Senin, 31 Agustus 2020

Kata "Anjay" Kok Diributkan, Masyarakat Tidak Literat

Kenapa jadi ribut tentang kata "anjay"?

Bila ditanya, maka saya akan jawab berdebat kata "anjay" sama sekali tidak produktif. Tidak ada gunanya berpolemik soal kata itu. Carilah bahan diskusi yang bermanfaat, yang mencerahkan.

 

"Anjay" itu bukan kata baku. Bila mau disebut turunan kreatif dari kata "anjing" pun, terus apa yang salah. Anjing kan nama binatang. Jadi tidak ada yang salah. Tapi bila "anjing" digunakan sebagai sapaan atau umpatan. Tentu harus ada siapa yang disapa? Kenapa pakai sapaan itu? Ya, tentu hanya si orang yang pakai kata sapaan itu yang tahu. Apa karena akrab atau karena apa?

 

Jadi, kata "anjay" yang diduga turunan kreatif dari kata "anjing" cukup disebut bersifat kurang pas atau negatif. Kurang mendidik sehingga lebih baik diganti pakai kata yang pas atau pantas saja. Tidak usah "dipidanakan". Tapi cukup diimbau untuk tidak usah "dipakai". Maka bila bergaul, ya bergaulah dengan orang-orang yang positif dan bahasanya pantas. Tidak perlu gunakan kata atau istilah yang tidak pantas atau negatif. Biar tidak jadi masalah, tidak jadi polemik.

 

Secara bahasa, kata itu minimal bisa dilihat dari dua sisi: 1) dari bentuknya dan 2) dari penggunaannya. Bentuk kata "anjay" bila turunan kreatif dari "anjing", karena ada di KBBI, maka kata itu ya netral saja alias tidak ada yang salah. Tapi bila penggunaannya dijadikan sapaan atau umpatan ya berarti salah, tidak pantas digunakan. Maka jangan digunakan. Seperti kata "jijay", "alay", "lebay", "tokay", dan sejenis. Apa mau diributkan?

 


Lalu bagaimana soal makna?

Terkait dengan makna "anjay" maka harus dilihat konteksnya. Itu ilmunya pragmatik, soal hubungan antara konteks luar bahasa dan maksud tuturan. Konteks luar bahasa, seperti dalam pergaulan, untuk keakraban, kesepakatan kelompok itu sangat mempengaruhi maksud tuturan. Dan maksud tuturan tentu tidak bisa dilihat hanya dari bentuk dan makna saja. Tapi patut dilihat pula dari tempat dan waktu berbicara, siapa yang terlibat, lawan bicaranya, tujuannya, cara penyampaiannya, dan sebagainya.

 

Agar tidak jadi polemik. Harus dipahami, tiap kasus berbahasa itu berbeda-beda. Tergantung aspek pragmatiknya sehingga bisa jadi positif atau negatif, bisa berterima atau tidak berterima. Bahasa itu bisa dipilih yang baik, bila mau. Tapi di sisi lain, bahasa juga seleratif - tergantung si orang yang memakai bahasa itu.

 

Jadi, berbahasalah yang pantas dan berterima.

Kata "anjay" kesannya tidak pantas, tidak santun. Ya sudah, cukup diimbau untuk tidak digunakan. Cari kata yang pantas dan tidak jadi polemik, sederhana kan?  Seperti makanan atau uang, kata-kata juga harus pas. Jangan terlalu pelit tapi jangan pula terlalu mubazir.

 

Lakoff, seorang profesor linguistik dari Universitas California yang bilang. Agar tidak menimbulkan friksi, kesantunan berbahasa itu harus dilihat dari 1) formalitas, 2) ketidaktegasan, dan 3) kesamaan. Maka bila formalitasnya rendah, ketegasannya rancu, dan kesamaan tidak terpenuhi di antara pemakai bahasa berarti tidak santun. Maka kata itu tidak usah dipakai.

 

Di sisi lain, bahasa itu ada ragam lisan dan tulisan. Dan kedua ragam itu menempuh jalannya sendiri-sendiri. Tapi yang jelas, ragam lisan tingkat kebakuannya sangat rendah. Sementara ragam tulisan syarat kebakuannya tinggi. Maka ada kamus, ada kaidah ejaan, ada tata tulis, dan aturan lainnya. Saya menduga kata "anjay" itu ragam lisan. Jadi, kebakuannya rendah lalu untuk apa diributkan?

 

Jadi ribut. Hanya karena kata "anjay" itu bahasa lisan yang ditafsir seperti bahasa tulisan. Beginilah jadinya. Buat saya, "anjay" hanya diksi yang tidak baku. Bila saya suka maka saya pakai. Bila tidak suka maka tidak perlu saya pakai. Dan saya tidak akan pilih pakai kata "anjay". Tidak pantas.

 

Lebih penting dari semua itu, setiap kata dan bahasa itu punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Jadi, pilihlah bahasa yang pantas dan tidak menimbulkan polemik. Ributlah soal yang produktif dan solutif; tentang anak putus sekolah, tentang belajar jarak jauh, tentang gawai yang merasuk ke anak-anak, tentang lainnya yang jadi masalah besar di negeri ini.

 

Jadi, tidak perlu ribut soal kata "anjay". Tidak produktif dan tidak mencerahkan. Kira-kira begitu, pandangan subjektif saya tentang "anjay". Salam bahasa ...

Minggu, 30 Agustus 2020

Jaga Kearifan Lokal, TBM Lentera Pustaka Jalankan Praktik Baik Membaca di Alam

"Sekecil apa pun langkah yang kau lakukan dengan alam. Setiap langkah itu pula alam akan memberikanmu penghargaan indah yang tak mampu diberikan seseorang".

 

Sudah terlalu banyak alam yang dirusak tangan manusia. Akibtanya, bencana alam selalu terjadi dan akan terus menghantui setiap anak manusia. Rusaknya alam, bila disadari, sungguh akibat aktivitas manusia. Manusia yang lebih mementingkan kebutuhan hidupnya tanpa memperhatikan kebutuhan lingkungan alam sekitarnya. Eksploitasi yang berlebihan, gangguan ekosistem alam, penebangan liar, dan perambahan hutan ada di mana-mana. Tanpa terkecuali di Jawa Barat maupun Kabupaten Bogor. Alam sebagai kearifan lokal pun tercerabut dari budaya masyarakat.

 

Berangkat dari kesadaran itulah, TBM Lentera Pustaka yang terletak di Desa Sukaluyu Kabupaten Bogor melakukan “Membaca di Alam” sebagai praktik baik untuk menanamkan pentingnya menjaga alam. Membaca di alam diikuti 40 anak dalam laboratorium baca sekaligus untuk menjunjng tinggi kearifan lokal. Karena sebagian besar penduduknya hidup dari berkebun dan eksplorasi lahan produktif untuk ditanami. Melalui kegiatan membaca di alam, diharapkan anak-anak usia sekolah dari keluarga prasejahtera ini dapat mengubah cara pandang akan pentingnya menjaga alam dan menciptakan harmoni di tengah alam semesta. Peradaban kearifan lokal yang harus dilestarikan.

 

“Alam dan asetnya adalah bagian kearifan lokal Desa Sukaluyu Bogor ini. Sebagai orang Sunda, anak-anak harus mau menjaga alam. Agar program jaga alam tidak tercerabut dari anak-anak kampung ini. Apalagi di era digital, budaya jaga alam harus didengungkan. Agar alam tetap mau bersahabat dengan masyarakat” ujar Syarifudin Yunus, Pendiri dan Kepala Program TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor (30/8).

 


Membaca di alam merupakan kegiatan rutin yang dilakukan TBM Lentera Pustaka. Agar terbentuk tradisi baca dan budaya literasi di kalangan anak-anak usia sekolah. Membaca buku di kebun, di sungai, dan di alam terbuka sambil berdiskusi untuk memahami isi bacaan. Karena membaca tidak hanya dilakukan di ruang tertutup atau di taman bacaan. Tapi bisa dilakukan di alam terbuka. Agar lebih menarik dan menyenangkan anak-anak saat membaca.


TBM Lentera Pustaka menyadari. Upaya untuk menanamkan tradisi baca anak-anak memang tidak mudah. Maka harus ada cara untuk menjadikan kegiatan membaca agar lebih disenangi.  Sehingga semangat menyebarkan virus membaca kepada anak-anak di tengah gempuran era digital dan kondisi ekonomi yang sulit tetap dapat berlangsung. Bahkan dengan menyatukan anak-anak saat membaca dengan alam sekitar, maka upaya melestarikan nilai kearifan lokal setempat pun dapat dicapai. Perlahan tapi pasti.

 

"Membaca di alam adalah program rutin di TBM Lentera Pustaka. Karena saya percaya, karakter dan buday aanak dapat dibentuk melalu lingkungan dan alam semesta. Hanya masalahnya, mau atau tidak kita melakukannya. Apalagi saat ini budaya jaga alam semakin langka. Maka pemerintah daerah pun harus ikut turun tangan. Agar anak-anak tetap lembut dan baik kepada alam” tambha Syarifudin Yunus yang saat ini tengah menyelesaikan program Doktor di Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak.

 

Saat ini, 60-an pembaca aktif usia sekolah secara rutin 3 kali seminggu membaca di TBM Lentera Pustaka.Dengan koleksi lebih dari 3.500 buku, anak-anak mampu membaca 5-8 buku per minggu. Sebuah praktik baik yang terus dijalankan di masyarakat. Demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi anak-anak dan masyarakat. Karena saat ini banyak anak Indonesia makin "jauh" dari buku.


Saat membaca di alam pun. Anak-anak suatu saat bertanya.
Jika alam hendak kau musnahkan, lalu dari mana kita akan mendapatkan makanan dan tempat tinggal? #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi

 


Jumat, 28 Agustus 2020

Filosofi Kebun Baca Lentera Pustaka

Siapa yang tidak tahu kebun? Pasti semua tahu.

Kebun itulah tempat tumbuhnya pepohonan, tanaman. Dari benih yang kecil, disirami, dan dirawat, disirami, hingga tumbuh "pegangan akar" yang kokoh. Lalu, berbuah.

 

Di kebun, ada pohon yang tidak kuat angin. Ada pohon yang butuh sinar matahari. Ada pohon yang mudah rontok daunnya saat batangnya digoyang sedikit. Ada pohon yang berbuah lebat. Dan ada pula pohon yang tumbuhnya bagus tapi saat berbuah malah busuk. Bukti bahwa pohon-pohon di kebun itu beda-beda. Begitu juga manusia, punya keadaan sendiri-sendiri dan berbeda-beda pula.

 

Manusia. Ada yang mudah mengeluh. Ada pula yang mudah tercerabut dari “akarnya”. Ada pula yang indah fisiknya tapi rusak batinnya. Yang paling ideal, mereka yang kokoh dan tangguh dalam keadaan apapun. Selalu sabar, ikhlas, dan bersyukur.

 

Kebun itu selalu memberi pelajaran.

Bahwa pepohonan apapun. Terkadang harus mengorbankan bagian dirinya untuk memberi jalan untuk “berbuah”. Pohon yang tidak perlu membandingkan dirinya dengan pepohonan lainnya. Semua berjalan apa adanya dan terus bergerak untuk memberi “buah” untuk orang lain yang memakannya.

 


Siapapun yang ada di kebun.  Cukup bertindak sesuai keperluan masing-masing pohon. Agar pas pupuknya dan tetap tumbuh. Tidak perlu berlebihan. Tapi jangan sampai kekurangan. Sesuai karakter tiap-tiap pohon.

 

Kebun adalah “sekolah” untuk membentuk sikap saling mengerti. Bukan untuk berkompetisi antar tanaman. Bukan untuk saling membandingkan, apalagi mengalahkan. Tapi agar masing-masing tetap tumbuh dengan semestinya.

 

Di kebun, ada banyak yang bisa disuburkan. Bisa ditumbuhkan lewat tangan kita. Karena tiap pohon itu beda. Tiap orang pun berbeda. Maka di situ ada pelajaran untuk saling mengerti, saling memahami.

 

Di Kebun Baca Lentera Pustaka. Di situlah disemai sikap untuk saling mengerti. Sambil tetap membaca buku. Maka, tumbuhkan kebun kita dan siapkan panen untuk orang lain. Salam literasi #KebunBacaLenteraPustaka #TBMLenteraPustaka

Selasa, 25 Agustus 2020

TBM Lentera Pustaka Gelar Kampanye "Ayo Baca ke TBM" di Masa Covid-19

Siapa bilang kampanye untuk meraih kemenangan?

Justru di TBM (Taman Bacaan Masyarakat) Lentera Pustaka, kampanye “Ayo Baca ke TBM” dilakukan untuk pendidikan dan mengajak anak-anak usia sekolah. Agar lebih sering dan rajin datang ke taman bacaan. Apalagi di tengah wabah Covid-19 seperti sekarang, saat sekolah “terpaksa” menyuruh anak belajar dari rumah.

 

Bertepatan dengan peringatan 75 tahun Indonesia Merdeka, TBM Lentera Pustaka menggelar Kampanye “Ayo Baca ke TBM” dengan mengelilingi dua kampung (Tamansari & Sukaluyu) pada Minggu, 23 Agustus 2020. Tujuannya, untuk mengajak anak-anak usia sekolah untuk bergabung ke taman bacaan. Sebagai upaya mentradisikan kebiasaan membaca dan budaya literasi di kalangan anak-anak usia sekolah.

 

“Mau Pintar Baca di TBM” begitulah bunyi salah satu poster yang ditulis anak-anak TBM Lentera Pustaka. Tidak kurang dari 60 anak pembaca aktif, yang selama ini 3 kali seminggu membaca di taman bacaan membawa poster berupa ajakan untuk membaca. Kampanye “Ayo Baca di TBM” dilakukan dengan berjalan kaki keliling kampung dengan aksi diam (tidak bersuara). Sambil mengunjukkan poster dan buku bacaan. Harapannya, kampanye ayo baca ini dapat mengajak anak-anak lainnya agar mau ikut membaca di taman bacaan.

 

“Tiap 3 bulan sekali, TBM Lentera Pustaka menggelar kampanye ayo baca di TBM. Anak-anak kami jalan kaki keliling kampung, sambil bawa poster tulisan sendiri. Intinya mengajak anak-anak usia sekolah untuk ke taman bacaan, jangan hanya main. Apalagi di tengah wabah Covid-19 dan belajar dari rumah. Ayo ke taman bacaan” ujar Syarifudin Yunus, Pendiri dan Kepala Program TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor.

 

Apalagi di tengah gempuran era digital dan makin maraknya anak-anak bermain ponsel, TBM Lentera Pustaka bertekad untuk terus membangun tradisi baca di kalangan anak-anak. Akrabkan anak-anak dengan buku bacaan. Karena itu, TBM Lentera Pustaka menerapkan “TBM Edutainment” sebagai cara pengembangan taman bacaan yang berbasis edukasi dan hiburan. Agar taman bacaan bisa jadi tempat yang asyik dan menyenangkan, bukan hanya tempat membaca.

 

Oleh karena itu, kampanye “Ayo Baca di TBM” diharapkan bisa mengajak anak-anak dekat dengan buku bacaan, di samping menjadi taman bacaan sebagai tempat bergaul dan berkreasi sesama anak-anak usia sekolah. TBM Lentera Pustaka sebagai satu-satunya taman bacaan resmi di Kec. Tamansari Kab. Bogor terus menggelar event bulanan dengan mendatangkan “tamu dari luar” setiap bulan, ada jajanan kampung gratis, laboratorium baca. Ada pula senam literasi, salam literasi, dan doa literasi. Mulai tahun 2020 ini, TBM Lentera Pustaka pun mulai mengajarkan anak-anak pembaca dengan aktivitas “belajar komputer” sebagai bagian pengenalan terhadap teknologi komputer di era digital.

 

Untuk diketahui, TBM Lentera Pustaka saat ini memiliki 60 anak pembaca aktif yang sudah terbiasa membaca 5-10 buku per minggu. Dengan koleksi 4.000 buku bacaan, anak-anak usia sekolah membaca secara rutin seminggu 3 kali. Berkebal motto #BacaBukanMaen, TBM Lentera Pustaka pun mengajak masyarakat untuk berkampanye dengan informasi yang positif. Tentang imbauan dan harapan ke depan yang lebih baik.  Bukan seperti seperti Bu Tejo yang julid lagi doyan bergunjing. Dan yang paling penting, kampanye ayo baca di TBM menegaskan anak-anak itu tidak sendirian saat membaca… #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi

Senin, 24 Agustus 2020

PELAJARAN BU TEJO DI GEBERBURA LENTERA PUSTAKA

Bu Tejo di film pendek "Tilik" ngetop dan viral. Apa pelajarannya?

Tentu ada pelajaran yang harus bisa dipetik dari film pendek itu. Sekalipun hanya hiburan. Peran Bu Tejo dan semua obrolan dan gunjingannya adalah sesuatu yang dekat dalam kehidupan orang-orang Indonesia. Apalagi di kalangan ibu-ibu. Bahwa dalam kehidupan nyata, selalu ada saja orang-orang yang kerjanya hanya menggunjing, gibah, atau membicarakan kejelekan orang lain. Tapi dalam hidup itu, ada juga orang yang berperan seperti Yu Ning yang selalu berpikir baik dan berbuat baik. Untuk "mencegah" Bu Tejo aar tidak kebablasan dalam menggunjing orang lain. 


Gunjing atau gibah itu dekat dengan kehidupan nyata. Membicarakan kejelekan orang lain itu gampang dan mudah. Bahkan di zaman canggih seperti sekarang. Gunjing dan gibah itu sudah "berpindah" ke digital. Grup WA atau chat pribadi yang kerjanya dipakai untuk menggunjing, menggibahi orang lain. Obrolan lewat ponsel yang kerjanya membahas orang lain, mempersoalkan orang lain. Dan mereka, tanpa sadar, sudah menggunjing dan menggubahi orang lain. Itu semua terjadi karena mereka "merasa baik" walau bukan orang baik yang sesungguhnya.  Sungguh, menggunjing itu hanya terjadi pada orang-orang yang "belum baik" dan terlalu jauh kepada sang pencipta. Hanya tahu sedikit tapi bicara banyak. Orang-orang yang "kering" hatinya, orang yang terlalu banyak berkeluh-kesah dalam hidupnya. Tanpa bisa berbuat baik secara nyata untuk orang lain.


Saking pentingnya memetik "pelajaran" dari peran BU Tejo. Saya pun bernasihat  kepada 12 ibu-ibu warga belajar di GErakan BERantas BUta aksaRA (GEBERBURA) Lentera Pustaka di Kaki Gunung salak Bogor. Ibu-ibu yang tersingkir oleh zaman. Karena belum bisa baca dan tulis di zaman yang katanya canggih, zaman digital. Setiap minggu ibu-ibu kampung ini secara rutin belajar baca dan tulis. Agar bisa membaca sekalipun hanya mengeja. Agar bisa menulis sekalipun tidak  bagus tulisannya. Agar lebih berdaya dari hari-hari kemarin. Sebuah perbuatan baik yang ada pada ibu-ibu kaum buta aksara.


Tentang Bu Tejo, maka saya bernasihat kepada ibu-ibu warga belajar buta aksara di GEBERBURA 

"Bu, kita ini sama sekali tidak bisa nambah atau kurangi umur. Itu bukan kuasa kita. Tapi kuasa Allah SWT. Kita juga tidak bisa mengontrol orang lain untuk berprasangka buruk atau tidak pada kita. Kita juga tidak bisa halau orang untuk berbuat zolim kepada yang lainnya. Tapi yang kita bisa lakukan, hanya terus berbuat baik dan belajar. Termasuk terus semangat belajar baca-tulis..." ujar saya saat di akhir pelajaran.


Karena semakin sibuk kita belajar, maka akan semakin sempit waktu kita untuk berbuat buruk kepada orang lain. Kita hanya perlu hati untuk meluangkan waktu untuk terus belajar dan berbuat baik. Untuk diri sendiri dan untuk orang lain.

Bu Tejo di film "Tilik" itu senang menggunjing atau gibah bukan karena sifat dan karakternya semata. Tapi karena Bu Tejo punya waktu yang cukup untuk menggunjing dan membicarakan kejelekan orang lain. Tanpa bisa menjelekkan dirinya sendiri. Jadi Bu, sibukkan saja terus diri kita untuk berbuat yang baik. Biar tidak ada waktu untuk yang sia-sia atau tidak perlu sama sekali.

Intinya Bu, jangan buru-buru menilai orang lain. Dan sibukkan terus untuk berbuat baik dan belajar yang baik. Agar tidak ada waktu kita untuk bergunjing atau apapun yang tidak bermanfaat.

 

Oke Bu, paham? Yukk, kita baca lagi. B-a = ba, c-a = ca. Baca ... #GeberBura #TBMLenteraPustaka #PegiatLiterasi


Minggu, 23 Agustus 2020

Lomba Cabut Singkong dan Pungut Sampah Ala TBM Lentera Pustaka, Gimana Sih?

Taman bacaan masyarakat (TBM) harus terus berkreasi. Demi tegaknya tradisi baca dan budaya literasi anak-anak dan masyarakat. Atas alasan itulah, TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor menggelar acara “Lomba Cabut Singkong dan Memungut Sampah – 75 Tahun Indonesia Merdeka” pada Minggu 23 Agustus 2020. Lomba ini dilakukan sebagai upaya untuk mengajarkan nilai-nilai kearifan lokal wilayah.

 

Diikuti 60 anak-anak pembaca aktif dan 50-an warga sekitar, lomba cabut singkon dan memungut sampah bukan hanya meriah. Tapi memberi kesan yang berbeda apalagi di tengah wabah Covid-19. Lomba cabut singkong digelar sebagai upaya memperkenalkan tradisi cocok tanam yang paling dominan di wilayah Desa Sukaluyu Kec. Tamansari Kab. Bogor. Sementara lomba pungut sampah  dilakukan sebagai upaya TBM Lentera Pustaka mengingatkan akan pentingnya menjaga kebersihan dan kelestarian lingkungan. Karena memungut sampah di jalan dan membuangnya di tempat sampah adalah ibadah.

 

“Dalam rangka HUT ke-75 Indonesia, TBM Lentera Pustaka menggelar lomba cabut singkong dan memungut sampah untuk ajarkan anak-anak dan warga tentang nilai kearifan lokal. Jangan gengsi memungut sampah. Jangan gengsi pula membaca buku di taman bacaan. Karena itu semua adalah ibadah” ujar Syarifudin Yunus, Pendiri dan Kepala Program TBM Lentera Pustaka di Bogor.

 

Lomba Agustusan TBM Lentera Pustaka ini pun menjadi simbol adanya kolaborasi dalam pengelolaan taman bacaan. Selain anak-anak pembaca dan ibu-ibu yang menjadi peserta, apparat RT/RK pun terlibat membantu di samping relawan yang menjadi dewan juri dari mahasiswa dan alumni Unindra serta koroporasi yang menyediakan hdiah lomba. Karena mau tidak mau, tata kelola taman bacaan harus melibatkan banyak pihak yang peduli. Agar tradisi baca dan budaya literasi dapat berjalan sesuai harapan.

 

Selain lomba cabut singkon dan memungut sampah, ada juga 1) lomba mencari jejak sebagai upaya memperkenalkan kondisi alam dan pentingnya menjaga lingkungan, 2) lomba makan kerupuk, dan 3) lomba memasukkan paku ke botol.

 

Menariknya, di ajang ini pula, TBM Lentera Pustaka menggelar “jajanan Kampung Gratis” sebagai tradisi bulanan taman bacaan.  Secara gratis, anak-anak dan warga diberi kupon dan dapat dipakai jajan di pedagang keliling yang sengaja diminta mangkal di area taman bacaan.

Tujuannya sederhana, untuk menyenangkan anak-anak agar gemar membaca buku di taman bacaan Sekaligus mengenalkan budaya sedekah atau amal sebagai perbuatan baik. Karena itu untuk bersedekah tidak perlu menunggu kaya.

 

Tidak kurang 50 hadiah disediakan dalam lomba agustusan TBM Lentera Pustaka kali ini. Mulai dari bantal, thumbler, mug, dan buku tulis. Dan semua hadiah disediakan oleh koprorasi yang peduli terhadap taman bacaan seperti: Bank Sinarmas, Allianz Life, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, dan Asosiasi DPLK.

 

Sebagai motivasi anak-anak dalam membaca buku, TBM Lentera Pustaka juga memberikan “hadiah khusus” kepada 5 anak perempuan dan 5 anak laki-laki yan paling rajin membaca dna datang ke taman bacaan di tahun 2020 ini. Hal ini sebagai upaya memotivasi anak-anak dalam kegiatan membaca di taman bacaan.

 

Pesan penting yang ingin disampaikanTBM Lentera Pustaka melalu event ini adalah pentingnya menjaga kesehatan dan menggunakan waktu luang untuk kegiatan yang bermanfaat. Apalagi di tengah wabah Covid-19 seperti sekarang. Karena hakikatnya, ada 2 nikmat yang sering dilalaikan oleh banyak orang, yaitu: KESEHATAN DAN WAKTU LUANG. Karena di luar sana, banyak orang terlalu sedikit berterima kasih dan peduli di kala sehat, lalu terburu-buru mengeluh kepada Allah SWT pada saat sakit dan terbaring tak berdaya? Bahkan terlalu banyak membuang waktu untuk hal yang sia-sia… #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan


Jumat, 21 Agustus 2020

Lomba 17-an Ala TBM Lentera Pustaka, Ingatkan Jangan Lalaikan KESEHATAN dan WAKTU LUANG

Wabah Covid-19 bukan hanya ditakuti. Tapi mengingatkan kita. Bahwa ada DUA nikmat yang sering dilalaikan oleh banyak orang, yaitu: KESEHATAN DAN WAKTU LUANG.

Terlalu sedikit berterima kasih dan peduli di kala sehat, lalu apa hak kita mengeluh pada Tuhan saat sakit dan terbaring tak berdaya?
Terlalu banyak membuang waktu untuk hal yang sia-sia. Menunggu tanpa memulai. Lalu berharap waktu itu bisa kembali lagi.


Karenanya TBM Lentera Pustaka sebagai taman bacaan masyarakat yang terletak di kaki Gunung Salak Bogor hanya lakukan hal kecil namun bernilai untuk senyum anak-anak di kampung kecil ini. Menggelar "Lomba 17-an ala TBM Lentera Pustaka" pada Minggu 23 Agustus 2020. Diikuti 60 anak-anak pembaca aktif yang rajin membaca di taman bacaan 3 kali seminggu. Bahkan kini, anak-anak yang sebagain besar berasal dari keluarga tidak mampu atau prasejahtera itu kini mampu "melahap" 5-8 buku per minggu. 



Dalam peringatan 17 Agustusan tahun 2020 ini, lomba-lomba yang digelar semua bernafaskan literasi, yaitu 1) lomba giat literasi yang mencakup cabut singkong, pungut sampah, cari jejak, dan makan kerupuk, 2) lomba senam literasi, dan 3) lomba literasi sunda sebagai bagian menanamkan nilai budaya dan kearifan lokal pada anak-anak. Semua lomba dilakukan secara kelompok atau grup, bukan individual.


Seluruh hadiah dalm lomba ini dipersembahkan oleh para sponsor dan sahabat baik yang peduli taman bacaan, seperti AJ Tugu Mandiri, Bank Sinarmas, Asosiasi DPLK, Allianz Life Indonesia. Sebagai wujud kolaborasi dna kepedulian korporasi kepada taman bacaan. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi

7 Manfaat Membaca Buku ... https://www.cendananews.com/…/pegiat-literasi-ada-7-manfaat…




Kamis, 20 Agustus 2020

Kisah Zahra Berjuang di Taman Bacaan Sekalipun Terkendala Mata

Ananda Zahra, siswa kelas 3 SD. Saya paham, dia punya kendala mata. Saat membaca, teks harus didekatkan ke matanya. Sudah berulang kali berobat, bahkan ada kaca matanya. Tapi entah, mungkin ada masalah di matanya. Maka di taman bacaan, setiap buku yang dibacanya harus didekatkan ke matanya. Walau mengalami kesulitan dibanding kawan-kawannya, dari sejak kelas 1 SD dia selalu ada di taman bacaan. Dari tidak bisa baca, perlahan mengeja dan kini sudah bisa membaca. Walau lambat.

 

Saya pernah tanya. “Nak, kamu kan agak susah melihat huruf. Tapi kok, kamu rajin datang ke TBM Lentera Pustaka?” Dia pun menjawab “Iya Pak. Saya memang tidak bisa membaca secepat teman-teman. Tapi saya harus rajin ke TBM. Biar tetap bisa baca”.

 

Buat saya, Zahra anak luar biasa. Sekalipun punya kendala mata. Tapi dia tetap rajin datang ke TBM. Ada kesungguhan untuk bisa membaca buku. Dan yang paling penting, dia tidak menyerah dengan keadaannya. Saya pun belajar dari Zahra.

 

Begitu pula mengelola taman bacaan. Kata orang sifatnya sosial. Tidak ada rapor, tidak ada absen di taman bacaan. Anak-anaknya datang sesuka hati. Bila mau datang, bila tidak ya main saja. Saya kira, pengelola taman bacaan di banyak tempat juga hebat. Mereka bukan hanya peduli. Tapi kreatif dan terus mencari cara agar taman bacaannya tetap bisa bertahan. Dengan segala tantangannya. Seperti ponsel, sikap cuek orang tua, kemiskinan, dan sebagainya.


 

Bila mau jujur. Tidak banyak pula “orang mampu” yang peduli pada taman bacaan. Kondisi taman bacaan banyak yang mati suri. Sekitar 70% taman bacaan di Indonesia, survei kecil saya, terkesan “ada tapi tiada”. Nama TBM-nya ada, tapi aktivitasnya tidak ada. Orang peduli taman bacaan sedikit sekali. Mereka lebih memilih berbagi ke panti asuhan daripada taman bacaan. CSR pun lebih memilih tempat yang bisa jadi “panggung sorot kamera” ketimbang taman bacaan. Walau CSR yang hanya bersifat hit and run; lempar lalu kabur. Tidak berkelanjutan dan belum tentu ada nilai kemanfaatannya. Begitulah kondisi di taman bacaan pada umumnya.

 

Dalam berbagai diskusi sesama pegiat literasi. Saya selalu katakan. Bahwa pendidikan nonformal itu sama pentingnya dengan pendidikan formal. Karena itu diatur di UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hanya mungkin di negeri ini, pendidikan nonformal sudah lama “ditinggalkan” atau kurang diperhatikan. Maka otokritik saya, pengelola taman bacaan di manapun hanya kirang satu hal. Ap aitu? KESUNGGUHAN. Bersungguh-sungguh dalam mengeloa taman bacaan. Jangan sambil lalu atau dianggap sosial sehingga tidak dilandasi “komitmen dan konsistensi”.

 

Proses pendidikan, termasuk di taman bacaan, sangat memerlukan kesungguhan. Karena mengelola taman bacaan adalah sebuah proses panjang, perlu kerja keras, kesabaran dan harus istiqamah. Jadi kata kuncinya, kesungguhan.

 

Di taman bacaan, sejatinya, kita sedang membangun peradaban aksi yang ditanam untuk masa depan anak-anak. Sementara di luar sana, tidak sedikit orang sedang bergumul peradaban kata-kata. Bijak dan indah tanpa aksi nyata.

 

Taman bacaan, bukan hanya tempat baca. Taman bacaan memang pekerjaan sosial tanpa “panggun popularitas”. Tapi taman bacaan, di manapaun, harus dikelola dengan kesungguhan, tekun dalam menjalani prosesnya. Itu harga mati.

 

Berkiprah di taman bacaan. Bila niatnya baik, tujuannya baik, ikhtiarnya baik. Doanya baik. Maka KESUNGGUHAN ITU HARUS DIPAKSA. Di taman bacaan memang capek fisik dan hati, lelah iya, pusing pasti. Bahkan bosan dan malas pasti sering terjadi. Semuanya harus dilawan dengan “kesungguhan”.

 

Seperti Ananda Zahra, dari tidak bisa baca hingga bisa membaca walau terkendala mata. Itu terjadi berkat KESUNGGUHANNYA. Karena itu, tanggal 23 Agustus lusa saat Agustusan di TBM Lentera Pustaka, Zahra akan mendapat “reward khusus” sebagai anak rajin yang bersungguh-sungguh membaca di taman bacaan, bersama 4 anak rajin lainnya.

 

Man Jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil. Insya Allah #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi


Rabu, 19 Agustus 2020

Arti 1 Muharram = Hijrah Dari Lahir Ke Batin

“Semoga tahun ini kita menjadi lebih baik”. Begitulah doa yang dilantunkan banyak orang dalam memperingati 1 Muharram 1442 H. Di grup WA, di facebook atau di media sosial lainnya. Seraya kita menjawab, “amiin”.

 

Menjadi lebih baik, itu berarti siapapun yang berdoa. Pasti merasa tahun sebelumnya belum baik atau kurang baik. Atau sudah baik tapi belum optimal, maka ingin lebih baik lagi. Kira-kira begitu. Karena ada niat dan tekad, untuk menjadikan tahun ini lebih baik. Dari keadaan yang sepenuhnya belum baik menjadi lebih baik lagi. Betul begitu kan? Nah itu berarti, banyak orang pun memaknai 1 Muharram sebagai hijrah. Hijrah yang berarti 'meninggalkan, menjauhkan dari dan berpindah tempat'. Kata anak zaman now, “move on”.  Hijrah atau move on ada berbagai sisi kehidupan yang diniatkan untuk lebih baik. Sampai di sini sepakat ya.

 

Maka bolehlah disebut, muharram itu hijrah.

Hijrah dari suatu keadaan sekarang ke keadaan lain yang lebih baik. Tapi soalnya, tidak sedikit orang yang memaknai hijrah hanya sebatas lahir butan batin, sebatas fisik bukan nonfisik. Maka betapa banyak perubahan lahir yang diuber banyak orang. Tapi tidak berpengaruh terhadap batinnya. Ada yang makin pintar karena sekolahnya tinggi. Ada pula yang makin kaya karena kariernya maju.  Ada pula yang makin tampan. Tapi sayang, hanya sebatas fisik. Tapi batinnya tetap kosong, batin yang tidak bersyukur. Bahkan batin yang gersang. Seperti di wabah Covid-19 sekarang. Makin banyak orang OTG (Orang Tanpa Gejala). Artinya, fisiknya sehat namun ternyata sakit. Wajahnya ceria namun hatinya duka. Kata-katanya indah, namun perbuatannya tidak indah. Begitulah realitasnya. Semua itu berarti, belum ada hijrah.

 

Urusan lahir atau fisik itu sangat mudah diukur. Cukup menggunakan mata. Saat lihat indah, begitulah kesan yang timbul. Seperti kata Imam Ghazali, penyakit lahir atau fisik itu banyak pakarnya. Sakit cancer ada dokternya, sakit kulit ada dokternya, sakit jantung pun ada dokter jantung. Tapi penyakit batin, sama sekali belum ada dokternya. Di jalan-jalan di rumah sakit di klinik, tidak ada dokter penyakit sombong. Tidak ada dokter penyakit dengki. Atau kita ingin berobat ke dokter penyakit benci? Sama sekali tidak ada.

 

Hijrah itu bukan soal lahir. Tapi batin. Lahir dan batin bersinergi untuk lebih baik.

Seperti penyakit lahir, pada siapapun, bisa dideteksi dan bisa didiagnosis. Orang yang sakit kepala tandanya pusing. Orang yang sakit flu pasti terasa tidak enak badan. Tapi penyakit batin, banyak orang mengidapnya tanpa tahu gejala sakitnya. Siapa di antara kita yang bisa mendeteksi penyakit sombong, dengki atau benci di diri sendiri? Fisiknya ngobrol tapi akhirnya bersusah payah mencari kejelekan orang lain. Bersikap sombong yang merasa wajar karena itu semua hasil jerih payahnya. Orang-orang yang mengaku hemat untuk menutupi kekikirannya. Maaf bila tidak berkenan ya.

 

Jadi jelas, hijrah tidak hanya soal lahir atau fisik. Tapi hijrah harus dan harus melibatkan batin, menggunakan hati. Bila ada orang sombong masih tetap galau. Bila ada orang kaya tapi merasa miskin. Bila ada orang yang sudah berbuat tapi hatinya tidak tenang. Kata kuncinya, mereka belum berhjrah. Belum berpindah dari keadaan lahir menuju ke batin. Lebih bersifat fisik, bukan psikis.

 

Maka dengan tegas, hijrah atau berpindah tempat bukan soal lahir. Menjadi lebih baik di tahun ini daripada tahun sebelumnya bukan soal material. Tapi soal batin, soal psikis. Dan itu semua, hijrah hanya bisa terjadi bila kita berpegang kepada agama Allah. Hijrah dari belum dengan kepada Allah menjadi lebih dekat dan khusyuk bersama Allah.

 

Jadi bagaiaman bisa berhijrah?

Sederhana saja. Mungkin kemarin-kemarin kita sudah hebat dan mampu mencapai yang kita inginkan. Tapi sayang apa yang kita capai itu belum punya manfaat banyak orang lain. Atau bahkan malah menyakitkan orang lain. Sekali lagi hijrah bukan hanya lahir tapi batin. Maka 1 Muharram 1`441 H ini jadi momen hijrah, untuk siapapun. Berhijrahlah untuk 1) memberikan bantuan kepada orang lain, sekolahkan anak-anak yatim yang terancam putus sekolah, 2) buatlah orang lain senang bukan malah jadi benci atau hasud, dan 3) tebarkan manfaat kepada orang lain, bukan justru memanfaatkan orang lain. Bersikap untuk menghargai bukan menghina, bersikap untuk mengangkat bukan menjatuhkan. Itu semua cara sederhana untuk hijrah, momen tahun baru Islam yang lebih bermakna.

 

Muharram itu hijrah. Tentang kesadaran dan kesdiaan untuk berubah. Berpindah tempat dari yang belum baik menuju ke yang lebih baik. Dan untuk berhijrah, cukup dimulai dari hal-hal yang kecil dan sederhana. Tidak perlu banyak mengeluh, tidak perlu membenci. Apalagi membicarakan kejelekan orang lain hingga menghujat orang lain. Hijrah cukup dengan melibatkan hati, memperbaiki batin. Karena sela mini, mungkin kita terlalu banyak memperbagus lahir atau fisik semata.

 

Jadi sungguh. Bila tahun ini tidak lebih baik dari tahun kemarin. Maka kita bukan termasuk kaum yang berhijrah. Dan semua itu, nanti dibuktikan oleh waktu. Itupun bila masih diberi umur panjang. Tetaplah ikhtiar dan berdoa untuk terus-mnerus mencari jalan menuju kehidupan yang lebih baik; lebih bermanfaat untuk agama dan orang lain. Bukan malah sebaliknya. Karena hijrah memang butuh kesungguhan, siapapun.

 

Hijrah, memang harus "meninggalkan" apa yang dirasakan untuk bersegera menuju ke tempat yang harus “didapatkan”. Sebelum ajal tiba. Wallahu a’lam bishowab, insya Allah. #Muharram1442H #TahunBaruIslam


Senin, 17 Agustus 2020

Syarifudin Yunus, Pendiri TBM Lentera Pustaka Menyandang Kandidat Doktor Taman Bacaan

Syarifudin Yunus, lebih akrab dipanggil Syarif adalah Pendiri dan Kepala Program Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka. Dia salah satu pegiat literasi dari Bogor yang giat menyuarakan pentingnya tradisi baca dan gerakan literasi di masyarakat. Sebagai upaya meredam gempuran era digital yang telah kebablasan. Ayah dari tiga anak yang berprofesi sebagai Dosen Universitas Indraprasta PGRI ini sangat peduli terhadap upaya meningkatkan tradisi baca dan budaya literasi anak-anak usia sekolah khususnya di masyarakat yang tidak mampu. Maka di tahun 2017, ia mendirikan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di Desa Sukaluyu Kaki Gunung Salak Bogor. Tadinya garasi di rumahnya, lalu dijadikan rak-rak buku taman bacaan.

 

Setiap seminggu sekali rutin, dari Jakarta sengaja ke Bogor, ia membimbing 60 anak pembaca aktif di taman bacaan, di samping mengajar baca-tulis 11 ibu-ibu buta aksara. Berbekal model “TBM Edutainment” yang digagasnya sendiri, sebuah konsep pengembangan taman bacaan yang berbasis edukasi dan hiburan. Selalu ada salam literasi, doa literasi, senam literasi, membaca secara bersuara, laboratorium baca, event bulanan, motivasi literasi, dan jajanan kampung gratis untuk anak-anak pembaca.

 

Pria 50 tahun ini bertekad menjadikan taman bacaan bukan hanya tempat membaca semata. Tapi menjadi sentra kegiatan masyarakat yang kreatif dan menyenangkan. Tujuannya, agar anak-anak semakin akrab dengan buku bacaan. Taman bacaan pun bisa jadi sarana “deschooling society” seperti di masa pandemi Covid-19. Pendidikan yang tidak hanya mengandalkan ruang kelas dan kurikulum. Karena itu, alumni peraih UNJ Award 2017 ini dengan penuh komitmen dan konsistensi terus-menerus menebar virus membaca buku bagi anak-anak kampung yang selama ini tidak memiliki akses bacaan. Hingga kini, anak-anak Desa Sukaluyu di Kaki Gunung Salak mampu “melahap” 5-8 buku per minggu, di samping berusaha menemukan kreativitas diri dan potensi kearifan lokal di daerahnya.

 

Pria yang sudah menulis 32 buku ini sangat yakin. Bahwa tradisi baca dapat menyelamatkan anak-anak Indonesia di masa depan. Bukan hanya karena pengetahuan yang bertambah, tapi membaca bisa menanamkan karakter dan nilai kearifan lokal yang kian langka di era digital sekarang. Hingga suatu saat, akan tercipta masyarakat Indonesia yang literat. Saking cintanya kepada taman bacaan dan gerakan literasi, Syarif pun kini menjadi kandidat Doktor Taman Bacaan di Indonesia dan sedang menyelesaikan disertasi berjudul “Peningkatan Tata Kelola Taman Bacaan Melalui Model TBM Edutainment Sebagai Layanan Dasar Pendidikan Nonformal pada Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Di Kabupaten Bogor” dari Prodi S3 Manajemen Pendidikan Pascasarjana Universitas Pakuan (Unpak).

 

“Saya yakin, budaya literasi masyarakat hanya bisa dimulai dari tradisi membaca dan menulis. Dan itu bisa dilakukan di taman bacaan. Maka taman bacaan harus dikelola dengan asyik dan menyenangkan. Agar tetap matu suri dan tetap diminati anak-anak. Bahkan taman bacaan bisa jadi warisan yang kita tinggalkan untuk umat. Maka pedulilah pada taman bacaan” ujar Syarif, kandidat Doktor Taman Bacaan dari Bogor.