sangatlah penting. Agar masyarakat bisa menjadi konsumen yang cerdas. Konsumen yang lebih “dominan” dalam membuat keputusan yang mementingkan manfaat atau benefit daripada biaya. Bukan sebaliknya, mengeluarkan biaya mahal untuk urusan yang manfaatnya kecil” ujar Syarifudin Yunus, pegiat literasi TBM Lentera Pustaka saat menjadi narasumber di TV Parlemen.

Sejatinya, literasi ekonomi memainkan peranan penting untuk memacu pengendalian diri dalam mengelola sumber daya atau uang yang terbatas. Sementara keinginan dan nafsu konsumsi tidak terbatas. Pengendalian diri terhadap ekonomi inilah yang akan berpengaruh pada sikap mental dan perilaku ekonomi masyarakat. Literasi ekonomi yang lebih fokus pada tujuan keuangan di masa mendatang. Literasi yang mampu mengendalikan diri dalam urusan ekonomi; tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang sebaiknya dihindari. Cara memperlakukan uang untuk tujuan ekonomi jangka pendek, menengah, dan jangka panjang secara proporsional.

Akhirnya, target akhir literasi ekonomi adalah kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam membedakan antara “kebutuhan dan keinginan” secara ekonomis. Kebutuhan yang bertumpu pada pemanfaatan barang atau jasa yang memang dibutuhkan. Sedangkan keinginan hanya bertumpu pada hasrat untuk memiliki suatu barang atau jasa.

Maka di tengah ekonomi sulit. Sangat tidak bijak bila masyarakat hanya mempersoalkan kondisi ekonomi nasional apalagi global. Jauh lebih penting, untuk terus membangun kesadaran akan pentingnya “literasi ekonomi”. Tentang cara bagaimana bisa lebih paham dalam membuat keputusan ekonomi yang berbasis kebutuhan, bukan keinginan.

Literasi ekonomi, bolehlah dikatakan sebagai cara sederhana untuk berpikir dahulu sebelum bertindak dalam urusan ekonomi. Agar mampu membuat pilihan yang cerdas yang efektif, bukan yang keliru tapi tidak efisien. Salam literasi ekonomi …. #BudayaLiterasi #LiterasiEkonomi #PegiatLiterasi