Selasa, 30 April 2024

Literasi Hari Buruh

Bila datanya belum berunah, sekarang ini setidaknya ada 140-an juta buruh atau pekerja di Indonesia. Porsinya, 60% ada di sektor informal dan 40% di sektor formal. Saya juga masih jadi buruh. Bisa jadi, ratusan juta orang yang mudik atau pulang kampung saat lebaran pun statusnya buruh. Dan sebagian besar buruh hari ini, pasti merasakan dampak mahalnya sembako.

 

Negara atau pemerintah harus tahu. Kebijakan apapun yang dibuat pasti punya dampak terhadap buruh. Khususnya secara ekonomi, maka negara harus hati-hati. Janga nasal-asalan bikin regulasi bila akhirnya menambah sengsara kaum buruh. Negara harus tahu, buruh itu bekerja bukan untuk kaya atau mengumpulkan harta. Tapi bekerja untuk aktualisasi diri. Untuk memenuhi kebutuhan hidup dan menafkahi keluarganya. Hanya sesederhana itu buruh memandang pekerjaan.

 

Tiap tanggal 1 Mei yang diperingati sebagai Hari Buruh atau May Day, kenapa buruh selalu demo? Karena buruh punya problem atau masalah yang tidak kunjung diselesaikan. Karena hari ini, sekalipun katanya zaman sudah serba digital atau canggih, ratusan juta buruh di Indonesia masih tetap dihantui problematika yang klasik. Setidaknya problematika buruh di Indonesia yang krusial adalah:

1. 1. Masalah upah atau gaji yang masih terlalu kecil sehingga buruh gagal memenuhi kebutuhan dasarnya sendiri, sulit memenuhi kebutuhan sekolah anak apalagi keluarganya.

2.    2. Masalah status buruhnya yang dari dulu hingga hingga kini masih begitu-begitu saja.

3.    3. Masalah pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan hidup yang bukannya makin sejahtera malah makin bermasalah akibat biaya hidupn dan kebutuhan pokok yang kian mahal.

4.    4. Masalah pemutusan hubungan kerja (PHK) yang sering semena-menqa dilakukan pemberi kerja atau pengusaha.

5.    5. Masalah uang lembur dan tunjangan kesehatan yang tidak memadai sehingga membuat ekonomi buruh turun drastic bila anggota keluarganya sakit atau membutuhkan biaya kesehatan yang besar.

6.    6. Masalah hari tua atau pensiun yang sama sekali tidak punya kesiapan karena uapah atau gaji selalu habis untuk memenuhi biaya hidup. Maka wajar, 9 dari 10 buruh di Indonesia sama sekali tidak siap pensiun atau berhenti bekerja.

 


Atas masalah-masalah yang dihadapi buruh di atas, negara atau pemberi kerja sepatutnya tidak boleh bertindak semena-mena terhadap buruh. Bila belum mampu memperbaiki nasib atau menyejahterakan kaum buruh sebaiknya jangan membuat kebijakan yang menyusahkan buruh. Di mata buruh, tidak ada pekerjaan yang tetap atau permanen. Karena kapan pun, buruh nasibnya tergantung “majikan”. Bila terpaksa berhenti atau diberhentikan dari pekerjaan pun, buruh hanya bisa pasrah.

 

Apalagi di zaman digital begini, buruh makin pusing. Belanja via online makin gampang tapi gaji makin tidak cukup. Daya beli buruh makin kalang-kabut. Bekerja puluhan tahun tapi tetap tidak punya uang banyak. Kebutuhan hidup makin meningkat, sementara kesejahteraan tidak kunjung membaik. Sambil terus khawatir, bila seaktu-waktu di-PHK atau kantornya bangkrut. Harus diakui, buruh hari ini masalahnya kompleks, kondisinya pun memperihatinkan. Selamat Hari Buruh #HariBuruh #Mayday

Senin, 29 April 2024

Cerita Seorang Kawan di Taman Bacaan

Seorang kawan, berkeluh kesah. Karena hidupnya merasa enggan berganti episode. Selalu tidak cukup dan kurang. Selalu terkungkung dalam nestapa. Merasa lelah, lelah, dan lelah. Seakan tidak ada harapan lagi.

 

Katanya, dia ingin sekali bersedekah, yang tifak pernah pusing membagi penghasilan agar mencukupi kebutuhan. Dia ingin tiap akhir pekan punya aktivitas sosial di taman bacaan, berbuat yang manfaat kepada sesama. Dia ingin segala kebutuhannya terpenuhi. Dia ingin seperti orang-orang yang berkecukupan. Bisa nongkrong di kafe-kafe, pergi umroh, bahkan punya penghasilan yang memadai. 

 

Kawan itu terus-menerus berangan-angan. Sambil meratapi keadaannya. Rasa iri pun mendera jiwanya. Mulai membandingkan dirinya dengan kehidupan orang lain. Rasa yang menggerogoti rasa syukur. Tidak lagi ikhlas dalam hidupnya sendiri. Mendambakan hidup enak walau tidak tahu rahasianya.

 

Sang kawan lupa. Apapun bentuknya, siapapun orangnya. Bahwa dalam kelapangan atau kesempitan adalah ujian. Lapang bukan berarti selamat. Sempit bukan berarti tamat. Di situlah, pentingnya sikap ridho terhadap takdir Allah SWT. 

 

Tidak satupun manusia yang hidup tanpa masalah. Tidak ada pula manusia yang sempurna. Setiap masalah pastinya menjadi ujian keimanan. Agar bisa lolos melewati berbagai masalah. Agar mampu mengatasi godaan setan. Jadi, kenapa harus resah? Kenapa iri lalu dengki kepada orang lain? 

 


Apapun yang terjadi. Masalah, ujian, kekurangan bahkan kecukupan sekalipun hanya ujian. Sebagai bukti cinta Allah kepada hambany. Diberi sentilan, masalah, hingga anugerah yang melimpah. Lalu dipakai untuk apa sehingga menjadi lebih baik atau tidak? Maka apapun, hadapi dengan sabar, syukur dan ikhlas dalam segala hal.

 

Bersihkan hati, buang rasa iri apalagi benci dan dengki. Yakinlah Allah akan mencukupi sesuai porsi kita. Agar lebih ridho atas setiap takdir yang ditetapkan. Ridho yang berarti rela terhadap suatu hal atau keadaan. Untuk selalu ikhlas terhadap apa yang terjadi atau yang dialami. Karena "Barang siapa yang memenuhi hatinya dengan sikap ridho terhadap takdir, Allah pasti akan memenuhi dadanya dengan kecukupan, keamanan, dan qona'ah, serta Dia akan menjadikan hatinya fokus mencintai-Nya, bertaubat, dan tawakal kepada-Nya." (Ibnul Qoyyim RA).

 

Mulailah setiap hari, untuk lebih ridho terhadap segala keadaan. Bertindak dan bersikaplah bukan karena manusia. Tapi sebab Allah yang menguasai langit dan bumi. Untuk selalu menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih baik lagi. Tanpa perlu membandingkan diri dengan orang lain, apalagi menyusahkan orang lain. 

 

Hidup itu sederhana. Kerjakan yang baik dan bermanfaat. Apapun alasannya, di manapun tempatnya. Hingga Allah ridho kepada kita. Salam literasi #TamanBacaan #BacaBukanMaen #TBMLemteraPustaka

 

Minggu, 28 April 2024

Serunya Taman Bacaan di Bogor Pasca Idul Fitri, Geliat Literasi Terus Berkobar

Setelah lebaran atau Idul Fitri 2024, TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor menggelar beragam aktivitas seru dan menyenangkan di taman bacaan. Tujuannya sederhana, untuk menjaga komitmen dan konsistensi dalam berkegiatan di literasi dan taman bacaan. Demi tegaknya budaya membaca di kalangan anak-anak usia sekolah di kampung-kampung. Karena saat ini, TBM Lentera Pustaka telah menadi pilihan tempat membaca bagi anak-anak Desa Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya, Sukajadi di Kec. Tamansari (4 dari 8 desa di Kec. Tamansari, anak-anaknya menjadi pembaca aktif di TBM Lentera Pustaka).

 

Apa saja aktivitas TBM Lentera Pustaka setelah lebaran tahun 2024)?

Setelah libur lebaran, TBM Lentera Pustaka baru beroperasi kembali pada Minggu, 21 April 2024. Nah, beragam aktivitas seru dan menyenangakan diantaranya:

1.    Green Harmoni 2024 dalam rangka memperingati Hari Bumi oleh mahasiswa BEM Faperta IPB dengan melakukan penanaman pohon dan menggambar alam pada 21 April 2024 di Kebun Baca Lentera Pustaka.

2.    Pengajian bulanan Yatim dan Jompo Binaan sekaligus memberikan santunan bulanan yang dihadiri 12 anak yatim dan 14 ibu jompo pada Sabtu, 27 April 2024.

3.    Halal Bihalal TBM Lentera Pustaka sebagai sarana membersihkan hati dan saling bermaafan yang dihadiri 60 anak pembaca aktif dan 40 ibu orang tua pengantar pada 28 April 2024 pagi. Selain diberikan coklat, setiap anak dan ibu pun diberi kupon jajanan kampung gratis yang ada di depan TBM Lentera Pustaka.

4.    Aktivitas GErakan BERantas BUta aksaRA (GEBERBURA) yang diikuti 4 ibu buta aksara pada 28 April 2024 siang dan diajar 8 orang wali baca + relawan.

5.    Literasi Digital anak-anak TBM yang belajar komputer dan mengetik tugas sekolah sebagai bagian edukasi pentingnya literasi digital pada 28 April 2024 siang.

6.    MOtor BAca KEliling (MOBAKE) yang beroperasi ke Kp. Gadog Tengah Desa Sukajadi dan sekitar 20 anak usia sekolah yang membaca di lapangan bulutangkis pada 28 April 2024 sore.

7.    Rapat koordinasi wali baca dan relawan TBM Lentera Pustaka terkait agenda dan program 2 bulan ke depan (Mei-Juni 2024) diantaranya: Event Perpusnas RI, MNC Peduli, Bank Sinarmas, Chubb Life, BEM Faperta IPB, dan rencana soft opening KOPI LENTERA di awal Mei 2024. Rapat koordinasi dihadiri Susi, Zhia, Ai (Wali Baca) dan Resa, Farida, Fadil, Sabda, Rere, Andra (Relawan) dan Pendiri TBM Lentera Pustaka.

Beragam aktivitas seru menyiratkan TBM Lentera Pustaka bertekad menjadikan taman bacaan sebagai tempat yang asyik dan menyenangkan. Menjadi sentra permberdayaan Masyarakat, baik aktivitas membaca, diskusi, maupun nongkrong yang literat. Aktivitas seru di taman bacaan, menjadikan geliat literasi terus berkobar.





Untuk diketahui, sejak berdiri 7 tahun lalu, TBM Lentera Pustaka kini mengelola 15 program literasi yaitu 1) TABA (TAman BAcaan) dengan 130 anak pembaca aktif dari 4 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya, Sukajadi), 2) GEBERBURA (GErakan BERantas BUta aksaRA) dengan 9 warga belajar, 3) KEPRA (Kelas PRAsekolah) dengan 40 anak usia prasekolah, 4) YABI (YAtim BInaan) dengan 14 anak yatim yang disantuni dan 4 diantaranya dibeasiswai, 5) JOMBI (JOMpo BInaan) dengan 12 jompo usia lanjut, 6) TBM Ramah Difabel dengan 2 anak difabel, 7) KOPERASI LENTERA dengan 28 kaum ibu agar terhindar dari jeratan rentenir dan utang berbunga tinggi, 8) DonBuk (Donasi Buku), 9) RABU (RAjin menaBUng), 10) LITDIG (LITerasi DIGital) untuk mengenalkan cara internet sehat, 11) LITFIN (LITerasi FINansial), 12) LIDAB (LIterasi ADAb),  13) MOBAKE (MOtor BAca KEliling) yang sediakan akses bacaan di 3 kampung, 14) Rooftop Baca, dan 15) Berantas Buta Aksara Al Quran. Di dukung oleh 6 wali baca dan 12 relawan, TBM Lentera Pustaka kini beroperasi 6 hari dalam seminggu dan memiliki koleksi lebih dari 10.000 buku bacaan.

 

Ini jadi bukti, gerakan literasi dan taman bacaan memang harus terus bergerak. Salam literasi #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #BacaBukanMaen








Rabu, 24 April 2024

Literasi Umroh, Gimana Tau Mabrur atau Tidak?

Semua orang pasti ingin berhaji atau umroh. Melakukan perjalanan menuju rumah Allah, Ka’bah baitullah di Masjidil Haram Mekkah. Doa dan harapan sepulangnya, tentu ingin menhadi haji yang mabruru. Yaitu haji yang baik atau yang diterima oleh Allah SWT. Secara syar’i, mabrur berarti melaksanakn iandah haji atau umroh sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya, dengan memperhatikan berbagai syarat, rukun, dan wajib, serta menghindari hal-hal yang dilarang (muharramat). Semuanya dilakukan atas niat dan dorongan iman serta semata-mata hanya mengharap ridho Allah.


Lalu, gimana menilai ibadah haji atau umroh seseorang mabrur atau tidak? Jawabnya, tentu ada banyak literatur yang menjadi rujukan. Tapi dapat dismpulkan, bahwa ada 3 (tiga) ciri ibadah haji atau umroh yang mendapatkan predikat mabrur, yaitu 1) santun dalam bertutur kata (thayyibul kalam), 2) menebarkan kedamaian (ifsya’us salam), dan 3) memiliki kepedulian sosial untuk mengenyangkan orang lapar (ith’amut tha’am). Artinya, ibadah haji atau umroh yang mabrur tidak hanya berdampak positif terhadap kehidupan orang yang menjalankannya. Melainkan juga berdampak besar terhadap sisi sosial di lingkungannya berada.

 

Ada pula yang menyebut, mabrur atau tidak mabrurnya dalam berhaji atau umroh sangat dipengaruhi lima sifat atau tanda yang terkado pada orangnya. Yaitu 1) dilakukan secara ikhlas, tidak ada riya’, tidak ada sum’ah, 2) menggunakan harta yang halal, 3) dilakukan jauh dari maksiat, dosa, dan penyimpangan agama, 4) Atas dasar akhlak yang baik, dan 5) melakukan syiar dan menebar manfaatnya atas dasar ketundukan kepada Allah. Lebih tenang dan tidak tergesa-gesa saat berucap dan berbuat. Lebih sabar dan bersyukur dalam kesehariannya.

 


Wallahu a’lam, siapapun dan kita tidak pernah tahu mabrur atau tidaknya haji atau umroh seseorang. Tapi sejauh niat dan ikhitar yang dilakukan baik, plus ditambah doa yang dipanjatkan, insya Allah haji kita mabrur. Seperti yang saya dan anak saya jalankan bersama rombongan umroh syawal Alhijaz pada 14-23 April 2024 lalu. Selain menjalankan ibadah dan mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Rabbnya.” (QS. Al-Hajj: 30).

 

Siapapun saat berada di hadapan Ka’bah baitulllah, ada yang tersujud sambil menangis, sambil berlama-lama sujud. Atau hanya menempelkan telapak tangan atau mencium kiswah Ka’bah, siapapun tidak aada yang tahu. Karena hanya pribadi yang menjalankan haji/umroh an Allah SWT yang tahu. Saat terjadi dialog batin antara seorang hamba dan Allah SWT. Sebagai pengakuan atas dosa dan ssalahnya, di samping menyadari kekurangannya sebagai mahkluk Allah. Semuanya, untuk menjadikan diri lebih baik dari kondisi sebelumnya.

 

Dan semuanya dapat dibuktikan sepulan haji atau umroh, agar menjadi lebih santun dalam bertutur kata, lebih damai hati dan pikirannya, serta lebih peduli sosial kepada sesama. Dan pada akhirnya, “Tidak ada balasan (yang pantas diberikan) bagi haji mabrur kecuali surga.” (HR Bukhari). Salam literasi #CatatanUmroh #HajiMabrur #TBMLenteraPustaka



 

Sabtu, 13 April 2024

Literasi Seorang Musafir

Memang benar, kehidupan dunia ini hanya sebentar. Hanya sekadar melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Bahwa kita sedang melakukan perjalanan atau safar. Sebagai yang melakoni, kita sendiri hanya seoarang musafir. Tidak lebih tidak kurang. Karenanya, siapapun harus sadar. Dan jangan lalai mengingat “kita dalam perjalanan”. Seperti kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, “Manusia sejak diciptakan senantiasa menjadi musafir, batas akhir perhentian perjalanan mereka adalah surga atau neraka” (Al-Fawaid, hal. 400).

 

Patut direnungkan, mudik lebaran hari ini. Hanya sebuah perjalanan “pulang kampung”. Saat mudik, apa kita bisa membawa semua bekal untuk ke kampung? Apakah semua yang kita raih dan cari di perantauan bisa dibawa pulang ke kampung? Sama sekali tidak, hanya yang kita ingat dan mampu membawanya saja. Begitu pula perjalanan kita ke kampung akhirat. Tidak satu pun dari kekayaan dunia dan kemegahannya yang akan kita bawa. Harta, pangkat, bahkan jabatan sekalipun tidak sedikit pun bisa dibawa. Hanya amal kebaikan kita saja yang terbawa. Amal yang tidak terlihat (tidak ada bendanya) di dunia, di tempat merantau kita sekarang.

 

Besok, ketika manusia akan dibawa ke kubur dan masuk ke liang lahat. Semua akan mengikutinya, yaitu keluarga, harta, dan amalnya. Tapi keluarga dan harta akan kembali ke dunia dan ke tempatnya di perantauan. Tapi yang tetap mengikuti bersama si mayit hanya amalnya saja, hanya amal soleh yang menyertainya.

 

Maka kata Rasulullah SAW, “Apa peduliku dengan dunia? Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya” (HR. Tirmidzi no. 2551).

 

Namanya dalam perjalanan atau safar, pasti ada kesusahan dan ketidaknyamanan. Apalagi dalam perjalanan yang jauh lagi Panjang. Tidak mungkin kita hanya mengalami senang dan gembira terus-menerus. Pasti ada sedih dan duka. Ada manis ada pahit. Bahkan tidak sedikit yang dipakai untuk bermain-main dan senda gurau. Maka Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan, “Orang yang berakal akan tahu bahwa safar itu identik dengan kesusahan dan terpapar berbagai bahaya. Tempat di mana manusia berharap adanya nikmat, kelezatan dan kenyamanan hanya terjadi ada saat safar telah selesai” (Al-Fawaid hal. 400).

 


Semoga kita tidak lagi tertipu dunia. Tidak lagi dilalaikan oleh kehidupan dunia. Karena dunia hanya sementara. Jangan terlena dengan kehidupan dunia. Apalagi hanya untuk bermain-main dan bersenda-gurau serta saling berbangga-bangga saja. Lebih baik persiapkan bekal untuk pulang kampung akhirat. Karena akhirat adalah pemberhentian terakhir dan ruang kehidupan yang sesungguhnya. “Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini adalah kesenangan sementara. Dan sesungguhya akhirat itu adalah negeri tempat kembali” (QS. Ghafir: 39).

 

Berbagai literatur telah jelas menyebut. Bahwa dunia adalah “hukuman” bagi Nabi Adam dan Siti Hawa. Mumpung masih ada waktu, mulailah berbenah menjadi lebih baik. Hijrah untuk memperbaiki urusan akhirat, bukan semata-mata dunia. Sungguh, sebaik-baik waktu adalah saat kita menyadari kekurangan dan mengakui kerendahan. Agar kelak, kita termasuk orang-orang beruntung dan sukses. Yaitu dimasukkan ke surga dan dijauhkan dari neraka.

 

Alhamdulillah hari ini (14/4/2024), saya pun berniat melakukan perjalanan menuju rumah Allah SWT. Umroh syawal, sebagai cara untuk terus memperbaiki diri dan tetap bertekad menjadi baik di balik cerita buruk yang dibuat orang lain. Untuk menggapai ridho-Nya, meraih rahmat-Nya. Karena saya, bukan apa-apa dan bukan pula siapa-siapa. Literasi seoarang musafir, sadar dan mau memperbaiki diri.

 

Nawaitul 'umrota wa ahramtu bihi lillahi ta'ala. Saya berniat melaksanakan umroh dan berihram karena Allah Subhaanahu Wata'ala, amiin. Jadilah literat! #HikmahLebaran #CatatanIdulFitri #TBMLenteraPustaka

 


Literasi Lebaran, Momen Untuk Lebih Zuhud Terhadap Dunia

Bulan Syawal, sebagai tanda hadirnya Idul Fitri, adalah bulan peningkatan. Meningkat dalam amal ibadah setelah ditempa habis-habisan di bulan Ramadan, di samping kesalehan sosial. Sekaligus sedih “ditinggal” bulan Ramadan yang belum tentu bertemu lagi tahun depan. Sehingga Idul Fitri di bulan Syawal hasrunya tidak hanya identik dengan mudik, silaturahim, pakaian baru, makanan lezat, dan lainnya yang bersifat konsumtif. Tapi juga momen penting untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT dan meningkatkan kualitas ibadah.

 

Karenanya, Insya Allah besok Minggu sore (14 s.d 23 April 2024), saya bersama anak bungsu saya Farah G. Elsyarif menunaikan ibadah umroh ke tanah suci Mekah dan Madinah sebagai perjalanan mendekatkan diri pada Sang Khalik. Difasilitasi oleh AlHijaz Indowisata dengan Tour Leader Bagas Wirantoro dan muthowif Ustadz Muhammad Huraibi bersama 43 jamaah lainnya, Insya Allah “hijrah” melalui Dubai sebelum ke Madinah dan Mekah sebagai momen umroh awal Syawal untuk merenung dan memperbaiki diri dalam ibadah konkret kepada-Nya.

 

Selain menghadapkan diri pada kebesaran dan keagungan Allah SWT, umroh Syawal pun diniatkan menjadi ajang pembersihan diri dari dosa-dosa yang telah dilakukan plus mendidik hati menjadi lebih ikhlas dalam berbuat baik dan menebar manfaat kepada sesama.

 

Umroh kali ini memang bukan yang pertama. Tapi melalui umroh Syawal ini, saya berniat untuk belajar lebih zuhud terhadap dunia. Untuk menjalankan pola hidup yang menjaga diri dari pengaruh harta atau soal keduniaan. Untuk tidak terlalu sibuk terhadap hal-hal yang bersifat materi. Tapi lebih fokus pada urusan akhirat. Selain karena alasan usia, juga untuk menggapai ketenangan hati dan komitmen menebar manfaat kepada sesama, khususnya melalui kiprah sosial di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor.  Semoga umroh kali ini berjalan lancar, sehat dan mendapat ridho Allah SWT.

 


Dengan berzuhud, seperti memakai ihram dan melepas pakaian yang berjahit, berarti bersedia untuk menjuauhkan diri dari sifat iri, dengki, hasud, benci yang ada dalam tubuh ini. Untuk melangkah ke sifat-sifat Allah, seperti “rahman” dan “rahim”, penuh cinta dan kasih sayang atas nama kemanusiaaan. Agar lebih peduli kepada orang lain yang membutuhkan uluran tangan kita.

 

Umroh untuk lebih bersemangat dalam mencari akhriat. (At Tabshirah karya Ibnul Jauzi). Membesarkan asma Allah di Masjid Nabawi dan pintu raudhah (Madinah), serta menitikkan air mata syahdu kehambaan di Masjidil Haram dan Ka’bah (Mekah). Untuk menjalankan thawaf, sholat wajib dan sunnah, zikir, i’tikaf, dan memanjatkan doa terbaik keharibaan-Nya.

 

Karena saat ber-umroh, siapapun harus bersedia untuk menjauhkan diri dari kesibukan dunia. Untuk lebih banyak berhijrah menuju tempat yang lebih baik sambil merenung untuk selalu memperbaiki diri. Sehingga ibadah apapun, termasuk umroh dan puasa, sejatinya bukan sekadar rirual semata. Tapi mampu dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. 


Literasi lebaran menyiratkan. Untuk lebih zuhud terhadap dunia. Salam literasi #UmrohSyawal #TBMLenteraPustaka #HikmahLebaran



Jumat, 12 April 2024

Gimana Lebarannya Bu? Kisah Literasi di Momen Idul Fitri

Sore hari, tanggal 3 Syawal kemarin, saat bertemu dengan salah seorang ibu, warga belajar Gerakan BERantas Buta aksaRA (GEBERBURA) TBM Lentera Pustaka di Bogor, saya bersalaman dan berucap. Selamat Idul Fitri 1445 H dan mohon maaf lahir batin. Sambil sejenak ngobrol tentang suasana lebaran.

 

“Gimana Bu, lebarannya?” tanya saya.

Si ibu menjawab, “Yah, namanya lebaran di kampung begini aja Pak”. Katanya, tidak ada yang istimewa. Pakaian baru tidak ada, ketupat pun tidak ada. Hanya masak seperti makan sehari-hari. Justru malah susah karena tukang sayur yang keliling malah libur. Lebaran atau tidak lebaran sama saja. Tetap hidup prihatin (bila tidak mau disebut miskin) dan seadanya. Serba tidak mampu, namun tetap dijalani hari-harinya.   

“Saya sih Pak, asal masih bisa makan setiap hari saja, udah alhamdulillah. Lebaran nggak lebaran biasa saja. Tetap jadi orang tidak mampu” begitu kata si ibu.

 

Mendengar kata-kata si ibu, saya pun termenung. Mungkin si ibu hanya potret dari sebagian banyak orang-orang di kampung. Bahwa lebaran sama sekali tidak berdampak terhadap kehidupannya. Tetap susah dan sama saja. Tapi tetap mampu menjalaninya dengan pasrah, dengan apa adanya tanpa keluh-kesah. Saya pun membatin, “orang-orang seperti ibu ini mungkin sudah tidak perlu lagi belajar tentang arti sabar dan syukur”. Karena sudah jadi bagian dari “urat nadi” kehidupan sehari-harinya.

 

Sementara di luar sana, tidak sedikit orang yang hanya asyik mendongak memandang ke langit. Cemburu melihat apa yang tidak mampu dicapainya. Kita lupa menunduk ke bawah, merenungkan apa yang sudah bumi berikan. Lupa mensyukuri nikmat yang telah diperoleh dan dirasakan. Lalu berkeluh kesah, merasa tersisih secara ekonomi, dan lupa bersyukur. Kita sering gagal mensyukuri nikmat yang dikaruniakan Allah. Sehingga masih meminta lebih dari apa yang telah dimiliki. Sedangkan di kampung-kampung, masih banyak orang yang serba kekurangan. Tapi tetap sabar dan bersyukur pada rezeki yang tidak seberapa di mata kita.

 

Di momen lebaran, tidak sedikit orang yang merungut. Akibat tidak bisa bergaya dengan pakaian serba baru. Tapi si ibu di kampung yang buta aksara,, merasa sudah cukup bahagia dengan hidup seadanya. Tanpa pakaian baru, tanpa ketupat. Seolah - olah tidak ada gundah di hatinya, yang terlihat hanya riak wajah yang datar saja. Hari-harinya tanpa eufria lebaran atau hari raya. Hidupnya yang prihatin tela melahirkan ketenangan dan kesabaran dalam versi yang sederhana. Allah berfirman, “Sesungguh­nya jika kalian bersyukur (atas nikmat-Ku), pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian; dan jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih." (Surat Ibrahim: 7).

 


Momen lebaran selalu memberi pelajaran. Bahwa siapapun dianjurkan untuk “melihat ke bawah”, bukan mendengak ke atas. Agar selalu bersyukur dan bersuyukur atas karunia Allah SWT sehingga tetap bertindak di jalan-Nya. Bukan menempuh jalan yang sembrono. “Pandanglah orang yang berada dibawah kalian, jangan memandang yang ada di atas kalian, itu lebih baik membuat kalian tidak mengkufuri nikmat Allah” (HR. Muslim)

 

Bersyukurlah, karena semua yang ada dan dimiliki memang sudah pantas utuk kita. Bersyukur atas nikmat nafas yang dihela, nikmat mata yang bisa melihat, nikmat tangan yang bisa memegang, nikmat kaki yang bisa berjalan, nikmat pakaian yang leindungi badan, nikmat kendaraan yang memudahkan perjalanan, nikmat rumah untuk perlindungan. Berhentilah merungut dan mengeluh pada sesuatu yang tidak kita miliki. Mulailah menghitung nikmat yang lupa untuk disyukuri.

 

Begitulah kisah literasi di momen Idul Fitri kali ini. Sungguh, kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang sentiasa berasa cukup. Jadilah literat #HikmahLebaran #HikmahIdulFitri #TBMLenteraPustaka

Silaturahim Tidak Literat, Sempat-sempatnya Menilai Pakaian Orang

Saat lebaran kemarin, saya bersama dua orang teman pergi silaturahmi ke rumah Pak Ustaz, sang guru spiritual. Sekaligus ngobrool ringan tentang puasa dan idul fitri, bukan soal politik seperti khutbah sholat Ied di Yogya yang “ditinggal” jamaahnya. Setibanya kami di rumah Pak Ustaz, saya fokus memandangi foto-foto di ruang tamu, sambil bertanya ke Pak Ustaz, “Itu foto saat kapan Pak Ustaz?” ujar saya.

 

Bagaimana dengan teman saya? Tentu berbeda lagi. Tatapan matanya lebih ke arah Pak Ustaz. Entah, apa yang dilihat dan dipandangi. Seperti agak takjub gitu.   

 

Hingga suatu hari, teman saya yang satu bilang. Bahwa baju gamis Pak Ustaz yang dipakai kemarin itu terbuat dari tenun mahal, kualitasnya tinggi. Memang, teman saya bekerja di pasar pakaian. Jadi wajar, penilaiannya tertuju pada apa yang dikenakan Pak Ustaz.

 

Sementara teman yang satu lagi berbeda. Ia justru sempat-sempatnya memperhatikan cincin yang melingkari jari Pak Ustaz. Katanya, batu cincinnya dari jenis permata. Mahal banget itu batunya. Nah, teman saya yang satu ini memang hobi dengan batu permata dan perhiasan. Jadi wajar juga, mungkin karena dia paham soal batu-batu cincin.

 

Dari cerita di atas, kita bisa mengambil hikmahnya. Ada contoh tentang bagiamana orang-orang menilai orang lain. Bahwa seseorang akan mendapat penilaian yang berbeda dari tipa-tiap orang. Sudut pandangnya berbeda, cara menilainya berbeda. Tergantung siapa yang menilai dan kepada siapa dinilai?

 

Pesan utamanya adalah penilaian kita tentang apapun, mencerminkan diri kita sendiri. Sikap kit aitu menunjukkan kualitas diri kita sendiri. Apa yang jadi perhatian kita, itulah kita. Dan bagaimanapun penilaian kita maka itulah diri kita sendiri.

 


Orang baik pasti akan melihat dan mendapati orang lain yang baik-baiknya saja. Sebaliknya orang yang tidak baik pun fokusnya akan selalu tertuju pada keburukan orang lain. Begitulah hidup, ada orang yang sangat fokus pada keburukan orang lain. Ada pula yang hanya diam dan tidak berkomentar banyak. Terserah kita, mau bagaimana?

 

"When you judge another, you do not define them, you define yourself." Ketika kita menilai seseorang, sebenarnya kita bukan sedang menunjukkan siapa dia. Tapi justru menunjukkan siapa kita sebenarnya.

 

Maka di momen lebaran ini, jagalah prasangka baik kepada semua orang. Fokus pada yang baik-baik dan bermanfaat. Hingga kita lupa bagaimana caranya berburuk sangka? Hilangkan semua prasangka buruk dari benak kita. Karena prasangka buruk itu hanya menyakitkan diri sendiri.

 

Silarahim tidak literat, sempatnya-sempatnya ngomong pakaian Pak Ustaz. Tidak usah berkomentar yang hanya tahu sedikit saja. Tanpa tahu banyak yang sebenarnya. Maka jangan terburu-buru berprasangka buruk bila tidak mampu berprasangka baik. Salam literasi #HikmahLebaran #CatatanIdulFitri #TBMLenteraPustaka

Kamis, 11 April 2024

Literasi Idul Fitri, Tidak Ada Pesta di Dunia yang Tidak Berakhir

Sebulan penuh puasa telah usai. Sebulan malam bertarawih sudah selesai. Ditutup hari Idul Fitri, hari kemenangan pun terlaksana. Sebulan, semalam atau berapapun hanya soal jumlah. Tapi pasca ramadan dan lebaran, justru tantangan berat adalah merawat kualitas ibadah.  

 

Ketahuilah, hanya ada satu janji yang benar-benar terbukti. Yaitu perbaiki ibadahmu, maka Allah perbaiki hidupmu. Maka esok, apakah kaulitas ibadah kita menjadi lebih baik atau tidak? Atau tetap sama saja seperti sebelum ramadan? Berarti puasa dan ramadan hanya euforia belaka.

 

Bertanyalah, hari ini kita sedang mencintai apa? Cinta dunia atau akhirat? Cinta kepada orang atau kepada Allah SWT? Perbaikilah rasa cinta itu, kepada siapa dan untuk apa? Lihatlah dunia itu setelah kematian orang lain. Bagaimana seorang pecinta melupakan sosok-sosok yang dicintainya setelah meninggal dunia. Saat itu kita akan yakin bahwa sosok yang paling kita cintai akan melupakan kita setelah kematian kita. Dia akan tersibukkan dengan dunianya sendiri.

 

Maka hikmah puasa dan lebaran, perbaiki kualitas ibadah kita. Jadikan hidup kita seluruhnya untuk Allah. Sebab Allah-lah satu-satunya yang tidak akan pernah melupakan. Segera perbaiki kualitas hubungan dengan Allah menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.

 

Ketahuilah, kualitas kita dinilai dari perbuatan. Bukan dari omongan atau kata-kata. Wajah yang elok, kekayaan yang berlimpah, dan jabatan tinggi tidak sedikit pun menambah kemuliaan seseorang di mata Allah. Ketenangan hati seseorang pun bergantung pada amal perbuatannya. Maka perbaiki kualitas ibadah kita dan tetaplah berbuat baik di mana pun.

 


Di luar sana, ada sebagian orang yang tetap bersikap baik kepada siapapun, dalam keadaan apapun, bahkan kepada orang yang telah menyakitinya. Ada lagi sebagian orang yang bisa menahan amarahnya, dan menggantikannya dengan senyuman untuk melegakan hati. Ada sebagian orang yang lain senantiasa bersabar dan pandai bersyukur serta ikhlas menerima ketetapan Allah. Ada pula sebagian orang yang bisa menolong sesama, membantu melakukan hal-hal kecil yang ternyata kesannya sangat besar. Dan ada kok sebagian orang yang menjadi perantara rezeki bagi orang lain yang lebih memerlukan.  Begitulah kualiatas ibadah yang semakin baik.

 

Dan saat kita memperbaiki kualitas ibadah, pasti saja ada godaan dan tangangannya. Bahkan risikonya besar di mata orang-orang yang cinta dunia atyau pembenci. Jangan khawatir, jauhi orang-orang yang berpikir buruk. Hindari pergaulan dengan mereka dan jaga jarak saja. Toh, mereka tidak berkontribusi atas kebaikan dan kualitas ibadah kita. Karena itu, cukup fokus pada memperbaiki kualitas ibadah kita. Berbuat baik dan menebar manfaat kepada sesama. Kelak, Allah menabur berkah-Nya dan senantiasa memotivasi untuk selalu berbuat baik. Sampai tidak ada lagi alasan seseorang untuk tidak berbuat baik.

 

Tekadkan dalam hati dan tindakan setelah puasa, untuk memperbaiki kualitas ibadah kepada-Nya. Karena hanya ada satu janji di dunia ini yang benar-benar terbukti. Yaitu perbaiki ibdahmu, maka Allah perbaiki hidupmu. Dan Allah berfirman, "Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah Berbuat baik kepadamu” (QS. Al-Qashas : 77).

 

Literasi Idul Fitri menegaskan, tidak ada pesta di dunia yang tidak akan berakhir. Maka rawat kualitas ibadah maka hidup akan berkah. Salam literasi #HikmahLebaran #CatatanLebaran #TBMLenteraPustaka