Sabtu, 13 April 2024

Literasi Seorang Musafir

Memang benar, kehidupan dunia ini hanya sebentar. Hanya sekadar melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain. Bahwa kita sedang melakukan perjalanan atau safar. Sebagai yang melakoni, kita sendiri hanya seoarang musafir. Tidak lebih tidak kurang. Karenanya, siapapun harus sadar. Dan jangan lalai mengingat “kita dalam perjalanan”. Seperti kata Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, “Manusia sejak diciptakan senantiasa menjadi musafir, batas akhir perhentian perjalanan mereka adalah surga atau neraka” (Al-Fawaid, hal. 400).

 

Patut direnungkan, mudik lebaran hari ini. Hanya sebuah perjalanan “pulang kampung”. Saat mudik, apa kita bisa membawa semua bekal untuk ke kampung? Apakah semua yang kita raih dan cari di perantauan bisa dibawa pulang ke kampung? Sama sekali tidak, hanya yang kita ingat dan mampu membawanya saja. Begitu pula perjalanan kita ke kampung akhirat. Tidak satu pun dari kekayaan dunia dan kemegahannya yang akan kita bawa. Harta, pangkat, bahkan jabatan sekalipun tidak sedikit pun bisa dibawa. Hanya amal kebaikan kita saja yang terbawa. Amal yang tidak terlihat (tidak ada bendanya) di dunia, di tempat merantau kita sekarang.

 

Besok, ketika manusia akan dibawa ke kubur dan masuk ke liang lahat. Semua akan mengikutinya, yaitu keluarga, harta, dan amalnya. Tapi keluarga dan harta akan kembali ke dunia dan ke tempatnya di perantauan. Tapi yang tetap mengikuti bersama si mayit hanya amalnya saja, hanya amal soleh yang menyertainya.

 

Maka kata Rasulullah SAW, “Apa peduliku dengan dunia? Tidaklah aku tinggal di dunia melainkan seperti musafir yang berteduh di bawah pohon dan beristirahat, lalu musafir tersebut meninggalkannya” (HR. Tirmidzi no. 2551).

 

Namanya dalam perjalanan atau safar, pasti ada kesusahan dan ketidaknyamanan. Apalagi dalam perjalanan yang jauh lagi Panjang. Tidak mungkin kita hanya mengalami senang dan gembira terus-menerus. Pasti ada sedih dan duka. Ada manis ada pahit. Bahkan tidak sedikit yang dipakai untuk bermain-main dan senda gurau. Maka Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah menjelaskan, “Orang yang berakal akan tahu bahwa safar itu identik dengan kesusahan dan terpapar berbagai bahaya. Tempat di mana manusia berharap adanya nikmat, kelezatan dan kenyamanan hanya terjadi ada saat safar telah selesai” (Al-Fawaid hal. 400).

 


Semoga kita tidak lagi tertipu dunia. Tidak lagi dilalaikan oleh kehidupan dunia. Karena dunia hanya sementara. Jangan terlena dengan kehidupan dunia. Apalagi hanya untuk bermain-main dan bersenda-gurau serta saling berbangga-bangga saja. Lebih baik persiapkan bekal untuk pulang kampung akhirat. Karena akhirat adalah pemberhentian terakhir dan ruang kehidupan yang sesungguhnya. “Wahai kaumku, sesungguhnya kehidupan dunia ini adalah kesenangan sementara. Dan sesungguhya akhirat itu adalah negeri tempat kembali” (QS. Ghafir: 39).

 

Berbagai literatur telah jelas menyebut. Bahwa dunia adalah “hukuman” bagi Nabi Adam dan Siti Hawa. Mumpung masih ada waktu, mulailah berbenah menjadi lebih baik. Hijrah untuk memperbaiki urusan akhirat, bukan semata-mata dunia. Sungguh, sebaik-baik waktu adalah saat kita menyadari kekurangan dan mengakui kerendahan. Agar kelak, kita termasuk orang-orang beruntung dan sukses. Yaitu dimasukkan ke surga dan dijauhkan dari neraka.

 

Alhamdulillah hari ini (14/4/2024), saya pun berniat melakukan perjalanan menuju rumah Allah SWT. Umroh syawal, sebagai cara untuk terus memperbaiki diri dan tetap bertekad menjadi baik di balik cerita buruk yang dibuat orang lain. Untuk menggapai ridho-Nya, meraih rahmat-Nya. Karena saya, bukan apa-apa dan bukan pula siapa-siapa. Literasi seoarang musafir, sadar dan mau memperbaiki diri.

 

Nawaitul 'umrota wa ahramtu bihi lillahi ta'ala. Saya berniat melaksanakan umroh dan berihram karena Allah Subhaanahu Wata'ala, amiin. Jadilah literat! #HikmahLebaran #CatatanIdulFitri #TBMLenteraPustaka

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar