Faktanya, literasi masih banyak
belum dipahami banyak orang. Literasi, memang sering disebut dalam berbagai
diskusi dan seminar. Namun dalam realisasinya, praktik baik literasi belum banyak
dilakukan. Atas alasan itu pula, Indonesia disinyalir memiliki tingkat literasi
yang belum memadai atau tergolong masih rendah.
Salah satu
bukti rendahnya tingkat literasi di Indonesia (Litbang Kemdikbud, 2019) adalah angka
rata-rata Indeks Alibaca Nasional berada di angka 37,32. Indeks aktivitas
literasi yang tergolong rendah. Indeks kumulatif dari 1) dimensi kecakapan 75,92,
2) dimensi akses 23,09, 3) dimensi alternatif 40,49, dan 4) dimensi budaya 28,50.
Adalah Central Connecticut State
University yang merilis “The World Most Literate Nation Study” (2016) atau studi bangsa-bangsa paling literat di dunia.
Hasilnya, Indonesia berada pada posisi ke-60 dari 61 negara, hanya di atas
Botswana. Untuk kawasan ASEAN, posisi Indonesia berada di bawah Singapura,
Malaysia, dan Thailand. Ditambah lagi laporan Programme for International Student
Assessment (PISA) tahun 2018 yang dilakukan The Organization for Economic
Co-operation and Development (OECD) menempatkan posisi Indonesia di peringkat
72 dari 77 negara. Skor
kemampuan siswa Indonesia dalam membaca 371 (di bawah rata-rata OECD 487), untuk
matematika 379 ( di bawah rata-rata OECD 487), dan untuk sains 389 (di bawah rata-rata
OECD 489).
Lagi-lagi, laporan “Skills Matter” OECD
(2016) melalui tes PIAAC pun menyatakan tingkat literasi orang dewasa
Indonesia berada pada posisi terendah dari 40 negara. Hanya 1% orang
dewasa yang memiliki tingkat literasi yang memadai; yang dapat
mengintegrasikan, menafsirkan, dan mensintesis informasi dari teks yang
panjang. Lalu, hanya 5,4% orang dewasa yang dapat menemukan makna informasi
dari teks yang panjang. Mungkin, beragam studi itu relevan dengan data UNESCO yang menyebut
posisi membaca Indonesia 0,001%. Atau hanya ada 1 dari 1.000 orang Indonesia
yang gemar membaca. Tentu, validitas data dan studi itu dapat diperdebatkan. Tapi
buat saya yang penting, data itu harusnya menjadi sinyal bangsa Indonesia untuk
memperbaiki diri dalam hal tingkat literasi. Agar ke depan, kondisi literasi orang
Indonesia bisa terus meningkat.
Ironisnya, Indonesia ini negara dengan terbanyak
ke-5 di dunia, mencapai 272 juta orang. Riset We Are
Social bertajuk "Global Digital Reports 2020" menyebut 64% penduduk
Indonesia sudah terkoneksi dengan jaringan internet. Anggka pengguna internet
menakjubkan, sudah mencapai 175,4 juta orang. Waktu berselancar di dunia maya
rata-rata orang Indonesai selama 7 jam 59 menit per hari, sementara rata-rata
global hanya 6 jam 43 menit di internet per harinya. Maka tidak
heran, orang Indonesia masuk “kaum paling cerewet di media sosial”, berada di
urutan ke 5 dunia, melebihi Tokyo dan New York sekalipun.
Nah, jadi apa itu literasi?
Sejatinya, literasi selalu
berevolusi sesuai dengan tantangan zaman. Dulu, literasi diartikan sebatas
kemampuan membaca dan menulis. Tapi kini, literasi sudah mengalami perluasan
makna menyangkut “kecakapan hidup” dalam berbagai sektor kehidupan manusia.
Literasi yang merambah pada praktik pendidikan, ideologi, politik, ekonomi, sosial,
budaya, dan teknologi.
Para ahli,
seperti Sulzby (1986) menyebut literasi sebagai
kemampuan berbahasa dalam berkomunikasi seperti membaca, menyimak, berbicara,
dan menulis dengan cara yang berbeda sesuai dengan tujuannya. Graff (2006) pun
memaknakan literasi sebagai kemampuan untuk menulis dan membaca. Dalam kamus online
Merriam – Webster, literasi didefinisikan kemampuan atau kualitas melek aksara.
Sementara UNESCO menyatakan literasi sebagai keterampilan dalam membaca dan
menulis.
Tapi kini yang paling tepat, menurut Education
Development Center (EDC), literasi adalah kemampuan individu untuk menggunakan
segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam hidupnya, lebih dari sekadar
kemampuan baca tulis.
Maka menurut saya, literasi adalah kesadaran untuk
belajar dan memahami realitas untuk mentransformasikan pikiran ke dalam
perilaku nyata yang lebih baik. Maka kata kunci literasi, harus ada kesadaran
belajar – memahami realitas yang ada – transformasi ke dalam perilaku
sehari-hari. Hal ini sejalan dengan istilah literasi dalam bahasa latin
“literatus”, yang berarti orang yang belajar.
Dalam konteks era digital dan revolusi industri 4.0, mau tidak mau, literasi
harus bertumpu pada 5 (lima) perilaku yaitu: 1) memahami, 2) melibatkan, 3) menggunakan,
4) menganalisis, dan 5) mentransformasi teks. Jadi dengan tegas, literasi
pastinya merujuk pada “kompetensi dan kecakapan” seseorang dalam menyeimbangkan
pikiran dan perilaku, mampu adapatsi terhadap perubahan, dan terpenting mampu
memecahkan masalah dalam realitas kehidupan sehari-hari. Sangat jelas, literasi
lebih dari sekadar kemampuan membaca dan menulis.
Seseorang dapat disebut literat, bila memiliki
kompetensi dan kecakapan hidup yang mumpuni. Orang yang berdaya dan
memberdayakan atas dasar kesadaran
belajar, kemampuan memahami realitas, dan mampu mentransformasikan pikiran ke
dalam perilaku sehari-hari. Hidupnya adaptif, kontibusinya positif, dan
manfaatnya solutif.
Gerakan literasi adalah
spirit abad 21. Itu pula yang jadi sebab lahirnya Gerakan Literasi Nasional
(GLN) sebagai implementasi PP Mendikbud No. 23/ 2015 tentang Penumbuhan Budi
Pekerti. Maka agar menjadi bangsa yang unggul di tengah arus globalisasi
dan revolusi industri 4.0, ada 3 (tiga) fokus dan poros pendidikan nasional
Indonesia, yaitu: 1) literasi dasar, 2) kompetensi, dan 3) kualitas karakter.
Literasi dasar sebagai poros pendidikan mencakup 6 (enam) hal,
yaitu; 1) literasi baca-tulis, 2) literasi numerasi, 3) literasi sains, 4) literasi
digital, 5) literasi finansial, dan 6) literasi budaya dan kewargaan. Berbekal literasi
dasar itulah diharapkan terbentuk 4 (empat) kompetensi pendidikan yang mencakup 1) kemampuan berpikir kritis, 2) kreativitas, 3)
komunikasi, dan 4) kolaborasi. Ujungnya, puncak kecakapan literasi dasar dan
kompetensi akan bermuara pada kualitas karakter
pendidikan Indonesia yang 1) religius, 2) nasionalis, 3) mandiri, 4) gotong
royong, dan 5) integritas. Memang kesannya terlalu ideal. Tapi skrenario
itulah yang diharapkan dari gerakan literasi nasional. Persoalannya, tinggal di
implemenasi saja.
Akhirnya,
literasi adalah perbuatan alias perilaku. Jangan biarkan literasi hanya besar
di ruang-ruang seminar atau pikiran semata. Tanpa ada implementasi atau aksi nyata.
Maka semua pihak, siapapun, harus peduli dan ikut aktif dalam menggerakan aktivitas
literasi di manapun. Untuk kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Karena
di tengah gempuran era digital dan rongrongan gaya hidup. Mau tidak mau, hanya tingkat
literasi yang mampu menumbuhkan daya kreatif, daya tahan, dan daya saing masyarakat
menjadi lebih baik. Menuju peradaban dan kehidupan masyarakat yang lebih cerdas
dan berkualitas.
Sungguh,
masa depan bangsa Indonesia ada pada tingkat literasi masyarakatnya. Salam literasi. #GerakanLiterasi
#BudayaLiterasi #PegiatLiterasi