Sabtu, 31 Juli 2021

Literasi Gosip, Si Fulan Mati Akibat Gosip

 

Mati Karena Gosip

Sepulang bekerja di rumah majikan, si Fulan rebahan di pos ronda dengan wajah lelah dan nafas yang berat. Lelah setelah bekerja di majikan. Lalu datanglah si A, kemudian Fulan berkata kepada si A: “Yah beginilah orang kerja. Aku sangat lelah. Kalau boleh besok aku mau istirahat sehari saja.”

 

Si A pun pergi. Dan di tengah jalan dia berjumpa dengan si B lalu berkata: “Tadi, saya bertemu si Fulan, katanya dia besok mau istirahat dulu. Sudah sepantasnya sebab di majikan kasih kerjaan terlalu berat. Kasihan si Fulan

 

Ehh, si B pun bercerita lagi kepada si C: “Si Fulan komplain sama majikannya. Karena kerjaannya terlalu banyak dan berat. Besok dia tidak mau kerja lagi.”

Lalu si C bertemu si D dan dia bilang: “Si Fulan tidak senang kerja dengan majikannya lagi, mungkin dia sudah ada kerjaan yang lebih baik.” Menjelang sore, si D pun berjumpa dengan si E, lalu bilang: “Si Fulan tidak akan kerja lagi untuk majikannya. Dia mau kerja di tempat lain.”

 

Saat malam pun tiba, si E bertemu dengan sang majikan. Lalu berkata: “Pak Majikan, si Fulan akhir-akhir ini sudah berubah sifatnya dan mau meninggalkan Pak Majikan untuk bekerja di tempat majikan yang lain.”

 

Mendengar ucapan si E, sang majikan pun marah besar. Dan tanpa konfirmasi lagi, sang majikan menelepon si Fulan. Bahwa sejak malam itu, si Fulan dipecat dari pekerjaannya. Karena si Fulan dinilai telah berkhianat dan ngomong yang tidak benar kepada banyak orang.

 

Si Fulan pun “mati” karena gosip. Padahal ucapan asli si Fulan adalah, Yah beginilah orang kerja. Aku sangat lelah. Kalau boleh besok aku mau istirahat sehari saja.”

 


Sungguh, betapa jahatnya gosip. Kini, si Fulan pun tidak lagi bisa menafkahi keluarganya. Dia divonis bersalah bukan atas perbuatannya. Tapi akibat perbuatan orang lain yang gemar bergosip dan mengubah pesan. Entah apa niatnya orang-orang itu?

 

Hidup di zaman edan begini. Makin banyak orang susah karena perbuatan orang lain. Orang-orang yang sudah tidak punya hati, orang-orang yang tidak baik. Semua hal dianggap enteng, padahal akibatnya fatal.

 

Apapun, jangan gegabah menafsirkannya. Bila ada satu perkataan harusnya cukup berhenti di di telinga kita saja. Tidak perlu sampai ke telinga orang lain. Berita atau kabar apapun, jangan ditelan mentah-mentah lalu percaya begitu saja. Selain perlu dicek kebenarannya, siapa pun harus tahu tujuannya. Agar tidak salah makna.

 

Gosip atau kebiasaan meneruskan perkataan dari orang lain dengan menambah atau menguranginya itu bahaya. Apalagi mengganti pesannya bisa “mematikan” orang lain. Bila berita itu tidak benar, apalagi hoaks. Kasihan orang-orang yang jadi korban.

 

Sungguh, di dekat kita, ada orang-orang yang “mati” karena gosip. Itulah kampung gosip, sama sekali tidak literat. Salam literasi. #MatiKarenaGosip #TamanBacaan #GerakanLiterasi #TBMLenteraPustaka

Jangan Terlalu Baik Sama Orang Lain

Sebut saja, namanya si Fulan. Tiap hari dia berangkat kerja naik kereta, dari Bogor ke Jakarta. Saat mau menaiki tangga penyeberangan menuju stasiun, ia melihat seorang pengemis tua. Karena kasihan, si Fulan memberikan uang ke si pengemis tua. Tanpa bicara, si pengemis melambaikan tangan. Tanda terima kasih atas kebaikan si Fulan.


Esok harinya, seperti biasa si Fulan bertemu si pengemis itu lagi. Kali ini, ia mengajak si pengemis untuk sarapan pagi bersama di dekat stasiun. Saat makan di Fulan bertanya, “Pak, bagaimana ceritanya Bapak bisa seperti ini?”

Si pengemis pun menjawab, “Karena dulu, saya terlalu sering menolong orang”. Si Fulan pun bingung dengan jawaban si pengemis tua. Kok bisa?


“Iya Nak. Dulu saya sering menolong orang di sekitar” kata si pengemis tua, “Entah untuk sesuatu yang benar atau salah. Saya selalu berusaha menolong orang. Sampai tanpa terasa saya sudah menghabiskan waktu dan bahkan uang saya”.


Si Fulan pun bertanya, “Apakah Bapak menyesalinya?”

Si pengemis tua menjawab, “Tidak Nak. Saya hanya sedih. Karena orang-orang yang pernah mendapat bantuan saya. Sama sekali tidak mau membantu saya saat membutuhkan bantuannya. Nak”.



Maka si pengemis tua pun memberi nasihat kepada si Fulan. “Begini Nak, lebih baik kamu mengundang orang kesusahan ke rumahmu. Daripada membagikan semen saat kamu membangun rumahmu sendiri” katanya. 


Si Fulan pun berusaha memahaminya. Lalu mengangguk kepada sambil berkata dalam hati.  

Ternyata tidak semua kebaikan itu berbuah manis. Lebih baik mengutamakan diri sendiri dulu sebelum menolong orang lain. Jangan memaksakan diri untuk menolong orang. Sebab tidak semua orang akan membalas kebaikan dengan kebaikan. Bisa jadi, karena hatinya sudah beku.

 

Ada betulnya kata orang tua dulu. Bahwa terlalu banyak berbuat baik pun akhirnya bisa jadi sesuatu yang buruk. Seperti menolong orang yang dilakukan di pengemis tua. Menolong memang perbuatan baik. Tapi jika kita tidak melihat konsekuensinya maka dampaknya malah buruk.


Terima kasih nasihatnya Pak Pengemis Tua. Jangan terlalu baik sama orang. Bila sudah, cukuplah. Salam literasi

Jumat, 30 Juli 2021

Kebaikan Kalah Dari Ketidakpedulian, Tanggung Jawab Moral Ada Dimana?

 

TANGGUNG JAWAB MORAL, ADA DI MANA?

Sebagai tuan rumah Olimpiade 2020, Jepang tergolong sukses menggelar event akbar internasional itu. Kenapa begitu? Karena Jepang sebagai tuan rumah benar-benar memberikan pelayanan terbaik kepada “tamu”. Kepada atlet negara-negara lain yang mau bertanding. Negeri Sakura itu memang dikenal sangat menghormati tamu. Bahkan menjamin “keamanan” dan kebutuhan orang lain. Salut buat Jepang.

 

Makanya di Jepang, ada tradisi "Ojigi" atau membungkuk. Sejak balita, orang Jepang sudah diajarkan. Untuk menghormati orang lain. Apalagi orang-orang baik yang datang ke sana. Sayang sekali, di Indonesia tidak ada budaya membungkuk. Mungkin yang ada budaya gosip dan ngeles.

 

Hebatnya lagi. Orang Jepang itu selalu memberikan yang terbaik atas pekerjaannya. Bahkan siap menanggung risiko atas kelalaian-nya. Sekalipun tidak bersifat langsung. Sebagai bentuk tanggung jawab moral. Orang Jepang sangat gentle. Dan tidak segan untuk mengundurkan diri bila gagal. Atau kinerjanya buruk. Karena itu, dulu ada budaya “harakiri” di Jepang. Menusuk perutnya sendiri akibat merasa malu dan gagal. Termasuk gagal dalam menjaga norma sosial. Jangankan maling, ketahuan korupsi saja mereka bunuh diri.

 


Bila tahu ada aktivitas baik. Bangsa Jepang itu pasti memeliharanya. Makanya banyak orang pintar Indonesia yang kerja di Jepang dan tidak mau balik lagi. Karena di Jepang, dibikin nyaman. Itulah faktanya. Maka mereka semakin maju, semakin canggih. Berat kontribusi dari orang-orang baik di luar lingkungannya.

 

Tanggung jawab moral itu ditanamkan di Jepang. Dan kita mungkin tidak perlu meniru semua dari Jepang. Tapi kita dapat belajar untuk mengikuti jejaknya. Sebagai manusia dan bangsa yang mau lebih baik ke depannya. Di sini, tanggung jaab moral itu ada di mana dan punya siapa?
 
Itulah literasi peradaban manusia. Tapi sayang, di negeri ini belum seperti itu. Sehingga kebaikan pun harus mengalah dari kebobrokan. Saat orang baik terlempar akibat ketidak-pedulian.

Itulah yang bikin kangen untuk berkunjung lagi Jepang. Salam literasi

Rabu, 28 Juli 2021

Manusia Gila Pengaruh, Tidur Bareng Kecemasan

Zaman boleh maju, boleh serba digital. Tapi faktanya, kian banyak orang yang pengen mengatur hidup orang lain. Bila perlu, orang lain di bawah kendalinya, di bawah kekuasaannya. Sebut saja, manusia yang gila pengaruh. Maka apa saja dilakukannya. Asal bisa jadi orang berpengaruh. Tapi sayang, orang itu masih takut sama virus Covid-19.

 

Orang-orang gila pengaruh. Lalu, merasa berkuasa atas orang lain. Hobi memberi tahu orang lain tanpa ditanya. Tapi giliran di medsos, berteriak seolah jadi korban, seperti orang baik. Tapi di dunia nyata, semuanya bertolak belakang. Gambarnya tidak seindah aslinya. Manusia gila pengaruh itu tidak punya prestasi bahkan tidak bisa apa-apa. Tapi perilakunya sering ngotot untuk membuktikan kepintarannya. Agar mendapat pengakuan dari orang-orang sekitarnya. Penting banget kali ya.

 

Belum punya kekuasaan sudah bertindak sesuka hati. Kerjanya hanya mencari-cari kesalahan orang lain. Bahkan kesalahan negara dan pemimpinnya pun bisa jadi alat untuk mem-bully. Belum apa-apa sudah ingin melukai orang lain. Pikirannya buruk, sikapnya gamang, dan perilakunya tidak berkualitas. Merasa benar sendiri, sementara semua orang lain salah. Maka wajar ada pepatah “belum berkuku hendak mencubit”.

 

Belum apa-apa sudah bertindak sesuka hati. Belum ada kontribusi sudah teriak berbuat ini berbuat itu. Tidak ada manfaatnya tapi merasa paling berguna di mata orang lain. Manusia yang lupa. Bahwa dia bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa di muka bumi ini.

 

Belum berkuku hendak mencubit.

Mereka yang kerjanya mau menyalahkan tanpa mau disalahkan. Berani mengkritik tapi tidak mau dikritik. Gemar menghakimi tapi tidak mau dihakimi. Ingin jadi orang benar tapi caranya mengumpulkan kesalahan orang lain. Pikirannya rancu, perilakunya keliru. Manusia yang tekun dan rajin memperjuangkan pikiran yang tidak sepenuhnya benar. Sangat subjektif dan terlalu gila pengaruh. Itulah realitas sebagian orang di era digital ini.

 


Entah kenapa? Hari ini banyak orang gemar “tidur bareng” dengan ketakutan, keraguan, kesalahan, kebencian hingga takhayul. Di mata mereka, “kebaikan nyatadianggap nisbi. Bila bertindak baik pun hanya dijadikan objek nafsu dan selera semata. Untuk publikasi di media sosial. Setiap hari, mereka berjuang mati-matian untuk kepentingannya sendiri. Sebut saja, manusia-manusia nothing.

 

Mungkin ke depan, manusia gila pengaruh akan kian marak.

Selaian egois dan individualis, mereka hidup dalam nafsu. Iya nafsu, yang ada di antara naluri dan akal sehat. Saat nafsu bersemayam, maka naluri hilang dan akal sehat pun bersembunyi. Maka ketika naluri dan akal bersinergi. Di situlah manusia tidak akan pernah istirahat dari kecemasan yang dia bangun sendiri. Selalu merasa tidak puas dan ingin berkuasa. Kekuasaan atas nama nafsu.  Kekuasaan yang menipu.

 

Maka wajar. Untuk siapapun. Ketika nafsu berkuasa, maka tiap orang selalu melihat orang lain sebagai ancaman. Jangan ingin bermanfaat bagi orang lain. Tapi orang justru dilihat sebagai musuh.

 

Ketika gila pengaruh, maka akhirnya “gajah di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan pun tampak”. Alias kesalahan orang yang sedikit tampak, tetapi kesalahan sendiri yang besar tidak tampak. Hingga akhirya “bagai balam dengan ketitiran”, dia yang tidak bisa apa-apa, tapi yang disalahin orang lain. Akibat terlalu gila pengaruh. Bak “belum berkuku hendak mencubit”. Kok bisa ya?

 

Hidup itu nasehat. Pepatah pun isinya nasehat atau wejangan. Agar siapa pun tetap berhati-hati. Agar tidak usah cemas apalagi khawatir sedikit pun. Atas apa yang dipikirkan atau dikatakan orang lain. Karena mereka, mungkin dalam keadaan tidak mengerjakan apapun. Gelisah atas gila pengaruhnya sendiri.

 

Maka tetaplah lakukan yang terbaik, kerjakan yang bermanfaat untuk orang lain. Khoirunnass anfa’uhum linnass. Karena sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.

 

Hari ini, memang tidak cukup punya pikiran bagus. Bila tidak mampu digunakan dengan baik. Salam literasi. #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen

Panggil Aku, Atik. Anak Berkebutuhan Khusus di Taman Bacaan.

 Panggil Aku, Atik. Anak Berkebutuhan Khusus di Taman Bacaan.

 
Memang sulit interaksi dengan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) seperti Atik. Apalagi harus berkomunikasi dengannya. Tapi kini, setelah Atik bergabung sudah 2 bulan ini, Atik begitu ceria. Sebelum di TBM, dia sulit interaksi dan mungkin tidak ada teman. Tapi kini, dia tergolong anak yang rajin ke TBM. Untuk bermain, belajar dengan caranya sendiri, tentu didampingi wali bacanya. Selain penuh semangat, Atik pun sumringah menatap hari-hari kedepannya.
 
Hari ini, Atik sudah dikasih kaos TBM Lentera Pustaka. Maklum untuk mendapatkan kaos TBM, anak yang baru bergabung harus rajin seminggu 3 kali baca selama 2 bulan, tanpa putus. Dan Atik sudah membuktikannya sekalipun ABK. Lihat betapa riangnya ia saat menerima kasonya. Mungkin, dia mau bilang "terima kasih TBM" tentu dengan gaya dan bahasanya sendiri.
 

Atik memang anak ABK. Tapi sejak di TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor, dia diperlakukan seperti anak-anak biasa lainnya. Sebagai terapi awal ke Atik, saya minta siapapun yang bimbing dia di TBM, harus 1) panggil dia dengan menyebut namanya, 2) selalu ajak sosialisasi dan dialog secara perlahan, 3) sabar dalam menanganinya, dan terpenting 4) ajak main, jangan dicuekin.
 
Alhmdulillah, kini Atik yang kebetulan seorang anak yatim, sudah mampu bersosialisasi dengan anak-anak lainnya di TBM. Perlakuannya pun sama dengan anak-anak lainnya. Bila disimak wajahnya, tatap matanya sepert ingin berkata “selalu ada harapan untuk normal, seperti yang lainnya”. Insya Allah dan semoga ya Nak.
Tetap semangat ya Atik, insya Allah kita bersama di TBM Lentera Pustaka. Salam literasi buat Atik #ABKDiTamanBacaan #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen

Selasa, 27 Juli 2021

Gerakan Literasi Terkendala Manusia Berstandar Ganda

Katanya, minat baca orang Indonesia itu rendah. Tapi kata yang lain, akses buku bacaan yang tidak tersedia di banyak tempat. Jadi yang benar apa? Minat rendah atau akses buku tidak ada? Bingung kan.

 

Ada lagi contoh. Ada orang yang menuntut orang lain untuk menerima pendapatnya. Tapi di saat lain, dirinya sendiri langsung menolak pendapat yang bertentangan dengan pikirannya. Bingung lagi kan.

 

Banyak orang bilang dirinya “open minded”. Tapi giliran berbeda pendapat ditolak. Berbeda pilihan langsung bikin “garis pembatas”. Katanya pikiran terbuka. Tapi pendapatnya mau diterima orang lain. Giliran pendapat orang lain yang berbeda buru-buru dibantah lalu dicari alasan ilimiahnya. Pasti bingung lagi kan.

 

Saat masih miskin. Selalu menuding orang kaya itu egois. Tidak mau menolong orang miskin. Orang disebut kapitalis, menumpuk harta dilarang dalam agama. Eh, saat sudah kaya. Justru orang miskin yang dituding sebagai orang malas. Tidak mau kerja keras, dianggap kaum yang maunya ditolong. Makin bingung lagi kan.

 

Zaman boleh maju, era boleh digital. Tapi di saat yang sama, kualitas orang-orangnya belum tentu jadi lebih baik. Karena terlalu percaya pada pikirannya sendiri. Hidupnya ber-standar ganda.

 

Standar ganda itu sikap. Orang yang tidak tidak konsisten dalam menilai sesuatu. Bilangnya objektif tapi nyatanya lebih memihak pada pikiran dirinya sendiri. Standar ganda itu bisa disebut hipokrit. Lebih umum lagi disebut orang munafik. Bermuka dua dalam menetapkan standar.

 


Kenapa banyak orang ber-standar ganda?

Karena mereka lebih gemar dan terbiasamenakar dan mengukur’ orang lain pakai takaran pikirannya sendiri. Kerap menilai orang lain dari ‘sudut pandang dirinya sendiri. Dan tidak mampu memahami orang lain dari sudut pandang yang berbeda.

 

Maka standar ganda itu persoalan literasi. Gagalnya orang memahami realitas. Tidak berani berbeda dan hanya mau menang sendiri. Orang-orang ber-standar ganda. Hanya mau menuntut orang lain bersikap dan berbuat seperti yang dia mau. Tapi dirinya sendiri tidak mau melakukannya untuk orang lain.

 

Apa artinya standar ganda?

Artinya sederhana. Bila tidak mau dihakimi maka jangan menghakimi orang lain. Bila mau dimaafkan saat berbuat salah maka jangan menghukum orang yang salah. Tapi berani memaafkan orang yang bersalah.

 

Maka tantangan gerakan literasi itu sangat berat. Bukan hanya sekadar soal minta membaca atau akses bacaan. Tapi mengubah cara berpikir banyak orang agar tida ber-standar ganda. Karena standar terbaik dalam hidup itu harusnya bukan bersandar pada pikiran sendiri. Tapi fokus menghitung jumlah orang yang telah dibantu oleh kita. Seberapa manfaat kita untuk orang lain.

 

Hindari standar ganda. Jauhi mau menag sendiri. Agar jangan sampai, kita sujud tapi tidak tahu kenapa kita harus sujud? Salam literasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen