Bak petir di siang bolong, PM Malaysia Sabri Yakob dalam kunjungannya ke Indonesia (1/4/2022) tiba-tiba mengusulkan Bahasa Melayu menjadi bahasa resmi ASEAN di depan Presiden Jokowi. Sontak publik di Indonesia mereaksi dan tidak mendukung. Karena yang pantas justru Bahasa Indonesia menjadi bahasa resmi ASEAN. Twibbon dukungan ke Bahasa Indonesia pun beredar hingga Mendikbud RI merilis sikap tidak mendukung bahasa Melayu menjadi bahasa ASEAN.
Sayangnya, Mendikbud RI dalam keterangannya, masih menyebut akan mengkaji
lebih lanjut usulan tersebut. Seharusnya tidak perlu dibahas lagi tapi langsung
bersikap menolak usulan bahasa Melayu jadi bahas resmi ASEAN. Tegas-tegas saja,
untuk bersikap menolak. Indikatornya sederhana, karena penutur bahasa Indonesia
jauh lebih banyak daripada penutur bahasa Melayu.
Saya mencoba untuk mengkalkulasi usulan PM Malaysia. Siapa yang lebih
layak menjadi bahasa resmi ASEAN antara bahasa Indonesia vs bahasa Melayu? Maka
jawab saya tentu bahasa Indonesia. Alasannya, karena salah satu syarat bahasa bisa
dijadikan bahasa resmi di mana pun adalah karena jumlah penuturnya yang banyak.
Seperti bahasa Inggris dijadikan bahasa internasional karena penuturnya banyak
dan di mana-mana. Tentu dengan segala variannya.
Setidaknya ada 5 (lima) alasan penting yang mendasari bahasa Indonesia sangat
layak menjadi bahasa resmi ASEAN dibandingkan bahasa Melayu adalah sebagai
berikut:
1. Jumlah penutur bahasa
Indonesia yang mencapai 273,5 juta lebih banyak dari penutur bahasa melayu di Malaysia
hanya 32,37 juta (2020).
2.
Aset kosakata bahasa Indonesia yang mencapai 110.538 lema (April 2019) lebih
banyak daripada kosakata bahasa Melayu.
3.
Bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional pun diperkaya oleh 718 bahasa daerah yang tersebar di seluruh Indonesia (labbineka.kemdikbud.go.id
- 2022), sedangkan bahasa Melayu didukung oleh 137 varian bahasanya.
4.
Secara semantik atau makna bahasa, bahasa Indonesia memiliki tingkat
keterpahaman lebih tinggi daripada bahasa Melayu. Artinya, penutur bahasa Melayu
lebih mudah memahami bahasa Indonesia dibandingkan penutur bahasa Indonesia memahami
bahasa Melayu. Makna harus jadi acuan penting dalam bahasa resmi suatu negara
atau wilayah.
5.
Dalam skala internasional, bahasa Indonesia pun menjadi studi khusus
yang dipelajari di 47 negara, di samping ada 428 lembaga yang
menyelenggarakan program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA). Hal
ini berarti universlitas bahasa Indonesia lebih besar daripada bahasa Melayu.
Jadi, kelima alasan di atas harusnya menjadi penegas penolakan untuk menjadikan
bahasa Melayu sebagai bahasa resmi ASEAN. Justru, bahasa Indonesia-lah yang seharusnya
menjadi bahasa resmi di Kawasan ASEAN. Sambil tetap mengakui bahwa bahasa Indonesia
dan bahasa Melayu memiliki akar linguistik dari bahasa Melayu yang sama. Namun Sesuai
dengan sifat bahasa yang dinamis, tentu bahasa Indonesia dan bahasa Melayu tidak
lahgi bisa disamakan.
Namun usulan PM Malaysia Sabri Yakob untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi ASEAN, bagi saya, patut diacungi jempol. Karena beliau berhasil menjalankan peran diplomasi bahasa yang apik sehingga membuat penutur bahasa Indonesia menjadi geram atau minimal tidak menerima. Bahasa Indonesia dengan jumlah penutur yang ratusan juta justru abai terhadap diplomasi bahasa. Indonesia sebagai bangsa, mungkin kurang memperhatikan bahasa Indonesia sebagai identitas dan jadi diri bangsanya sendiri. Sementara pejabat Malaysia pun berani menulis surat resmi kepada Menlu AS dengan bahasa Melayu, di samping menggunakan bahasa Melayu dalam kunjungan ke berbagai negara. Diplomasi bahasa inilah yang harus dimainkan petinggi dan pejabat Indonesia di level internasional.
Faktanya,
bahasa Indonesia memang lebih layak menjadi bahasa resmi ASEAN daripada bahasa
Melayu. Apalagi bila ditinjau dari aspek historis, linguistik, hukum, dan sifat
sistemik – universalitas, bahasa Indonesia jauh lebih kokoh untuk dinobatkan
sebagai bahasa resmi ASEAN. Tapi sayang, dari waktu ke waktu, harus diakui
sepertinya perhatian pemerintah terhadap eksistensi bahasa Indonesia sebagai
bahasa resmi dan nasional kian mengendur. Coba cek saja, penggunaan istilah-istilah
asing di ruang publik yang tetap menjalar bahkan hampir tidak ada teguran soal
penggunaan bahasanya. Penggunaan bahasa Indonesia yang baik, benar, dan santun
pun kini hanya sebatas jargon. Makanya hoaks dan ujaran kebencian pun masih terjadi
hingga kini,
Karena
itu sebagai pelajaran dari pernyataan PM Malaysia soal bahasa Melayu dijadikan
bahasa resmi ASEAN tidak cukup hanya sekadar menolak. Tapi ke depan, pemerintah
Indonesia harus membuktikan perhatian dan aksi nyata akan eksistensi bahasa
Indonesia yang terkait dengan:
1.
Kemauan politik dari pemerintah untuk
terus memperkuat kebijakan bahasa Indonesia yang lebih strategis, baik di mata
nasional maupun internasional. Masalah-masalah kebahasaan Indonesia harus diperkuat
melalui kajian-kajian bahasa yang lebih dinamis dan berterima di era digital
seperti sekarang. Bila perlu bikin lagi Gerakan nasional mencintai bahasa Indonesia.
2.
Diplomasi bahasa Indonesia di ruang internasional harus terus
diperkuat dan disampaikan kepada khayalak internasional. Pejabat pemerntah harus
menjadi contoh dan mempelopori inisiatif diplomasi bahasa dengan cara
menggunakan bahasa Indonesia yang baik, benar, dan santun di acara internasional.
3.
Sikap berbahasa penutur bahasa Indonesia pun harus
direvitalisasi. Siapa pun harus bangga berbahasa Indonesia bukan malah sok
mentereng bila mampu menggunakan bahasa asing. Bahasa asing sebagai ilmu dan
keterampilan bahasa tidak masalah. Tapi bila penggunaan bahasa asing mengganggu
nasionalisme sebagai bangsa harus dihentikan.
4.
Pemerintah perlu menertibkan lagi penggunaan bahasa asing
yang berlebihan dan bertebaran di mana-mana, seperti di mal, di tempat wisata, atau
di ruang publik lainnya. Apa pun alasannya, bahasa Indonesia harus jadi tuan
rumah di negerinya sendiri.
Jadi tidak usah kebakaran jenggot karena pernyataan
PM Malaysia tentang usulan bahasa Melayu dijadikan bahasa resmi ASEAN. Karena
faktanya, bahasa Melayu tidak lebih layak daripada bahasa Indonesia. Tapi lebih
baik fokus pada apa yang sudah dilakukan penutur dan pemerintah Indonesia dalam
mempertahankan eksistensi bahasa Indonesi sebagai bahasa dengan jumlah penutur
terbesar ke-4 di dunia? Karena sejatinya, bahasa itu bakal terancam punah jika
masyarakat penuturnya tidak lagi menghormati bahasanya sendiri. Karena hari
ini, masih banyak sikap tidak peduli terhadap bahasa Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar