Mendhoan, siapa yang tidak tahu?
Mendhoan itu hidangan lezat terbuat dari
tempe. Mendhoan paling asyik jadi “teman ngobrol” apalagi disajikan dengan
secangkir kopi atau teh. Saking nikmatnya, obrolan pun bisa ngalor-ngidul.
Segala rupa diobrolin. Mendhoan makin berkesan bila disantap dengan sambal
kecap atau cabe rawit. Apalagi sambil traveling ke daerah aslinya tempe mendhoan
di Purwokerto, Banyumas dan sekitarnya.
Sebagai penikmat mendhoan, saya pun
berpikir. Apa sih nilai-nilai yang bisa diperoleh dari tempe mendhoan selain untuk
disantap. Maka saya menyebutnya, filosofi mendhoan. Ternyata, mendhoan dapat
diartikan sebagai prinsip untuk "selalu berjiwa muda". Ada yang
bilang tempe mendhoan itu belum matang. Karena belum matang itu berarti bersedia
siap untuk matang, menuju kematangan. Bila matang diartikan sudah tua dan sudah
sampai waktunya untuk dipetik, dimakan seperti buah-buahan. Maka mendhoan
bermakna selalu bersemangat dalam melakukan sesuatu. Sehingga nantinya. Setiap
perbuatan dan karya dapat dinikmati dan dipetik. Untuk diri sendiri maupun
orang lain.
Mendhoan. Konon katanya secara etimologis
berasal dari kata, ‘mendho’ yang berarti “di antara kata mendhak (ke bawah) dan
mendhuwur (ke atas)". Mendho memiliki definisi “tanggung”, yaitu tidak ke
bawah pun tidak ke atas. Mendhoan itu tanggung. Karena kalau sampai kering,
namanya jadi keripik tempe. Tapi bila terlalu basah pun namanya jadi oncom atau
apa. Jadi secara filosofis, manusia sejatinya perlu menata diri dan hati-hati.
Jangan sampai terlalu ke atas dan jangan terlalu ke bawah; yang pas-pas saja.
Agar tidak mudah terjatuh, agar tidak terlena dalam kehidupan duniawi yang
sementara.
Mendhoan hakikatnya mengandung filosofi
yang berguna bagi pelajaran hidup manusia. Sebut saja, filosofi mendhoan.
Karena dalam bahasa jawa kuno "Mendho" berarti mentah. Lalu mendapat
akhiran "an". Jadilah mendhoan yang berarti mentahan atau belum
matang. Maka, hidup pun selalu berjiwa muda dan jangan terlalu cepat puas sebelum
mampu menebar manfaat dan kebaikan kepada orang lain.
Meskipun mendhoan itu enak dan nikmat
rasanya. Namun ada nasehat kehidupan di dalam mendhoan. Agar manusia tidak
terbuai dalam kenikmatan dunia saja. Pasalnya ada hal lain yang harus berani
dilakukan, yaitu berjalan ‘mendhuwur’' alias ke atas. Selalu ada perjalanan ke
atas yang lebih berat. Berjalan ke depan yang banyak tantangan. Bukan pula
harus ke bawah (mendhak) hingga terlena dan terjatuh. Saat di atas harus tetap
eling, ingat. Saat di bawah harus tetap berjuang dan ikhtiar lan sabar.
Filosofi
mendhoan pun sangat erat kaitannya dengan taman bacaan.
Karena di
taman bacaan, mengubah perilaku anak-anak yang terbiasa main menjadi “dekat”
dengan buku tidaklah semudah membalik telapak tangan. Bukan hanya tekad kuat,
keberanian, dan komitmen. Tapi jauh lebih dari itu, sungguh butuh kesabaran dan
kemampuan khusus untuk meyakinkan masyarakat dan anak-anak untuk mau membaca
secara rutin di taman bacaan.
Sungguh, membangun
tradisi baca dan budaya literasi di tengah gempuran era digital sama sekali
tidak semudah yang diseminarkan atau didiskusikan banyak orang. Karena tradisi
baca dan budaya literasi tidak bisa sebatas niat baik. Tapi harus aksi nyata
dan terjun ke lapangan.
Seperti
filosofi mendhoan, mengelola taman bacaan itu harus punya modal “semangat
berjiwa muda, pantang menyerah”. Plus harus hati-hati alias pas-pas saja, tidak
terlalu ke atas (sombong) atau terlalu ke bawah (pesimis).
Perjuangan
tidak kenal lelah dalam menebar virus membaca di kalangan anakkanak usia
sekolah yang terancam putus sekolah, itulah yang saya lakukan di TBM Lentera
Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor. Sejak tahun 2017 didirikan, Taman Bacaan Masyarakat
Lentera Pustaka telah mengubah anak-anak kampung yang semula polos, pemalu dan
cenderung sulit berinteraksi dengan orang “dari luar”. Kini berubah menjadi
anak-anak yang terbiasa membaca rutin 3 kali seminggu. Bahkan bisa
“menghabiskan” 5-8 buku per minggu per anak Sebuah perilaku dan budaya
anak-anak yang tadinya “jauh” dari buku, kini menjadi lebih “dekat” pada buku
dalam kesehariannya.
Taman bacaan Lentera
Pustaka hadir semata-mata untuk menekan angka putus sekolah. Karena anak-anak
di Desa Sukaluyu di Kaki Gunung Salak, 81% tingkat pendidikannya hanya SD dan
9% SMP. Itu berarti, angka putus sekolah masih tergolong sangat tinggi. Mungkin
karena persoalan ekonomi alias kemiskinan. Maka dengan modal seadanya, dari
garasi rumah kemudian diubah menjadi rak-tak buku bacaan. Bahkan dengan
mengusung konsep “TBM Edutainment”, kini TBM Lentera Pustaka tumbuh menjadi
taman bacaan yang kreatif dan menyenangkan. Tandanya adalah 1) program taman
bacaan berjalan dengan intensif dan rutin, 2) jumlah anak pembaca aktif
mencapai 60-an anak, 3) mendapat dukungan dari masyarakat sekitar, 4) menjalakan
program berantas buta aksara, 5) memiliki koleksi buku lebih dari 3.800, 6)
selalu ada donatur buku bacaan, 7) ada dukungan relawan yang membimbing dan
mengajar setiap bulan, dan 8) seluruh biaya operasional dan program taman
bacaan disponsori oleh 3 CSR korporasi (AJ Tugu Mandiri, Bank Sinarmas, dan
Asosiasi DPLK).
Perjuangan
tidak kenal Lelah, memang harus jadi spirit taman bacaan.
Karena buku bacaan
diharapkan bisa mengubah mind set akan pentingnya sekolah dan
belajar. Agar angka putus sekolah bisa ditekan. Maka taman bacaan harus dikelola
dengan efektif dan partisipatif. Taman bacaan yang mampu mengerahkan kerativitas dan kolaborasi agar
tetap bertahan, mampu survive sekalipun terpinggirkan dari perhatian banyak
orang.
Berbekal filosofi mendhoan. Taman bacaan
di mana pun menjadi simbol. Bahwa alangkah mulia apabila kehidupan dijalankan
dengan rasa kepedulian untuk sesama. Dan semuanya harus dihadapi dengan penuh
tanggung jawab tanpa melakukan tindakan endho ataupun menghindar dari realitas.
Karena di taman bacaan, siapapun yang menggerakkan tidak cukup dengan tekad. Tapi membutuhkan hati untuk tetap bertahan di jalan kepedulian.
Salam literasi #FilosofiMendhoan #TamanBacaan
#TBMLenteraPustaka #GerakanLiterasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar