Angin pagi
menusuk kulit, membawa aroma aspal basah dan debu yang beterbangan. Di sudut
pertigaan kota yang mulai terabaikan, warung kelontong di depan rumah Pak Wiryo
terlihat sepi, seperti ia sendiri yang kini mulai tua, rapuh, tetapi tetap
berdiri.
Pak Wiryo
sudah 68 tahun. Tubuhnya kini tidak seperti saat bekerja. Namun masih dipaksa
bangkit setiap pagi untuk membuka warung. Tangannya gemetar sedikit saat menaikkan
rolling door. Tulang-tulangnya berderak setiap kali ia jongkok dan
berdiri. Tapi wajahnya tetap menampakkan sesuatu yang tidak mau dibilang tumbang:
“harga diri”.
Di antara deru
kendaraan yang lewat tanpa menoleh, ia menunggu warungnya. Setiap pembeli yang
datang adalah rezeki kecil yang tidak boleh disia-siakan. Ia menunggui warungdengan
sabar, merapihkan dagangan, menata, membuka dan menutup warung lagi di larut
malam. Begitu terus, seakan waktu di sekelilingnya sudah berhenti, hanya suara anak-anak
yang berlarian dan detak jantungnya yang mengisi dunia masa pensiun Pak Wiryo.
Dulu saat
masih bekerja, hidupnya tidak seperti ini. Ada masa-masa ia pulang kerja dengan
senyum lebar — naik motor, disambut anak-anaknya yang berlari dari pintu rumah.
Dulu, tangannya kuat, mengangkat kursi, bahkan memasukkan motor ke dalam rumah
setiap malam.. Dulu, tubuh Pak Wiryo kebal pada hujan dan panas. Tapi waktu beranjak
tua melucuti semuanya secara perlahan, tanpa bisa dielakkan lagi.
Tabungan?
Pensiun? Semua itu terdengar mewah untuk seorang pegawai kecil seperti Pak
Wiryo yang hidupnya habis untuk membayar cicilan dan biaya hidup itu sehari-hari.
“Boro-boro siapin pensiun, untuk makan sehari-hari saja sudah pas-pasan” batin
Pak Wiryo dulu saat masih bekerja.
Di usia
pensiunnya kini, Pak Wiryo hanya bisa merenung. Di dalam sakunya kini, hanya
ada receh dari barang dagangan yang laku di warngnya. Bahkan mungkin tidak
cukup untuk membeli sekarung beras. Tapi ia tetap menutup warungnya setiap
malam dengan rapi, menurunkan rolling door seperti biasa. Menata warung
sebelum ditutup, seolah besok dunia masih membutuhkan tenaganya.
Ketika duduk
di bangku di rumah, tatapan Pak Wiryo berat. Dia seperti ingin Kembali ke masa-masa
bekerja dulu. Ngonbrol dengan kawan sambil ngopi. Seakan menggiring ke bayangan
masa lalunya: tawa anak-anaknya yang kini telah menjauh, suara istrinya yang
memanggil dari dapur. Rumah kecil itu kini terasa lebih sunyi. Istri Pak Wiryo,
Bu Sarti terduduk duduk di dalam kamar, membungkus kakinya dengan selimut
tipis, sesekali batuk kecil yang kering.
Malam di kota
itu begitu dingin. Pak Wiryo duduk di serambi, menatap bulan yang setengah
tertutup awan. Dalam diamnya, ada pertanyaan yang selalu datang tapi tak pernah
dijawab:
"Untuk apa aku terus berjalan, ketika yang kutuju tak lagi ada?"
Pak Wiryo di
masa pensiun kini justru berjuang justru lebih keras dibandingkan saat masih
belerja. Ia menyesal karena tidak mempersiapkan masa pensiunnya sejak dulu. Tidak
punya tabungan untuk hari tua, sehingga terpaksa membuka warung untuk sekadar
memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, di samping mencari kesibukan di masa
pensiun. Sampai-sampai Pak Wiryo selalu berpesan kepada anak-anaknya yang sudah
bekerja.
“Jangan
lupa Nak, selalu siapkan masa pensiun. Nabung untuk hari tua. Jangan sampai di
hari tua seperti Bapak, tidak punya uang yang cukup untuk biaya hidup”
katanya.
Masa pensiun,
benar-benar seperti jalan yang sepi. Tidak ada lagi canda, tidak ada lagi
panggilan anak-anaknya. Semuanya sudah terlanjur, Pak Wiryo harus tetap
menjalani hari tuanya Bersama istri sambil membuka warung. Begitulah hidup, mungkin
cukup di waktu bekerja lalu kurang di saat pensiun.
Tapi Pak tetap
percaya, mungkin esok pagi ada satu-dua pembeli di warungnya yang datang. Satu hari
lagi untuk bertahan. Satu lagi alasan untuk tetap hidup dan menjalani masa
tuanya. Karena bagi Pak Wiryo, berhenti bukan pilihan. Hidup di hari tua, meski
sepahit apapun, harus diselesaikan dengan kepala tegak.
Di jalanan
yang kian sepi itu, Warung pak Wiryo tetap berdiri, — menunggu pembeli,
bertahan, dan melawan waktu yang terus bergulir. Ternyata kata Pak Wiryo, tidak
ada yang bisa menikmati hari tua bila tidak punya uang cukup di masa pensiun.
Ayo siapkan pensiun!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar