Indonesia sebagai bangsa, semua sepakat, untuk menolak usulan PM Malaysia Sabri Yakob bahasa Melayu menjadi bahasa resmi ASEAN. Tanpa adalih lagi, sepakat kita tolak. Karena bahasa Melayu tidak lebih baik dari bahasa Indonesia. Dari jumlah penutur, aset kosakata, dan dukungan bahasa daerah yang ada di wilayahnya, bahasa Melayu tidak dapat merepresentasikan bahasa di kawasan ASEAN.
Lalu, bila kita menolak bahasa Melayu jadi bahasa
resmi ASEAN. Apakah secara otomatis bahasa Indonesia pantas menjadi bahasa resmi
ASEAN? Maka utuk menjawab itu, ada 5 (lima) pertanyaan penting yang harus
dijawab pemerintah dan penutur bahasa Indonesia, yaitu:
1.
Apakah Indonesia punya political will
atau kemauan politik untuk terus memperkuat kebijakan bahasa Indonesia yang lebih
strategis, baik secara nasional maupun internasional?
2.
Apakah selama ini pemerintah sudah
memainkan peran diplomasi bahasa Indonesia di ruang internasional?
3.
Apakah sikap berbahasa penutur sudah baik terhadap bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional dan resmi negaranya?
4.
Apakah pemerintah berani menertibkan penggunaan bahasa asing
yang berlebihan dan bertebaran di ruang publik?
5.
Apakah pemerintah sudah memerhatikan dinamika bahasa Indonesia
untuk mengantisipasi masalah-masalah yang dihadapinya termasuk melakukan
kajian-kajian bahasa yang adaptif terhadap era digital?
Terus terang, bila kelima pertanyaan
penting di atas, belum mampu dijawab secara gambling dan tegas. Maka dapat
disimpulkan, bahasa Indonesia pun belum pantas menjadi bahasa resmi ASEAN.
Karena faktanya, diplomasi bahasa Indonesia di kancah internasional pun
tergolong tidak optimal. Pejabat pemerintah sepertinya belum berani bersikap patriotic
terhadap bahasa negaranya sendiri.
Mau tidak mau, upaya revitalisasi
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasioanl dan bahasa resmi kenegaraan pun harus
diperkuat kembali. Seiring dengan sosialisasi pentingnya penggunaan bahasa
Indonesia yang baik, benar, dan santun. Penutur bahasa Indonesia sudah
seharusnya bersikap bangga terhadap bahasa sendiri. Bukan justru merasa keren
bila mampu menggunakan bahasa asing. Belum lagi maraknya penggunaan istilah-istilah
asing di ruang publik, seperti di mal, tempat wisata, atau ruang publik
lainnya.
Bila menolak bahasa Melayu jadi bahasa resmi ASEAN,
maka bahasa Indonesia pun harus berbenah diri. Agar tetap eksis dan mampu
menjalankan perannya sebagai jati diri bangsa Indonesia. Maraknya hoaks, ujaran
kebencian, dan bahasa asing di ruang publik adalah bukti bahasa Indonesia pun terancam
di negerinya sendiri. Karena itu dibutuhkan perhatian dan kepedulian terhadap
bahasa Indonesia.
Sebagai bahasa dengan jumlah penutur terbesar ke-4 di
dunia, bahasa Indonesia seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi oleh para
penuturnya. Karena bahasa Indonesia adalah amanat UUD 1945, konstustusi
tertinggi di negara ini. Maka jangan abai terhadap bahasa nasional. Karena secara
historikan, banyak bahasa di dunia malah punah akibat penuturnya tidak lagi
menghormati bahasanya sendiri.
Maka
ke depan, tidak cukup hanya menolak bahasa Melayu menjadi bahasa resmi ASEAN. Pemerintah dan penutur bahasa Indonesia kini
ditantang untuk membuktikan perhatian dan kepedulian terhadap bahasa nasionalnya.
Apa
yang dilakukan PM Malaysia Sabri Yakob, paling tidak harus dilihat sebagai
upaya pemerintah Malaysia dalam menjalankan peran diplomasi bahasa di kancah
internasional. Cara itu tidak sepenhnya benar tapi dapat diterima sebagai
strategi untuk memperkuat kebijakan strategis bahasa mereka. Begitulah
kira-kira dan silakan jawab kelima pertanyaan penting tentang bahasa Indonesia
di atas. Bila bahasa Indonesia mau jadi bahasa remsi ASEAN. #BahasaResmiASEAN
#BahasaIndonesia #CatatanKritisBahasaIndonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar