Di sebuah kota yang sibuk dan tidak jauh dari Jakarta, Nina
tinggal bersama ayahnya di rumah sederhana di tepi jalan. Ibunya sudah lama
tiada, dan sejak itu, ayahnya menjadi satu-satunya dunia Nina. Tapi dunia Ayah
perlahan mulai dipenuhi layar—ponsel, komputer, pekerjaan—sementara dunia Nina
dipenuhi halaman-halaman kosong yang ia ingin isi dengan cerita.
Setiap sore, Nina duduk di beranda rumah, memperhatikan anak-anak
lain berjalan beriringan menuju taman bacaan. Tawa mereka, cerita-cerita mereka
tentang naga, angkasa, dan negeri-negeri jauh selalu membuat Nina bermimpi.
Suatu hari, saat langit mulai berwarna oranye, Nina memberanikan
diri menghampiri Ayah yang sedang menunduk menatap layar.
"Yah..." suaranya ragu, hampir tenggelam di antara bunyi
notifikasi, "besok ada acara membaca buku di taman bacaan. Boleh aku
ikut?"
Ayah mendengus pendek.
"Besok Ayah lembur, Nak. Lagipula, sekarang kan bisa nonton
cerita lewat YouTube. Ngapain repot-repot baca buku?"
Nina diam. Ia tidak berdebat. Ia tahu, di dunia Ayah, mungkin
membaca sudah dianggap tua dan sia-sia. Tapi di dunia Nina, membaca adalah
pintu ke keajaiban yang belum pernah ia alami.
Malam itu, Nina mengambil buku kecil dari rak kayu reyot di ruang tamu—buku satu-satunya yang tersisa dari ibunya. Ia membaringkan diri di kasur tipisnya, berusaha mengeja perlahan meski lampu kamar redup. Matanya panas menahan tangis, tapi bibirnya tetap berbisik, merangkai kata-kata dengan susah payah. Setiap kata yang ia mengerti, terasa seperti menemukan bintang di langit gelap.
Beberapa hari kemudian, saat Ayah pulang larut, ia menemukan
sesuatu di kulkas—selembar kertas bergambar tangan. Di dalam gambar itu,
seorang ayah dan anak duduk di bawah pohon, dikelilingi tumpukan buku. Di sudut
gambar itu, dengan tulisan kecil Nina yang goyah, tertulis:
"Aku ingin membaca dunia, bersama
Ayah."
Ayah diam lama, ponsel di tangannya jatuh ke sofa. Ada rasa aneh
mengalir di dadanya—seperti sesuatu yang hilang perlahan, dan baru kini ia
sadari.
Malam itu, Ayah berdiri di ambang pintu kamar Nina. Ia melihat
anak kecilnya sudah tertidur, dengan sebuah buku terbuka di dadanya, dan sebuah
senyum tipis di wajahnya yang kelelahan. Ayah mendekat, mengusap rambut Nina
perlahan.
"Maaf, Nak," bisiknya, suaranya bergetar, "Ayah
terlalu sibuk untuk melihat duniamu."
----
Esok paginya, langit mendung dan jalanan masih basah sisa hujan
malam. Tapi Ayah sudah siap berdiri di depan pintu, memegang dua jas hujan
kecil dan satu payung besar.
"Nina," katanya sambil tersenyum kaku, "mau ke
taman bacaan bareng Ayah?"
Nina terdiam. Untuk sesaat, ia pikir ia sedang bermimpi. Tapi
ketika Ayah mengulurkan tangan, Nina segera berlari dan menggenggamnya erat. Di
sepanjang perjalanan, mereka bercerita—tentang buku, tentang mimpi, tentang
hal-hal kecil yang selama ini tak pernah mereka bicarakan.
Sesampai di taman bacaan, Nina memilih sebuah buku bergambar
tentang petualangan seorang anak perempuan yang berkelana ke negeri bintang. Ia
duduk di pangkuan ayahnya, membacakan setiap kalimat dengan suara bergetar,
sesekali salah mengeja, tapi tetap penuh semangat.
Ayah mendengarkan, matanya berkaca-kaca. Setiap kata yang keluar
dari mulut kecil Nina adalah musik paling indah yang pernah ia dengar. Dan di
bawah pohon tua yang menaungi taman bacaan itu, Ayah mengikatkan satu janji
baru di hatinya:
Bahwa dalam hidupnya yang singkat ini, ia
tidak akan pernah lagi melewatkan kesempatan untuk menemani anaknya membaca
dunia.
Karena ia tahu sekarang—membaca bukan sekadar mengisi waktu, tapi
mengisi jiwa. Sebuah janji di taman bacaan dari hati seorang ayah. Salam
literasi! @kisah di balik perjuangan TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak
Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar