Nanti malam, Kamis 24 September 2020 melalui zoom, saya akan berbagi kisah tentang upaya “Memutus Mata Rantai Putus Sekolah” di kalangan profesional dunia asuransi jiwa. Saya menyebutnya kawan-kawan lama yang peduli sosial.
Bahkan
di masa Covid-19 ini, bukan tidak mungkin angka anak “putus sekolah” bertambah.
Akibat PJJ yang sulit dikontrol oleh sistem, tidak adanya kontrol partisipasi
sekolah yang ketat, keterbatasan infrastruktur pendidikan. Apalagi anak-anak di
pelosok kampung yang keluarganya jelas-jelas mengalami “kesulitan ekonomi, seperti
yang ada di wilayah TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor.
Faktanya, tahun 2019 saja yang
keadaannya normal, dilansir Data Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
(TNP2K), ada 4,5 juta anak Indonesia yang putus sekolah (https://mediaindonesia.com/read/detail/321026-angka-putus-sekolah-selama-pandemi-harus-diantisipasi-pemerintah).
Itu sekitar 6% dari seluruh usia anak
sekolah di Indoesia yang mencapai 53 juta. Sebabnya klasik, putus sekolah itu
terjadi akibat “kemampuan ekonomi keluarga”, tidak punya biaya untuk sekolah dan
aktivitas terkaitnya. Bahkan di sinyalir, separuh anak putus sekolah tersebut berada di provinsi Jawa Barat, Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Mungkin karena memang jumlah penduduk dan anak usia
sekolah tergolong besar di wilayah tersebut.
Nah khusus di daerah TBM Lentera Pustaka di Desa Sukaluyu di Kaki
Gunung Salak.
Data yang saya peroleh, tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya 81,9%
hanya SD, SMP 8,9%, dan tamat SMA 8,3%.
Satu desa
diperkirakan ada sekitar 3.100-an anak usia sekolah. Tentu dari berbagai
jenjang usia. Sementara mata pencaharian utama masyarakatnya sebesar 71,2% tidak memiliki
penghasilan tetap atau tidak bekerja. Tergolong prasejahtera. Apalagi fasilitas perpustakaan
atau taman bacaan yang menyediakan akses untuk anak-anak tidak ada sebelumnya. Lalu,
akan seperti apa anak-anak usia sekolah ke depannya?
Maka atas
dasar upaya memutus mata rantai putus sekolah itulah, TBM Lentera Pustaka hadir
di Kampung Warung Loa Desa Sukaluyu di Kaki Gunung Salak. Agar anak-anak usia sekolah
punya “akses buku bacaan” yang dapat memperkaya pengetahuan dan Pentingnya kesadaran
untuk tetap sekolah. Taman bacaan untuk mengubah “cara pandang” anak akan pentingnya
sekolah. Jangan sampai berhenti sekolah di era yang katanya serba digital atau
revolusi industri 4.0 itu.
Jujur saja,
menurut saya, bicara membangun tradisi “masyarakat literat’ dengan realitas
yang ada seperti sekarang. Mohon maaf, mungkin hanya isapan jempol. Masih ada
persoalan mendasar di kalangan anak-anak usia sekolah. Soal keberlangsungan
sekolah mereka. Belum lagi soal kaum buta huruf yang relatif terpinggirkan,
yang belum “dilirik” sama sekali ileh kaum “berada dan mampu”.
Banyak
orang prihatin terhadap anak yang putus sekolah, lalu mengelus dada. Banyak
orang pula gelisah secara sosial melihat anak-anak yang nongkrong di pinggir
jalan padahal harusnya sekolah. Itu tanda angka putus sekolah masih “menghantui”
anak-anak Indonesia.
Di
TBM lentera Pustaka, membangun tradisi memmbaca buku anak-anak usia sekolah.
Sungguh hanya “jembatan” menuju target besar agar “tidak ada lagi anak putus sekolah”.
Itulah yang akan saya bagi kisahnya nanti malam. Tentang memutus mata rantai
putus sekolah melalui TBM Lentera Pustaka, Gerakan BERantas BUta aksaRA
(GEBERBURA) Lentera Pustaka, dan pengajian bulanan anak-anak yatim binaan
Lentera Pustaka. Agar tidak ada lagi anak putus sekolah.
Ada anggapan. Putus sekolah katanya sebab
kemiskinan. Pun kemiskinan jadi sebab putus sekolah. Di kepala siapapun,
diskusi dan perdebatan itu tidak akan pernah tuntas. Manakala kita tidak
melakukan “aksi nyata” untuk memutus mata rantai putus sekolah … Salam literasi #TBMLenteraPustaka #GeberBura #TamanBacaan
#BudayaLiterasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar