Rabu, 31 Mei 2023

Hari Lahir Pancasila di Mata Pegiat Literasi

Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka. (Ir. Soekarno).


Tanggal 1 Juni selalu diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Tapi sayangnya, tidak sedikit dari kita yang mungkin sudah lupa “membaca” Pancasila. Apalagi butir-butir yang menjadi cerminan nilai-nilai kehidupan di dalamnya. Setiap hari posting apapun di media sosial, bisa jadi di saat yang sama Pancasila kian dilupakan. Hari Pancasila hanya jadi seremoni, bukan lagi esensi. Maka literasi tentang Pancasila menjadi penting dihidupkan kembali.  

 

Mari menengok kembali Pancasila. Agar Pancasila tetap menjadi jiwa dan sikap bangsa Indonesia. Pancasila sebagai falsafah bangsa. Sebagai pedoman semua warga negara Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Lima sila dasar sebagai nilai-nilai luhur yang seharusnya menjadi karakter bangsa dan senantiasa dijunjung tinggi. Untuk terus menggelorakan bangsa Indonesia yang ber-ketuhanan, berperi-kemanusiaan, selalu menjaga persatuan, kerakyatan yang mengusung musyarakah dan mufakat dalam demokrasi, dan ber-keadilan. Lalu dibungkus dalam slogan “bhineka tunggal ika” atau sekalipun berbeda-beda tetap satu jua.

Esensinya, Indonesia memang berbeda-beda. Tapi tetap bersatu untuk selalu menjaga kebhinekaan, memelihara kerukunan, saling menghargai dan menghormati satu sama lainnya.Maka sejak dilahirkan dan hingga kapapun, Pancasila adalah harga mati. Jangan nodai Pancasila untuk kepentingan sesaat, termasuk hanya untuk meraih kekuasaan.  

Pancasila ibarat matahari kehidupan. Selalu menyinari yang mengufuk di timur meninggi hingga terbenam di barat. Matahari yang tidak mungkin dihindari, apalagi dianggap tiada. Mengurung diri dari matahari justru merugikan diri sendiri. Memanaskan diri di matahari pun menyehatkan tubuh. Maka tetaplah hidup dan berdiri bersama matahari. Berpegang dan menjunjung tinggi Pancasila selagi masih berpijak di bumi Indonesia.

 


Berbekal spirit Pancasila itulah Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor hadir. Selain untuk menyediakan akses bacaan (bukan mempermasalahkan minat baca), taman bacaan dihadirkan sebagai ladang amal bersama untuk menebar nilai-nilai kebaikan dan kemanfaatan untuk sesama. Taman bacaan yang tetap mengajarkan dan melestarikan prinsip -prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sebagai pedoman dasar kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Literasi Pancasila yang tetap “dihidupkan” dalam sikap dan perilaku keseharian di taman bacaan.

 

Karena Pancasila pun selalu mengingatkan bahwa “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”. Maka tetaplah tenang bersama Pancasila. Jangan gaduh tanpa mau berbuat baik secara nyata. Saatnya ubah niat baik jadi aksi nyata, seperti amanat nilai-nilai Pancasila. Agar esok, matahari tetap bersinar terang di bumi Indonesia.

 

Seperti kata Ki Hajar Dewantara, “Apapun yang dilakukan oleh seseorang itu, hendaknya dapat bermanfaat bagi dirinya sendiri, bermanfaat bagi bangsanya, dan bermanfaat bagi manusia di dunia pada umumnya”. Selamat Hari Lahir Pancasila. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #LiterasiPancasila #TamanBacaan

LSP Dana Pensiun Uji Kompetensi Manajemen Risiko Dana Pensiun, Seberapa Penting?

Sebagai bagian dari mandat UU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) sektor dana pensiun akan pentingnya menerapkan manajemen risiko dana pensiun yang efektif, Lembaga Sertifikasi Profesi Dana Pensiun (LSPDP) hari ini menggelar uji kompetensi dan sertifikasi Manajemen Risiko Dana Pensiun (MRDP) di Jakarta (31/5/2023). Diikuti 16 peserta dari berbagai pelaku dana pensiun 9DPPK/DPLK), uji kompetensi MRDP ini menjadi cerminan komitmen LSP Dana Pensiun dan industri dana pensiun dalam menjaga standar kompetensi pelaku dana pensiun di Indonesia, di samping memastikan perlindungan hari tua peserta dana pensiun.

Bertindak sebagai asesor LSP Dana Pensiun terdiri dari: Bambang Wibisono, Arif Hartanto, Junaedi A Kaelani, Syarifudin Yunus, Zain Zainuddin, Nur Hasan Kurniawan, A. Inderahadi Kartakusumah, R. Herna Gunawan, dan Edi Pujiyanto. Uji kompetensi MRDP dilakukan secara one on one untuk mengecek dan berdiskusi terkait penerapan manajemen risiko yang efekti9f, di samping untuk memastikan manfaat pensiun peserta terselenggara dengan baik.

Sesuai amanat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 44/POJK.05/2020 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Lembaga Jasa Keuangan Nonbank, maka LSP Dana Pensiun mengambil peran untuk menguji kompetensi pelaku dana pesniun, di samping meweujudkan tata kelola dana pensiun yang baik. Secara prinsip, dana pensiun harus menerapkan penerapan manajemen risiko, struktur organisasi dari komite Manajemen Risiko, struktur organisasi fungsi Manajemen Risiko, hubungan fungsi bisnis dan operasional dengan fungsi Manajemen Risiko, dan pengelolaan Risiko pengembangan atau perluasan kegiatan usaha bagi dana pensiun.



Risiko, di industri apapun, adalah potensi kerugian yang tidak dapat dikendalikan dan/atau dapat dikendalikan akibat terjadinya suatu peristiwa tertentu. Karena itu dibutuhkan penerapan Manajemen Risiko yang efektif untuk memastikan adanya prosedur dan metodologi dalam mengidentifikasi, mengukur, mengendalikan, dan memantau risiko yang berpotensi terjadi. Untuk itu, pelaku dana pensiunwajib memahami 8 (delapan) risiko yang ada di dana pensiun, yaitu 1) risiko strategis,2)  risiko operasional, 3) risiko kredit, 4) risiko pasar, 5) risiko likuiditas, 6) risiko hukum, 7) risiko kepatuhan, dan 8) risiko reputasi. Maka penting, pelaku dana pensiun memperhatikan manajemen risiko dan tata kelola dana pensiun yang baik.

 

Untuk diketahui, LSP Dana Pensiun merupakan lembaga sertifikasi profesi dana pensiun yang didirikan oleh Perkumpulan ADPI dan Perkumpulan DPLK. Untuk menyelenggarakan ujian sertifikasi MUDP dan MRDP bagi calon pengelola dana pensiun dan pihak lainnya. Tujuannya, untuk meningkatkan kualifikasi dan mutu sumber daya manusia di bidang dana pensiun, di samping memastikan kompetensi yang memadai. Salam #YukSiapkanPensiun #DanaPensiun #LSPDanaPensiun

 


Selasa, 30 Mei 2023

Membangun Merek Taman Bacaan Agar Dikenal Publik, Gimana?

Brand awareness atau kesadaran merek di mana pun sangat penting. Perusahaan, organisasi maupun taman bacaan harus membangun brand awareness. Karena brand atau merek yang baik akan membuat siapapun lebih bersemangat, di samping menjadi bukti proses yang efektif. Sehingga mampu menarik perhatian publik atau “calon konsumen”. Begitulah brand awareness bekerja untuk suatu organisasi.

 

Sebagai bagian dari memperkuat brand awareness dan kepedulian sosial itulah, Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor mendapat liputan gratis dari MNC Media (RCTI, iNews, MNC TV) saat event MNC Peduli donasi buku bacaan saat peringatan Hari Buku Nasional tahun 2023 ini. Tayang di RCTI bertajuk “Salurkan Bantuan Buku Bacaan untuk Syarifudin Pemilik MOBAKE” (https://www.youtube.com/watch?v=uMCVQVxEOMM) dan iNews berjudul “Salurkan Buku Bacaan di Perpustakaan Daerah Warung Loa, Kecamatan Tamansari, Bogor” (https://www.youtube.com/watch?v=1-32-yc_eUY) kian memperkuat brand awareness taman bacaan, di samping membangun kesadaran pentingnya peduli sosial terhadap aktivitas taman bacaan dan gerakan literasi.

 

Pentingnya brand awareness di taman bacaan, tentu bertujuan untk menumbuhkan kepercayaan publik terhadap aktivitas taman bacaan yang aktif dan berkelanjutan. Sehingga pada akhirnya, brand awareness di taman bacaan akan memperkuat 1) brand recognition (pengenalan merek) dan 2) brand recall (ingatan tentang merek) terkait taman bacaan. Sebut saja, taman bacaan yang lebih dikenal masyarakat.

 

Suka tidak suka, membangun brand awareness di taman bacaan sama sekali tidak dapat dipisahkan dari kolaborasi. Melalui kolaborasi, taman bacaan dapat bersinergi dengan berbagai pihak dalam berkegiatan seperti event CSR, bakti sosial, donasi buku di taman bacaan. Di era yang terbuka dan media sosial seperti sekarang, kolaborasi menjadi kata kunci penting yang dapat memastikan taman bacaan tetap eksis dan bertahan di tengah gempuran era digital. Karena kolaborasi, taman bacaan dapat melakukan banyak hal. Bahkan lebih dari itu, kolaborasi jadi sebab taman bacaan tahu lebih banyak daripada yang diketahuinya sendiri.

 

Melalui brand awareness yang kokoh, siapapun dan taman bacaan tidak lagi fokus pada rendahnya minat baca. Tapi berjuang keras untuk menyediakan akes bacaan. Sehingga yang dipersoalkan bukan minat bacanya melainkan akses bacaannya. Karena gerakan literasi dan taman bacaan di manapun sudah saatnya berhenti menginterupsi soal minat baca. Tapi lebih banyak berbuat untuk sediakan akses bacaan sehingga minat baca datang dengan sendirinya. Percayalah, tidak ada minat baca tanpa akses bacaan.

 

Memang benar, taman bacaan bukan lembaga bisnis, Tapi bukan berarti tidak boleh memperkuat merek-nya di publik. Sebagai aktivitas sosial dan gerakan kewargaaan, taman bacaan harus memperkuat merek atau brand awareness-nya. Agar dikenal publik dan diketahui aktivitas serta manfaatnya. Karena itu, untuk memperkuat merek atau brand awareness taman bacaan sangat dibutuhkan: 1) komitmen sepenuh hati, 2) konsistensi berkegiatan, 3) kolaborasi dengan berbagai pihak, 4) promosi tiada henti, dan 5) aktivitas yang berkelanjutan. Apalagi di era digital seperti sekarang, taman bacaan harus tegas berprinsip “konten adalah api, media sosial adalah bensin".

 

Pada akhirnya, brand awareness atau merek taman bacaan itulah yang bekerja untuk memanggil anaj-anak yang membaca, warga yang terlibat, relawan yang mengabdi, donatur yang datang, dan geliat taman bacaan selalu terjadi, kapan pun dan di manapun. Karena publik hari ini sangat objektif, mana taman bacaan yang “berisi” bukan sekadar “bungkus”.

 

Brand awareness atau merek memang hanya persepsi. Tapi persepsi tidak akan terbentuk tanpa realitas dan praktik baik yang dijalankan dari waktu ke waktu. Tanpa fakta, data, dan praktik baik maka taman bacaan sulit untuk berkiprah. Dibtaman bacaan hari ini, brand awareness atau merek bukan lagi tentang aktivitas yang dilakukan tapi tentang cerita yang pantas diceritakan kepada publik. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #BacaBukanMaen

 

Senin, 29 Mei 2023

Literasi Haters, Begini Cara Mengatasi Kaum Pembenci di Media Sosial?

Haters, dalam bahasa Indonesia artinya para pembenci. Memang tidak mudah meredam para haters. Karena tidak satupun orang yang mampu mengontrol orang lain. Tapi para haters biasanya berjuang keras untuk mengontrol orang-orang yang dibencinya. Begitulah cara kerja haters yang harus diwaspadai.

 

Haters ada di mana-mana, apalagi di media sosial. Sekumpulan orang yang memberikan komentar negatif tentang orang yang dibencinya. Bila perlu hoaks dan fitnah pun bisa “dibuat” haters untuk siapapun yang dibencinya. Bertundak benar saja, haters tetap mencari salahnya. Apalagi bila salah, wow, haters justru punya alasan untuk terus mengkritik dan membencinya. Hebatnya di media sosial, haters ternyata tidak hanya bekerja untuk kalangan publik figur atau artis. Tapi lebih dari itu, orang-orang biasa pun punya banyak haters. Karena syaratnya sederhana, asal benci.

 

Di era sekarang, makin banyak yang orang yang menjadikan medsos untuk menjatuhkan nama baik orang lain. Menghujat, menyindir, hingga mencibir apapun yang dilakukan orang yang dibencinya. Atas nama kebenaran subjektif, haters selalu melancarkan sindiran dan nyinyiran di medsos. Tujuannya sederhan, memancing para pembenci lainnya untuk meramaikan lalu membenarkan postingan si haters.

 

Dalam berbagai literatur, cara kerja haters persis sama dengan kebiasaan orang-orang di masa jahiliyah. Bila ingin menjatuhkan seseorang, maka mereka akan mengarang syair hujatan di depan umum. Sehingga orang-orang yang sedang berkumpul akan menyoraki dan menertawakan. Untuk mempermalukan orang yang dibencinya. Di Zaman jahiliyah, haters tidak hanya menyebah berhala dan percaya tahayul. Tapi gemar berbuat maksiat, suka berkelahi dan berperang, tidak menghargai sesama. Bdayanya hanya untuk kesenangan pribadi dan memuaskann hawa nafsu pribadi. Cukup mirip perbuatan haters di medsos dengan masyarakat jahiliyah. Maka hati-hatilah.

 

Jangankan manusia biasa, Nabi Muhammad SAW pun tidak lepas dari ancaman haters. Saat tokoh-tokoh musyrik di Mekkah memanggil Hasan bin Tsabit, penyair yang paling tajam kata-katanya dan diberikan bayaran mahal. Asal bisa menghujat Nabi di depan umum. Pada hari yang ditentukan, Hasan bin Tsabit pun bersia di tepi jalan yang biasa dilewati Nabi. Orang-orang musyrik sudah berkumpul dan bersiap sorak-sorai apabila Hasan, mulai menyindir Nabi. Hingga waktunya tiba, Nabi pun berjalan melewati jalan tersebut. Untuk kali pertama, Hasan melihat sosok sang Nabi. Untuk mencari kekurangannya, entah dari postur tubuhnya, paras wajahnya, atau caranya berjalan. Atau apapun yang bisa dihujat dan dihina. Lalu apa yang terjadi? Ternyata, Hasan tidak kunjung membuat syari sindiran. Ia hanya terbelalak dan terpana melihat Nabi. Orang-orang musyrik pun sudah menunggu-nunggu untuk sorak-sorai. Tapi akhirnya semua sia-sia saja, karena Hasan sama sekali tidak menemukan kekurangan pada diri Nabi Muhammad SAW.

 

Akhirnya, Hasan bin Tsabit pun memutuskan untuk mengembalikan seluruh bayaran yang diterimanya. "Maaf saya tidak bisa melihat satupun kekurangan pada orang yang bernama Muhammad itu. Sebaliknya yang saya lihat dirinya memancarkan kesempurnaan, seolah-olah matahari ada di wajahnya!“. Tidak disangka, konspirasi kaum musyrik berbalik 180 derajat. Mereka yang merasa malu karena rencananya gagal. Bahkan Hasan bin Tsabit justru mengarang syair yang sangat indah memuji sang Nabi. Katanya, Nabi diciptakan bersih dari segala noda, seakan-akan Nabi memesan sendiri dirinya untuk lahir dengan rupa yang diinginkannya. Kemudian, Hasan bin Tsabit masuk Islam dan menjadi salah satu sahabat yang membantu perjuangan Rasulullah melalui syair.

 


Adalah terbukti, haters ada di mana-mana. Haters pun bertugas mencari-cari salahnya orang, aibnya orang lain. Maka hati-hati dan waspada di medsos. Karena haters selau mengintai dan mencari “ruang tembak” untuk orang yang dibencinya. Jangan lawan haters, karena dia merasa paling benar. Sama seperti netizen yang maha benar. Cukup diam saja saat haters bertindak. Karena sejatinya, memang tidak perlu membuktikan kebenaran d mata haters. Orang yang membenci akan selalu membenci hingga kapanpun.

 

Haters memang julid. Karena tugas haters, memang membenci orang lain dengan caranya sendiri. Doakan saja haters mendapat hidayah dan ditunjuki jalan yang benar. Tetaplah tenang dan sikapi dengan kepala dingin. Anggap saja haters adalah fans sejati yang selalu rela mengintai dan mengintip laju orang lain yang dibencinya.

 

Hingga suatu saat, hater tersadar. Bahwa siapapun yang mencoba menjatuhkan orang lain pasti akan sia-sia. Toh, mereka tidak ikut menyekolahkan atau membiayai hidup orang yang dibencinya. Maka cintai saja para pembenci kita, karena mereka adalah penggemar terbesar yang menjadikan diri kita lebih baik ke depan. Salam literasi!

 

Literasi Selera, Kok Masih Memaksa Orang Lain karena Beda Selera?

Ada orang suka makan gado-gado, ada yang suka bakso. Ada yang doyan makanan jepang, ada pula yang doyan makanan asli Indonesia, ramesan. Begitu pula, keindahan alam. Ada yang suka gunung, ada yang suka laut, Ada yang healing ke tempat ramai seperti car free day, ada yang healing-nya ke tempat sepi. Ada yang kerjanya berbuat, ada yang hobinya menuntut. Itulah yang disebut selera.

 

Selera secara sempat diartikan nafsu makan. Tapi bila diluaskan, selera berkaitan erat dengan kesukaan atau gairah akan sesuatu, dalam hal apapun. Selera setiap orang itu berbeda-beda. Saya saja punya selera bereda dengan anak saya, apalagi dengan orang lain. Setiap orang bebas menentukan seleranya masing-masing. Tapi sayangnya, tidak sedikit orang yang memaksakan seleranya kepada orang lain. Ujung-ujungnya, akibat perbedaann selera seseorang merasa boleh merendahkan orang lain. Sangat salah dalam menafsirkan selera.

 

Menulis dan berkiprah di taman bacaan adalah selera saya. Sementara orang lain, mungkin seleranya nongkrong di kafe, bermain sama teman-temannya. Ada orang yang seleranya berbuat baik terus-menerus setiap waktu. Ada selera orang yang berbuat jahat dari waktu ke waktu. Menjual barang yang bukan hak-nya, mencuri uang melalui m-banking. Lalu berkoar-koar cerita ke orang lain bahwa dia orang baik. Ada yang seleranya menebar hoaks dan aib orang lain, sementara ada orang yang hanya berdiam diri saja apapuyn yang terjadi. Yah begitulah, selera orang, selalu berbeda-beda. Biarkan waktu yang akan membuktikan, “selera” siapa yang baik dan tidak baik.

 

Sangat penting hari ini untuk menghargai selera masing-masing orang. Karena basisnya, persepsi dan pemahaman setiap orang memang berbeda. Jangan karena perbedaaan selera lalu menghakimi orang lain. Atau karena ada orang lain yang merasa seleranya lebih baik, mudah sekali baginya menjatuhkan harga diri orang lain. Selera atau sust pandang setiap orang itu berbeda, maka cukup tahu saja. Siapapun sama sekali tidak bisa menyeragamkan pikiran dan perbuatannya dengan orang lain. Masing-masing orang punya seleranya sendiri. Seperti keinginan dan kebutuhan tiap orang pun tak sama. Jadi, cukup hargai tiap perbedaan selera yang terjadi. Berbeda itu realitas dan manusia kok.

 

Di media sosial, di kehidupan sehari-hari. Selera banyak orang pasti berbeda. Termasuk selera terhadap capres-nya pun berbada. Lalu untuk apa mencibir atas selera pemimpin yang berbeda. Rileks saja, tidak usah gundah gulana atas perbefdaan selera. Untuk apa merendahkan orang lain karena beda selera. Nggak apa-apa kok beda selera dan beda pendapat. Yang terpenting adalah tetap berusaha saling menghargai atas perbedaaan selera.

 

Tetaplah jadi orang baik di mana pun berada. Sekalipun kita selalu buruk dalam cerita orang lain. Itu terjadi karena beda selera. Tidak masalah, karena memang tugas orang lain adalah membenci. Tugas kita cukup mencintai diri sendiri. Jangan pernah meremehkan orang lain karena beda selera. Untuk apa berdebat pada orang yang percaya dengan kebohongannya sendiri. Akibat beda selera yang ingin dipaksakannya. Seolah-olah, apapun yang diperbuat orang lain selalu salah sementara dirinya pun belum tentu benar. Selera itu subjektif dan tidak ajeg untuk orang lain.

 

Selera itu demokratis. Agar siapapun berlatih untuk hidup merdeka, tanpa paksaan dan intimidasi orang lain. Silakan pengen begini pengen begitu, asal tidak memaksakannya kepada orang lain. Karena selera tiap orang berbeda-beda. Rileks saja dalam hal apapun. Tetap santai dalam kesibukan, tetap tenang sekalipun di bawah tekanan. Tapi tetap optimis di setiap tantangan dan perbuatan. Agar tetap berpikir jernih dalam menatap masa depan yang lebih baik. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi

Literasi Ngobrol Sambil Ngopi di Kampus

Kadang orang bertanya, apa sih yang diobrolin saat ngopi di kampus? Ngopi di kampus ya sebagian orang sulit dilakukan, sebagian lagi gampang banget. Apalagi bila menyangkut dengan siapa ngopi dan ngobrolnya. Bila ngopi itu bermanfaat untuk kesehatan otak dan melepas penat. Maka ngobrol pun harus dipilih yang ada manfaatnya, bukan malah banyak mudaratnya. IOya nggak?

 

Seperti siang siang ini, saat saya mengambil berkas di kampus. Kebetulan bertemu Si D dan Si J. Belasan tahun dulu, keduanya adalah mahasiswa saya di S1 Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unindra. Tapi kini, keduanya sama-sama mengabdi sebagai dosen i Unindra. Sebutlah jadi kolega saya, karena sama-sama mengajar di kampus. Si D saat ini pun sedang menulis disertasi bareng saya di S3 Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak. Sementara di J, katanya Insya Allah tahun depan mulai menempuh S3 juga. Alhamdulillah ya.

 

Tadi pas ketemu langsung sepakat untuk ngopi di depan kampus. Ngobrol sambil mengenang masa-masa saat Si D dan Si J kuliah bersama saya dulu. Tentang kuliah, tentang cara-cara saya mengajar di kelas. Dan tentu, masih banyak lagi. Yang intinya, apapun dari perjalanan hidup harus diambil hikmahnya. Untuk menjadikan kita lebih baik lagi esok. Lebih bermanfaat untuk orang lain. Maka itulah gunanya belajar terus-menerus. Lalu kata mereka, "Ngobrol bareng Bapak begini ini yang bikin kangen. Sambil ngopi rileks tapi bisa dapat ilmu banyak. Anggap saja kuliah kehidupan yang tidak ada di ruang kelas”.

 

Sambil rileks meneguk segelas kopi. Saya pun selalu memberi nasihat. Sekalipun sudah sama-sama jadi dosen, tapi wajib bagi saya untuk tetap memotivasi keduanya. Bahwa ilmu dan profesi mau setinggi apapun harus dipraktikkan agar bermanfaat. Bukan sebaliknya malah disombongkan untuk merendahkan orang lain. Apapun profesi kita, jalani saja dengan baik tanpa perlu untuk dipuji orang lain. Apa adanya saja, tanpa rekayasa. Bila ilmu kita tinggi ya jangan dipakai untuk menghina orang lain. Tapi justru untuk menyelamatkan orang lain. Begitu hakikatnya.

 


Ngopi itu belajar untuk rileks. Jangan pernah berjuang untuk baik di mata orang lain. Jangan pernah pula meminta orang lain untuk berkata-kata baik tentang kita. Karena sama sekali kita tidak bisa mengontrol cara berpikir dan tuturan orang lain. Biarkan saja, toh hukum alam pasti dan berlaku kepada siapapun, Orang baik ya tetap baik, orang jahat ya tetap jahat. Apa yang kita tanam, maka itulah yang akan kita panen suatu saat nanti.

 

Jadi, di mana pun. Apa adanya saja. Tidak usah merekayasa diri. Apalagi menjelek-jelekkan orang lain. Sama sekali tidak perlu, karena kita memang bukan apa-apa dan bukan pula siapa-siapa. Jadi ilmu itu penting dipelajari terus-menerus. Agar mampu mengokohkan akhlak. Maka sampai kapanpun, adab atau akhlak tetap di atas ilmu. Berdirilah tegak di antara akhlak dan ilmu sampai kapanpun. Karena aklah dan ilmu itu pasti gagal jika jatuh di tangan dua orang. Yaitu 1) orang yang senang berpikir tapi tidak pernah mau bertindak dan 2) orang yang bertindak tapi tidak pernah berpikir. 

 

Ngopi saja dulu, agar lebih rileks. Tidak ada soal yang tidak bisa diselesaikan. Dna ketahuilah, jangan terlalu sering menengok masa lalu. Tapi tataplah masa depan agar bisa lebih baik, lebih bermanfaat Nikmati hidup apa adanya, bukan ada apanya. Tanpa perlu membanding-bandingkan apapun dengan orang lain. Karena tidak akan pernah tertukar kok “mana loyang mana emas”. Cukup perbaiki niat saja, baguskan ikhtiar dan perbanyak doa. Selebihnya biarkan allah SWT yang bekerja untuk kita.

 

Dan esok bila ada yang bertanya tentang kita. Katakan saja kita sudah ada di jalan yang benar. Kasih tahu saja, bahwa tiap orang berhak menikmati hidup dengan caranys sendiri. Begitulah makna ngobrol sambil ngopi di kampus. Berusaha untuk mencerahkan, bukan menggelisahkan. Salam literasi!

Minggu, 28 Mei 2023

Literasi Hasrat, Untuk Apa Menyusahkan Orang Lain?

Satu hal yang sering tidak disadari. Yaitu tumbuhnya hasrat untuk menyusahkan orang lain. Gemar mempersulit urusan orang lain, baik disengaja atau tidak disengaja. Hasrat berbuat mudarat, baik 1) mengganggu atau menyakitinya dan 2) menghalangi maslahat yang seharusnya diterima oleh orang lain. Hingga merusak kenyamanan atau kebahagiaan orang lain. Hati-hati, hasrat buruk ingin menyusahkan orang lain bisa menghantui siapapun.

 

Di era media sosial seperti sekarang, banyak orang terjebak dalam pikiran negatif yang diciptakannya diri sendiri. Mungkin, karena iri atau benci. Bahkan merasa tidak mampu berbuat baik seperti yang dilakukan orang lain. Sehingga tumbuhlah hasrat untuk menyusahkan orang lain. Bila dikasih kesempatan untuk berdoa pun yang keluar dari hati dan mulutnya doa-doa yang jelek untuk orang lain. Sayang saja doa hanya ada dalam hati. Itulah ciri orang-orang yang berpikir negatif, bahkan hasratnya selalu ingin menyusahkan orang lain. Entah kenapa?

 

Banyak orang lupa. Bumi ini mungkin sudah muak dengan manisnya bibir yang menipu. Kata-kata yang serba palsu bahkan penuh basa basi. Hingga lupa untuk berpikir positif dan terus berjuang untuk menjadi baik. Semakin lupa bahwa di dunia ini yang lebih indah bukan lepas dari masalah tapi mengeja kesabaran. Bukan menuntut karunia tapi menunjukkan syukur. Bahwa yang paling cerdas adalah yang paling banyak mengingat matinya. Bahwa yang paling hebat adalah yang paling gigih menyiapkan bekalnya.

 


Hati-hati, bila memiliki hasrat untuk menyusahkan orang lain. Pasti rugi dan tidak ada untungnya. Karena apapun yang diperbuat, maka aka nada balasannya. Siapa yang menanam pasti dia yang akan menuai, sesuai dengan kadar baik buruknya. Tidak ada hidup indah bila penuh dengki. Tidak ada hidup mulia bila angkuh. dan tidak ada hidup mudah bila masih menyusahkan orang lain.

 

Jadi, jauhi tiap pikiran negatif. Hindari Hasrat untuk menyusahkan orang lain. Untuk apa mengurusi orang lain, bila kita bukan siapa-siapa dan bukan apa-apa pula. Ingatlah, Allah SWT itu selalu mengikuti prasangka dan perbuatan hamba-Nya. Untuk apa bersusah payah untuk menyulitkan orang lain? Salam literasi!

 

Sabtu, 27 Mei 2023

Taman Bacaan Aja Berubah, Kok Situ Nggak?

Boleh setuju boleh tidak. Bahwa satu-satunya hal yang pasti terjadi dalam diri manusia dan kehidupan di dunia adalah perubahan. Perubahan akan selalu terjadi. Tanpa memperhitungkan, apakah kamu siap menghadapinya atau tidak?

 

Memang, perubahan bisa saja membuat kehidupan kita menjadi lebih baik. Namun bisa pula sebaiknya. Ada yang menyambut baik perubahan. Ada pula yang apatis atau hanya berdiam diri. Semua tergantung cara pandang seseorang dalam melihat perubahan itu sendiri.

 

“Sesungguhnya Allah tak akan merubah suatu negeri sampai negeri itu mau merubah diri mereka sendiri masing-masing….” (QS Ar’rad:11).

 

Dulu kita tidak tahu apa itu handphone? Kini gemar bermain HP. Dulu tidak ada medsos, kini semuanya tersebar via medsos. Dulu rumah, sekarang jadi taman bacaan. Itulah contoh perubahan. Jadi, berubah atau tidak itu soal cara pandang. Banyak hal sudah berubah, bahkan esok banyak hal lagi akan segera berubah. Tapi sayang, banyak orang belum mau mengubah sikap dan cara pandangnya.

 


Perubahan pun terjadi di taman bacaan. Seperti di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak. Dulu hanya menjalani program TAman BAcaan (TABA). Tapi kini sudah ada 15 program literasi, seperti: GEBERBURA (GErakan BERantas BUta aksaRA), KEPRA (KElas PRAsekolah), MOBAKE (MOtor BAca Keliling), Koperasi Simpan Pinjam, hingga TBM Ramah Difabel. Saat didirikan hanya punya 600 buku, tapi kini sudah lebih dari 10.000 koleksi bukunya. Dulu tidak ada belajar antre, sekarang harus antre. Berubah dan berubah pasti terjadi di taman bacaan. Tentu, untuk tujuan yang lebih baik.

 

Banyak orang baru tersadar. Ternyata, perubahan itu pasti. Sama sekali sulit menghindar dari perubahan. Maka bila ingin berubah menjadi yang lebih baik dari sebelumnya, satu-satunya langkah yang ditempu ya berubah. Melangkah ke depan untuk lebih baik lebih bermanfaat bukan hanya berdiam diri. Tetap bermukim di titik yang sama, dari dulu sampai sekarang.

 

Ketahuilah, di mana pun, perubahan baik pada diri seseorang itu berawal dari kata “memulai” bukan “menunggu”. Untuk menjadi lebih baik ya berubah. Bila ingin sempurna itu diperoleh karena mau dan sering berubah.

 

Lalu, kenapa kita masih belum mau berubah? Jangan menuntut orang lain berubah bila kitanya tidak mau berubah. Karena berubah bukan datang dari langit, bukan pula dari Hongkong. Tapi dimulai dari diri sendiri. Salam literasi! #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi

Jumat, 26 Mei 2023

Filosofi TBM: Dari Mana Berasal dan Mau Ke Mana Menuju?

Faktanya, ada orang yang mampu membeli gawai keluaran terbaru. Aktif di berbagai media sosial, bikin status dan update kulineran dan traveling. Tapi anehnya, gawai dan media sosialnya tidak pernah dipakai untuk dakwah untuk mengajak orang lain berbuat baik. Omongannya menyehatkan, tapi perilakunya menyakitkan.

 

Ada pula orang yang sanggup berjam-jam nongkrong dan main ke rumah teman, nonton konser, duduk di cafe, jalan-jalan ke mal sehingga merasa bahagia dan terhibur. Namun anehnya ia tidak pernah sanggup duduk di majelis ilmu dan pengajian walau hanya sesaat.

 

Ada lagi orang yang mampu membeli berbagai macam makanan, buah-buahan, minuman asal dapat menyantap makanan yang enak dan lezat sehari-hari. Tapi anehnya, lisannya begitu berat untuk berzikir atau membaca Al Qur'an walau hanya 15 menit.

 

Ada orang sangat peduli dengan kulitnya, kecantikan, dan bentuk tubuhnya hingga semangat pergi ke salon atau memakai skincare mahal asal wajahnya tetap cantik dan punya body yang ideal. Namun anehnya, ia sama sekali tidak peduli atas omongan buruk yang selalu keluar dari mulutnya.

 

Bahkan ada orang yang berani korupsi, menjual yang bukan haknya, melakukan apa saja asal dapat hidup enak dan nyaman katanya. Tapi anehnya, tidak berani mengakui kesalahannya dan sama seklai tidk pernah peduli terhadap balasan atas kejelekan yang telah diperbuatnya selama di dunia.

 


Banyak hal yang patut kita renungkan. Kita sering kali sibuk mencari dan menyiapkan hidup enak tapi lupa menyiapkan mati enak. Berjuang untuk dunia tapi lupa bekal ke akhirat. Bekerja keras untuk nama baik dirinya sendiri tapi kerjanya menjelek-jelekkan orang lain. Gemar mencari salahnya orang lain, lalu lupa kesalahannya sendiri.

 

Tertipu dunia, lupa amal kebaikan. Berjuang keras untuk dibilang baik di mata orang lain hanya lewat omongan. Lalu lupa berbuat baik dalam bentuk nyata. Bagus di dunia, tapi belum tentu bagus untuk akhirat. Terus, mau sampai kapan lalai dan tertipu dunia?

 

Maka siapapun yang merasa beriman, merasa cerdas dan berakal. Jangan sampai kita di dunia ini lalai dan tertipu sehingga lupa amal kebaikan. Hingga lupa dari mana berasal dan mau ke mana menuju? Maka lebih baik persiapkan bekal amal soleh untuk akhirat daripada berjibaku untuk dipuji orang lain di dunia.

 

Ketahuilah, Allah SWT telah memperingatkan kita semua. "Dan hendaklah setiap jiwa memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)" (Qs. Al-Hasyr: 18).

 

Jadi bertanyalah, dari mana dan mau ke mana kita? Salam literasi!

Taman Bacaan sebagai Jalan Dakwah, Apa Artinya?

Siapapun, termasuk taman bacaan pasti mengalami berbagai ujian atau cobaan. Hanya sabar, salah satu cara taman bacaan untuk bertahan dalam kondisi apapun. Di taman bacaan, ada orang yang tidak suka. Ada pula yang memfitnah bahkan mengganggu.  Maka mengelola taman bacaan harus sabar. Memang tidak mudah, karena sabar membutuhkan jiwa yang besar untuk dapat mempraktikkannya.

 

Taman Bacaan di mana pun tidak bisa meraih apa yang diangankan, kecuali dengan sabar atas apa yang dibencinya. Sabar terhadap apa yang kalian benci,, itulah salah satu jalan dakwah di taman bacaan. Seperti dikatakan Hasan al-Bashri RA, “Kalian tidak akan bisa meraih apa yang kalian sukai, kecuali dengan meninggalkan apa yang kalian inginkan. Kalian tidak akan meraih apa yang kalian angankan, kecuali dengan sabar terhadap apa yang kalian benci” (al-Bayan wa at-Tabyin, jilid 3, hlm. 163).

 

Seorang kawan pegiat literasi bertanya ke saya. Gimana caranya bertahan di taman bacaan? Maka saja jawab, karena taman bacaan adalah jalan dakwah. TBM atau taman bacaan sebagai sarana untuk menyampaikan atau mengajak orang lain atau masyarakat untuk berbuat kebaikan. Untuk membaca buku sebelum banyak bicara, untuk memanfaatkan waktu membaca daripada bermain. Sehingga taman bacaan bisa jadi ladang amal sesuai anjuran agama. Mampu membangkitkan nilai-nilai kebaikan dan kepedulian selama di dunia sebagai bekal ke akhirat.

 

Ibaratnya, ada orang yang beramal membangun masjid. Nah saya memilih beramal di taman bacaan. TBM sebagai jalan dakwah. Dakwah akhlak dan pendidikan untuk anak-anak usia sekolah. Bahwa giat membaca itu penting di tengah arus deras era digital. Lebih dari itu, untuk sebagian orang seperti saya, mungkin taman bacaan itu pilihan hidup. Maaf, bukan gaya hidup ya. Pilihan hidup kan artinya saya dengan sengaja memilih berkiprah di taman bacaan. Atau Allah SWT yang memilihkannya untuk saya. Apapun bila sudah jadi pilihan hidup ya harus dijalani dengan sabar. Toh, taman bacaan tidak ada jeleknya.

 


Lalu, soal kenapa bisa bertahan di taman bacaan?

Ya karena pilihan hidup. Tentu, semua tergantung niat, ikhtiar, dan doanya. Asal komit dan konsisten, bila dijalani sepenuh hati, insya Allah selalu ada alasan untuk bertahan di taman bacaan. Hanya orang yang sepenuh hati yang mampu bertahan. Bila tidak, sudah pasti punah atau mudah dilepaskan.

 

Taman bacaan tidak bisa meraih apa yang diangankan. Kecuali dengan sabar atas apa yang dibenci. Siapapun pasti punya kebencian. Tapi di taman bacaan cukup dihadapi dengan sabar. Tidak perlu memaki-maki orang-orang yang tidak peduli. Apalagi saat menghadapi orang-orang yang benci pada taman bacaan. Biarkan saja, karena memang taman tidak akan pernah bisa menyuruh semua orang suka pada taman bacaan, Intinya, jangan balas benci dengan benci. Cukup sabar, sabar, dan sabar di taman bacaan.

 

Di luar sana, banyak orang hidup dalam kebencian. Ada pula yang bermukim dalam masa lalu dan keluh-kesah. Biarkan saja, itu urusan mereka bukan urusan kita. Maka bila paham, taman bacaan adalah tempatnya perbuatan baik. Cukup kerjakan saja segala kebaikan di dalamnya. Sabar bila dibenci. Tidak usah gubris orang-orang yang tidak peduli. Karena, tidak peduli itu sejatinya penyakit yang akan mematikan kebaikan, di mana pun.

 

Ketahuilah, dalam hidup siapapun dan di taman bacaan dilarang menyirami hari-harinya dengan keburukan. Tetaplah berpijak pada kebaikan, apapun keadaannya. Sabar atas apa yang dibenci. Karena “the show must go on”. Seperti kata orang yang sedang jatuh cinta, bahwa yang tersulit dalam hidup itu bukan memilih. Tapi bertahan pada pilihannya. Salam literasi. #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterast

 

Kamis, 25 Mei 2023

Di Balik Kematian Toko Buku Gunung Agung?

Sedih dan mengenaskan mendengarnya. Salah satu toko buku legendaris dan bersejarah di Indonesia, “Gunung Agung” mengumumkan akan menutup secara permanen pada tahun 2023 ini. Sekitar 350 pekerja pun akan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Toko buku Gunung Agung bangkrut dan akhirnya menyerah di tengah persaingan bisnis yang kian ketat. Prihatin, buku yang katanya jendela ilmu pengetahuan pun kian terpuruk dari belenggu gaya hidup yang kian terbuka.

 

Tentu, ada banyak pikiran yang membuncah di balik “kematian” Toko Buku Gunung Agung yang legendaris. Salah satu toko buku favorit saya saat masih sekolah, dari sejak di SDN Kenari 12 Salemba, SMPN 216 Salemba, dan SMAN 30 Rawasari. Gunung Agung ya toko buku yang sering dikunjungi anak0anak sekolah pada zamannya, di samping toko buku lapakan di Kawasan Kwitang Jakarta. Adalah bukti, toko buku konvensional ke depan pasti akan “berjatuhan” dan memakan korban akibat keganasan era digital.

 

Setelah membaca berita bangkrutnya Toko Buku Gunung Agung, setidaknya ada 3 (tiga) titik yang jadi pusat perhatian saya. Akan pentingnya berubah dan adaptasi terhadap dinamika zaman, di samping pentingnya peran negara untuk hadir menjaga iklim perbukuan dan budaya literasi di masyarakat. Agar esok, jangan ada lagi “kematian-kematian” baru yang terkait dengan buku dan budaya membaca di bumi Indonesia.

 

Pertama,  Toko Buku Gunung Agung bangkrut sebab bisnisnya terus merugi dan tidak lagi mampu bersaing. Beroperasi lebih dari 70 tahun di bidang percetakan dan penerbitan, akhirnya Gunung Agung menyerah dan mati. Menyusul Toko Buku Togamas yang pernah terkenal di Yogyakarta dan Malang. Toko Buku Gunung Agung terpaksa “lempar handuk” akibat gagal beradaptasi dengan perubahan zaman. Ironis sih, sementara tiket konser Coldplay sejumlah 50.000 kursi yang dijual dari Rp. 800 ribu hingga Rp. 11 juta habis terjual dalam 1,5 jam. Bukti, buku-buku makin tidak digemari dan terpinggirkan.

 

Kedua, kematian Toko Buku Gunung Agung memberi sinyal kuat toko buku konvensional bakal bertumbangan ke depan. Di waktu yang sama, buku-buku bajakan kian merajalela. Buku bajakan bakal mendominasi di toko online, toko buku lapakan, atau di penerbit instan. Penulis pun jadi makin malas-lah menulis buku lagi. Buku dan literasi kian tidak jelas, terperosok ke “rimba raya” yang sama sekali tidak dipedulikan lagi. Regulasi perbukuan hampir “lumpuh” dan tidak berdaya lagi.

 

Ketiga, tutupnya Toko Buku Gunung Agung jadi sebab di-PHK-nya 350 pekerjanya. Sementara perusahaannya merugi dan bangkrut, tapi tetap harus membayar uang pesangon sesuai regulasi yang berlaku di ketenagakerjaan. Ibarat pepatah “sudah jadtuh tertimpa tangga pula”. Kejadian ini harus jadi pelajaran. Betapa pentingnya perusahaan atau pemberi kerja dan pekerja memiliki program pensiun seperti Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Sehingga pada saat terjadi PHK atau pensiun, uang pesangon atau uang pensiun yang harus dibayarkan perusahaan sudah tersedia. Agar tidak lagi jadi “beban” keuangan manakala perusahaan dalam kondisi kesulitan cash flow atau bisnis yang merugi.    


PHK pekerja, memang sebuah kondisi yang sulit dihindari. Perusahaan justru dalam keadaan keuangan yang sulit, namun harus tetap membayar uang pesangon atau pensiun dalam jumlah yang besar. Regulasi memang mewajibkan membayar uang pesangon. PP No. 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja dan UU No. 6/2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang Pasal 156 ayat 1 menegaskan “"Dalam hal terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima". Masalahnya, dari mana uang pesangon bisa disediakan?

 


Suka tidak suka, perusahaan atau pemberi kerja harus memahami bahwa uang pesangon itu bukan beban tapi kewajiban. Cepat atau lambat, uang pesangon harus dibayarkan. Entah, akibat pekerja di-PHK, pensiun, atau meninggal dunia. Karena itu, sangat penting di zaman begini, perusahaan atau pemberi kerja mulai mendanakan kewajiban imbalan paskakerja berupa uang pesangon atau uang pensiun melalui dana pensiun. Agar dapat mencicil yang uang pesangon atau pensiun sejak dini, saat bisnis perusahaan masih profit atau sehat. Karena bila tidak, maka akan jadi masalah ketenagakerjaan yang berujung pada masalah hukum. Caranya, tentu melalui program pensiun di DPLK (Dana Pensiun Lemnbaga Keuangan)  dengan menyetor sejumlah iuran secara berkala yang didedikasikan untuk menyiapkan dan mengelola pembayaraan manfaat pensiun atau pesangon pekerja saat diperlukan nantinya. Jadi bila terjadi PHK, perusahaan atau pemberi kerja hanya memberikan perintah secara tertulis untuk membayarkan uang pesangon atau uang pensiun kepada pekerja yang dimaksud.

 

Di balik cerita Toko Buku Gunung Agung, buku bajakan, PHK pekerja, dan dana pensiun. Ada pesan penting, bahwa perusahaan dan bisnis apapun harus berani untuk melakukan terobosan dan inovasi agar tetap mampu bersaing - beradaptasi dengan perubahan zaman. Strategi bisnis harus terus disesuaikan. Agar tetap menjadi pilihan konsumen dan masyarakat. Dukungan teknologi sangat dibutuhkan, di samping regulasi pun harus menunjukkan keberpihaan kepada pelaku industri.. Agar iklim ekonomi, ekosistem bisnis, dan kesejahteraan pekerja tetap terjaga dengan baik. Seperti spirit UU P2SK, agar bisnis apapun tetap menjunjung tinggi 1) tata kelola yang baik, 2) manajemen risiko yang efektif, dan 3) mengutamakan kepentingan konsumen.

 

Selamat jalan Toko Buku Gunung Agung, selamat datang buku-buku bajakan. Dan selamat mempersiapkan dana pensiun untuk perusahaan dan pekerja. Agar tetap optimis di masa depan. Salam #YukSiapkanPensiun #TokoBukuGunungAgung #TBMLenteraPustaka

Mengenaskan, Anak Sekarang Lebih Dekat dengan Gawai daripada Buku

Pertanyaan yang menggelitik. Bisakah anak-anak zaman sekarang hidup berdampingan dengan buku bacaan, bukan gawai atau media sosial?

 

Faktanya, anak-anak usia sekolah hari ini lebih gemar bermain gawai, berselenacar di media sosia atau minimal menonton TV. Apalagi Kemendikbud RI dalam survei bertajuk Indonesia Millennial Report 2019 menyebut 94,4% milenial Indonesia pun telah terkoneksi dengan internet, berarti di dalamnya pun ada anak-anak usia sekolah. Kini, jutaan anak Indonesia malah lebih pandai memainkan gawai alias ponsel pintar daripada penguasaan terhadap ilmu pengetahuan. Uswitch.com melansir hasil penelitian bahwa “lebih dari seperempat anak-anak di seluruh dunia memiliki akses ponsel genggam sebelum usia 8 tahun”. Sangat mengenaskan!

 

Mungkin maunya orang dewasa untuk anak-anak. Agar anak-anak lebih bisa bersahabat dengan buku-buku bacaan. Bukan sehari-hari bermain gawai. Orang tua yang makin buingung. Saat si anak ulang tahun atau naik kelas, justru minta dibelikan gawai edisi terbaru yang lebih canggih. Bukan meminta dibelikan 10 buku keluaran terbaru. Jadi sulit dibantah, anak-anak sekarang lebih gandrung gawai daripada buku bacaan.

 

Realitas yang sulit dipungkiri. Di era digital, anak-anak “terjajah” gawai. Lebih candu gawai atau media sosial. Buku bacaan dan perilaku membaca mamin tertinggal jauh. Apalagi di banyak kampung dan daerah, makin sulit mencari tempat membaca buku. Fasilitas membaca buku anak-anak kian sulit dicari. Entah itu, bernama taman bacaan, perpustakaan, atau pojok baca. Tidak ada akses membaca buku di banyak tempat. Berbeda dengan tempat ngopi atau kafe, bisa ditemui di setiap belokan atau di banyak tempat.

 

Katanya, membaca itu hak semua anak, di kota atau di kampung. Membaca tidak mengenal kasta. Literasi untuk semua. Tapi faktanya, tidak semua anak punya akses untuk membaca buku. Anehnya, angka partisipasi pendidikan anak usia sekolah di Indonesia terus meningkat tiap tahunnya. Tapi di sisi lain, masih ada jutaan anak yang mengalami putus sekolah. Menurut Bappenas (2019), total jumlah anak putus sekolah di 34 provinsi mencapai 4,3 juta anak. Ini belum ditambah putus sekolah akibat pandemi Covid-19 yang lalu. Atas sebab kemiskinan, angka putus sekolah kian mengkhawatirkan. Sehingga angka pernikahan dini pun kian melesat. Maka bagaimana mungkin anak-anak zaman now bisa hidup berdampingan dengan buku-buku bacaan?

 

Lalu apa kita harus bangga dengan anak-anak yang pandai dan mahir bermain gawai? Candu pada media sosial, youtube, dann gim online. Sama seperti orang tuanya yang gemar bermain gawai dan bermedia sosial. Anaknya dilarang main gawai tapi orang tuanya makin asyik berselancar di dunia maya. Wajar, tidak sedikit orang tua yang bangga bila mampu membelikan ponsel pintar untuk anaknya. Alasannya, agar anak-anaknya tidak menangis atau biar melek teknologi. Sementara si anak, hari-harinya makin asyik main gim online. Kian gencar eksis di media sosial. Atau chat tentang gaya hidup bersama teman-temannya.

 

Orang tua makin lupa. Bahwa data rumah sakit di Indonesia hari ini. Ada 25% dari total pasien anak akibat kecanduan gawai. Anak-anak yang hari ini sedang sakit. Akibat pengaruh negatif internet atau gawai. Anak-anak yang “terpaksa” butuh konsultasi dan berobat. Akibat teralalu akrab dengan gawai, bukan buku bacaan. Sebuat saja, anak-anak yang jadi “korban” era digital. Tidak lagi gemar membaca buku justru candu bermain gawai.

 


Suka tidak suka, ikhtiar mendekatkan anak-anak dengan buku bacaan harus terus diperjuangkan. Bukan untuk jadi kutu buku atau pintar ilmu pengetahuan. Tapi untuk menyeimbangkan aktivitas keseharian. Ada saat main gawsai, ada saat membaca buku. Karena buku, boleh jadi, satu-satunya cara untuk melawan anak-anak yang candu gawai. Bahkan hanya buku yang jadi “musuh” dari anak-anak yang berpotensi putus sekolah. Maka tidak ada alasan lain, ketersediaan akses bacaan jadi penting disosialisasikan. Perpustakaann desa, taman bacaan masyarakat, atau pojok baca harus diperbanyak. Untuk mendekatkan anak-anak dengan buku-buku bacaan, di samping menebarkan virus membaca. Membaca buku sebagai alat “perlawanan” terhadap gaya hidup anak-anak yang tidak produktif. Lawan terhadap candu gawai atau gim online.

 

Seperti yang dilajukan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Setidaknya ada 130-an anak yang kini tercatat aktif membaca. Taman bacana yang memiliki 15 program literasi sebagai sentra pemberdayaan masyarakat, seperti taman bacaan, berantas buta aksara, kelas prasekolah, ramah anak difabel, yatim binaan, jompo binaan, koperasi simpan pinja,, dan motor baca keliling atau motor pustaka. Tidak kurang dari 200 orang tercatat sebagai penguna layanan TBM Lentera Pustaka setiap minggunya. Spiritnya sederhnan, untuk mendekatkan anak-anak dengan buku bacaan. Tersedianya kemudahan akses membaca, sambil edukasi cara bermain gawai atau ponsel yang bijak.

 

Sudah saatnya orang-orang dewasa atau orang tua untuk lebih peduli terhadap kegiatan membaca anak. Lebih peduli terhadap tradisi baca daripada membiarkan anak bermain gawai. Sudah terlalu lama anak-anak “tidak mampu menikmati” indahnya membaca buku. Akibat aksesnya terbatas, buku-bukunya langka. Ajarkan anak-anak memaca buku agar mereka bisa menatap masa depan lebih optimis, bukan pesimis.

 

Maka jangan bilang cinta pada anak, bila tidak mengajak mereka untuk membaca buku. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #AnakMembacaBuku