Sore hari, tanggal 3 Syawal kemarin, saat bertemu dengan salah seorang ibu, warga belajar Gerakan BERantas Buta aksaRA (GEBERBURA) TBM Lentera Pustaka di Bogor, saya bersalaman dan berucap. Selamat Idul Fitri 1445 H dan mohon maaf lahir batin. Sambil sejenak ngobrol tentang suasana lebaran.
“Gimana Bu, lebarannya?” tanya saya.
Si ibu menjawab, “Yah, namanya lebaran di kampung begini
aja Pak”. Katanya, tidak ada yang istimewa. Pakaian baru tidak ada, ketupat pun
tidak ada. Hanya masak seperti makan sehari-hari. Justru malah susah karena
tukang sayur yang keliling malah libur. Lebaran atau tidak lebaran sama saja.
Tetap hidup prihatin (bila tidak mau disebut miskin) dan seadanya. Serba tidak
mampu, namun tetap dijalani hari-harinya.
“Saya sih Pak, asal masih bisa makan setiap hari saja, udah
alhamdulillah. Lebaran nggak lebaran biasa saja. Tetap jadi orang tidak mampu” begitu
kata si ibu.
Mendengar kata-kata si ibu, saya pun termenung. Mungkin si
ibu hanya potret dari sebagian banyak orang-orang di kampung. Bahwa lebaran
sama sekali tidak berdampak terhadap kehidupannya. Tetap susah dan sama saja.
Tapi tetap mampu menjalaninya dengan pasrah, dengan apa adanya tanpa
keluh-kesah. Saya pun membatin, “orang-orang seperti ibu ini mungkin sudah
tidak perlu lagi belajar tentang arti sabar dan syukur”. Karena sudah jadi
bagian dari “urat nadi” kehidupan sehari-harinya.
Sementara di luar sana, tidak sedikit orang yang hanya
asyik mendongak memandang ke langit. Cemburu melihat apa yang tidak mampu
dicapainya. Kita lupa menunduk ke bawah, merenungkan apa yang sudah bumi
berikan. Lupa mensyukuri nikmat yang telah diperoleh dan dirasakan. Lalu
berkeluh kesah, merasa tersisih secara ekonomi, dan lupa bersyukur. Kita sering
gagal mensyukuri nikmat yang dikaruniakan Allah. Sehingga masih meminta lebih
dari apa yang telah dimiliki. Sedangkan di kampung-kampung, masih banyak orang
yang serba kekurangan. Tapi tetap sabar dan bersyukur pada rezeki yang tidak
seberapa di mata kita.
Di momen lebaran, tidak sedikit orang yang merungut. Akibat
tidak bisa bergaya dengan pakaian serba baru. Tapi si ibu di kampung yang buta aksara,,
merasa sudah cukup bahagia dengan hidup seadanya. Tanpa pakaian baru, tanpa
ketupat. Seolah - olah tidak ada gundah di hatinya, yang terlihat hanya riak
wajah yang datar saja. Hari-harinya tanpa eufria lebaran atau hari raya. Hidupnya
yang prihatin tela melahirkan ketenangan dan kesabaran dalam versi yang
sederhana. Allah berfirman, “Sesungguhnya jika kalian bersyukur (atas
nikmat-Ku), pasti Kami akan menambah (nikmat) kepada kalian; dan jika kalian
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangatlah pedih." (Surat
Ibrahim: 7).
Momen lebaran selalu memberi pelajaran. Bahwa siapapun
dianjurkan untuk “melihat ke bawah”, bukan mendengak ke atas. Agar selalu
bersyukur dan bersuyukur atas karunia Allah SWT sehingga tetap bertindak di
jalan-Nya. Bukan menempuh jalan yang sembrono. “Pandanglah orang yang berada
dibawah kalian, jangan memandang yang ada di atas kalian, itu lebih baik
membuat kalian tidak mengkufuri nikmat Allah” (HR. Muslim)
Bersyukurlah, karena semua yang ada dan dimiliki memang
sudah pantas utuk kita. Bersyukur atas nikmat nafas yang dihela, nikmat mata
yang bisa melihat, nikmat tangan yang bisa memegang, nikmat kaki yang bisa
berjalan, nikmat pakaian yang leindungi badan, nikmat kendaraan yang memudahkan
perjalanan, nikmat rumah untuk perlindungan. Berhentilah merungut dan mengeluh
pada sesuatu yang tidak kita miliki. Mulailah menghitung nikmat yang lupa untuk
disyukuri.
Begitulah kisah literasi di momen Idul Fitri kali ini. Sungguh, kekayaan (yang hakiki) bukanlah dengan banyaknya
harta. Namun kekayaan (yang hakiki) adalah hati yang sentiasa berasa cukup.
Jadilah literat #HikmahLebaran #HikmahIdulFitri #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar