Jumat, 11 September 2020

Literasi Menurut Pendiri Taman Bacaan Lentera Pustaka

Faktanya, literasi masih banyak belum dipahami banyak orang. Literasi, memang sering disebut dalam berbagai diskusi dan seminar. Namun dalam realisasinya, praktik baik literasi belum banyak dilakukan. Atas alasan itu pula, Indonesia disinyalir memiliki tingkat literasi yang belum memadai atau tergolong masih rendah.

 

Salah satu bukti rendahnya tingkat literasi di Indonesia (Litbang Kemdikbud, 2019) adalah angka rata-rata Indeks Alibaca Nasional berada di angka 37,32. Indeks aktivitas literasi yang tergolong rendah. Indeks kumulatif dari 1) dimensi kecakapan 75,92, 2) dimensi akses 23,09, 3) dimensi alternatif 40,49, dan 4) dimensi budaya 28,50.

 

Adalah Central Connecticut State University yang merilis “The World Most Literate Nation Study” (2016) atau  studi bangsa-bangsa paling literat di dunia. Hasilnya, Indonesia berada pada posisi ke-60 dari 61 negara, hanya di atas Botswana. Untuk kawasan ASEAN, posisi Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, dan Thailand. Ditambah lagi laporan Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2018 yang dilakukan The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) menempatkan posisi Indonesia di peringkat 72 dari 77 negara. Skor kemampuan siswa Indonesia dalam membaca 371 (di bawah rata-rata OECD 487), untuk matematika 379 ( di bawah rata-rata OECD 487), dan untuk sains 389 (di bawah rata-rata OECD 489).

 

Lagi-lagi, laporan “Skills Matter” OECD (2016) melalui tes PIAAC pun menyatakan tingkat literasi orang dewasa Indonesia berada pada posisi terendah dari 40 negara. Hanya 1% orang dewasa yang memiliki tingkat literasi yang memadai; yang dapat mengintegrasikan, menafsirkan, dan mensintesis informasi dari teks yang panjang. Lalu, hanya 5,4% orang dewasa yang dapat menemukan makna informasi dari teks yang panjang. Mungkin, beragam studi itu relevan dengan data UNESCO yang menyebut posisi membaca Indonesia 0,001%. Atau hanya ada 1 dari 1.000 orang Indonesia yang gemar membaca. Tentu, validitas data dan studi itu dapat diperdebatkan. Tapi buat saya yang penting, data itu harusnya menjadi sinyal bangsa Indonesia untuk memperbaiki diri dalam hal tingkat literasi. Agar ke depan, kondisi literasi orang Indonesia bisa terus meningkat.

 

 

Ironisnya, Indonesia ini negara dengan terbanyak ke-5 di dunia, mencapai 272 juta orang. Riset We Are Social bertajuk "Global Digital Reports 2020" menyebut 64% penduduk Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet. Anggka pengguna internet menakjubkan, sudah mencapai 175,4 juta orang. Waktu berselancar di dunia maya rata-rata orang Indonesai selama 7 jam 59 menit per hari, sementara rata-rata global hanya 6 jam 43 menit di internet per harinya. Maka tidak heran, orang Indonesia masuk “kaum paling cerewet di media sosial”, berada di urutan ke 5 dunia, melebihi Tokyo dan New York sekalipun.

 


Nah, jadi apa itu literasi?

Sejatinya, literasi selalu berevolusi sesuai dengan tantangan zaman. Dulu, literasi diartikan sebatas kemampuan membaca dan menulis. Tapi kini, literasi sudah mengalami perluasan makna menyangkut “kecakapan hidup” dalam berbagai sektor kehidupan manusia. Literasi yang merambah pada praktik pendidikan, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi.

 

Para ahli, seperti Sulzby (1986) menyebut literasi sebagai kemampuan berbahasa dalam berkomunikasi seperti membaca, menyimak, berbicara, dan menulis dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya. Graff (2006) pun memaknakan literasi sebagai kemampuan untuk menulis dan membaca. Dalam kamus online Merriam – Webster, literasi didefinisikan kemampuan atau kualitas melek aksara. Sementara UNESCO menyatakan literasi sebagai keterampilan dalam membaca dan menulis.

Tapi kini yang paling tepat, menurut Education Development Center (EDC), literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya, lebih dari sekadar kemampuan baca tulis.

 

Maka menurut saya, literasi adalah kesadaran untuk belajar dan memahami realitas untuk mentransformasikan pikiran ke dalam perilaku nyata yang lebih baik. Maka kata kunci literasi, harus ada kesadaran belajar – memahami realitas yang ada – transformasi ke dalam perilaku sehari-hari. Hal ini sejalan dengan istilah literasi dalam bahasa latin “literatus”, yang berarti orang yang belajar.

 

Dalam konteks era digital dan revolusi industri 4.0, mau tidak mau, literasi harus bertumpu pada 5 (lima) perilaku yaitu: 1) memahami, 2) melibatkan, 3) menggunakan, 4) menganalisis, dan 5) mentransformasi teks. Jadi dengan tegas, literasi pastinya merujuk pada “kompetensi dan kecakapan” seseorang dalam menyeimbangkan pikiran dan perilaku, mampu adapatsi terhadap perubahan, dan terpenting mampu memecahkan masalah dalam realitas kehidupan sehari-hari. Sangat jelas, literasi lebih dari sekadar kemampuan membaca dan menulis.

 

Seseorang dapat disebut literat, bila memiliki kompetensi dan kecakapan hidup yang mumpuni. Orang yang berdaya dan memberdayakan atas dasar kesadaran belajar, kemampuan memahami realitas, dan mampu mentransformasikan pikiran ke dalam perilaku sehari-hari. Hidupnya adaptif, kontibusinya positif, dan manfaatnya solutif.

 

Gerakan literasi adalah spirit abad 21. Itu pula yang jadi sebab lahirnya Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai implementasi PP Mendikbud No. 23/ 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Maka agar menjadi bangsa yang unggul di tengah arus globalisasi dan revolusi industri 4.0, ada 3 (tiga) fokus dan poros pendidikan nasional Indonesia, yaitu: 1) literasi dasar, 2) kompetensi, dan 3) kualitas karakter.


Literasi dasar sebagai poros pendidikan mencakup 6 (enam) hal, yaitu; 1) literasi baca-tulis, 2) literasi numerasi, 3) literasi sains, 4) literasi digital, 5) literasi finansial, dan 6) literasi budaya dan kewargaan. Berbekal literasi dasar itulah diharapkan terbentuk 4 (empat) kompetensi pendidikan yang mencakup 1) kemampuan berpikir kritis, 2) kreativitas, 3) komunikasi, dan 4) kolaborasi. Ujungnya, puncak kecakapan literasi dasar dan kompetensi akan bermuara pada  kualitas karakter pendidikan Indonesia yang 1) religius, 2) nasionalis, 3) mandiri, 4) gotong royong, dan 5) integritas. Memang kesannya terlalu ideal. Tapi skrenario itulah yang diharapkan dari gerakan literasi nasional. Persoalannya, tinggal di implemenasi saja.

 

Akhirnya, literasi adalah perbuatan alias perilaku. Jangan biarkan literasi hanya besar di ruang-ruang seminar atau pikiran semata. Tanpa ada implementasi atau aksi nyata. Maka semua pihak, siapapun, harus peduli dan ikut aktif dalam menggerakan aktivitas literasi di manapun. Untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan.

 

Karena di tengah gempuran era digital dan rongrongan gaya hidup. Mau tidak mau, hanya tingkat literasi yang mampu menumbuhkan daya kreatif, daya tahan, dan daya saing masyarakat menjadi lebih baik. Menuju peradaban dan kehidupan masyarakat yang lebih cerdas dan berkualitas.  

 

Sungguh, masa depan bangsa Indonesia ada pada tingkat literasi masyarakatnya.  Salam literasi. #GerakanLiterasi #BudayaLiterasi #PegiatLiterasi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar