Jangankan langit di atas sana, gunung yang di depan mata pun tak pernah berkata bahwa ia tinggi. Lalu, mengapa ada yang mengaku terbaik namun lupa menjadi baik?
Mungkin karena TBM
Lentera Pustaka berada di kaki Gunung Salak Bogor. Pemandangan gunung jadi
begitu biasa. Pagi, siang, dan sore yang tampak hanya gunung. Bahkan di malam
hari pun sangat terasa hawa gunung-nya. Kata orang, gunung itu menenangkan. Gunung
memang hanya diam. Sekalipun ratusan kali didaki, bahkan dinodai pendakinya. Diamnya
gunung, tentu bukan karena salah. Tapi semata-mata karena gunung hati-hati
dalam bertindak. Agar tidak melukai atau mencederai orang-orang yang ada di
lerengnya.
Maka mendaki gunung, sejatinya bukan untuk
menaklukkan gunung. Tapi justru di pendaki sedang berjuang untuk menaklukkan dirinya
sendiri. Akibat ego diri, akibat kesombongan dan selalu merasa lebih tinggi
dari orang lain. Siapa pun yang mendaki gunung, justru ia sedang ikhtiar untuk melihat
dunia dari sudut
pandang lain. Bukan agar dunia bisa melihat si pendaki.
Seperti itu pula,
anak-anak yang membaca buku di taman bacaan. Membaca itu untuk memperkaya sudut pandang,
memperluas cakrawala dalam melihat hidup dan dunia. Agar anak-anak itu
nantinya, bisa melihat sesuatu
dari berbagai sudut pandang sebelum
menyimpulkan sesuatu. Karena pada setiap objek, selalu ada
sudut pandang yang berbeda. Termasuk dengan diri kita sendiri.
Sulit untuk dibantah. Membaca buku di taman
bacaan memang sangat bagus, sangat penting di era digital. Tapi bukan berarti
pula kegiatan membaca lebih baik dari main gawai atau main youtube kan. Bukan
berarti taman bacaan lebih hebat dari warung kopi. Ini bukan soal buku lebih
mulia, lalu gawai lebih buruk. Tapi hanya soal “menyeimbangkan” aktivitas
anak-anak, antara buku dan gawai. Tanggung jawab orang dewasa untuk mengajarkan
cara membagi waktu,
dan mengarahkan anak-anak
ke aktivitas yang
positif.
Anak-anak di era
digital, sangat boleh main gawai. Youtube-an pun boleh, menonton TV juga boleh.
Maka membaca buku di taman bacaan pun boleh dan baik. Itu artinya, anak-anak
dilatih untuk melihat segala
sesuatu lebih dari satu sudut
pandang. Agar anak-anak taman bacaan tidak
perlu merasa lebih baik daripada teman-teman yang tidak membaca
buku. Atau anak-anak yag kerjanya main atau nongkrong.
Bila anak-anak TBM
Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak membaca buku yang terlihat gunung. Bahkan main
ke gunung, ke kebun atau ke sungai. Sementara anak-anak kota lebih suka main
games, main laptop atau ke mal. Itu semua hanya soal kepraktisan dan kemudahan akses semata. Karena membaca buku pun hanya soal akses, bukan hanya
soal minat baca. Jadi, anak-anak kampung yang membaca buku tidak berarti lebih baik dari anak-anak
kota yang doyan main games, atau
sebaliknya. Membaca buku di taman bacaan, bagi saya, adalah
proses untuk membentuk pola
pikir anak dari hal-hal yang sederhana. Agar tidak cepat menyimpulkan sesuatu dan mau menerima
sudut pandang lain.
Karena mau menerima sudut pandang lain itulah, TBM
Lentera Pustaka terus berproses dan berkembang. Tadinya hanya dihuni 14 anak pembaca
aktif, kini TBM Lentera Pustaka terus berkenbang dengan menjalankan 12 program
literasi yang terdiri dari: 1) TABA (TAman BAcaan) dengan 160 anak pembaca
aktif dari 3 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya) dengan waktu baca 3 kali
seminggu, kini setiap anak mampu membaca 5-8 buku per minggu, 2) GEBERBURA
(GErakan BERantas BUta aksaRA) yang diikuti 9 warga belajar buta huruf agar terbebas
dari belenggu buta aksara, 3) KEPRA (Kelas PRAsekolah) dengan 26 anak usia
prasekolah, 4) YABI (YAtim BInaan) dengan 14 anak yatim yang disantuni dan 4
diantaranya dibeasiswai, 5) JOMBI (JOMpo BInaan) dengan 8 jompo usia lanjut, 6)
TBM Ramah Difabel dengan 3 anak difabel, 7) KOPERASI LENTERA dengan 31 ibu-ibu
anggota koperasi simpan pinjam agar terhindar dari jeratan rentenir dan utang
berbunga tinggi, 8) DonBuk (Donasi Buku), 9) RABU (RAjin menaBUng), 10) LITDIG
(LITerasi DIGital) untuk mengenalkan cara internet sehat, 11) LITFIN (LITerasi
FINansial), dan 12) LIDAB (LIterasi ADAb) untuk mengajarkan adab ke anak-anak
seperti memberi salam, mencium tangan, berkata-kata santun, dan budaya antre. Tidak
kurang dari 250 orang menjadi penerima layanan literasi TBM Lentera Pustaka
setiap minggunya.
Kembali ke soal gunung. Bahwa akhirnya,
gunung adalah salah satu karya terindah Allah SWT
yang patut disyukuri. Gunung memang tinggi
tapi tidak pernah berkata ia tinggi. Sebagai makhluk Tuhan, gunung tidak
mengaku yang terbaik tanpa mau berbuat baik. Bahkan gunung
itu selalu lebih jauh, lebih tinggi dan lebih sulit dari kelihatannya. Agar siapa pun, selalu mau
menunduk saat mendakinya dna tetap
tegak ketika menuruninya.
Belajar dari gunung.
Siapa pun saat mendakinya, harus tahu kapan harus pergi, kapan
harus tinggal, dan kapan harus mundur. Agar tetap fokus pada tujuan besar untuk menggapai
“puncak” dengan semangat dan sepenuh hati. Seperti pegiat literasi di taman
bacaan. Dan yang paling penting mampu jadi manusia literat. Manusia yang tidak
mudah menghakimi dan mau mau memahami sudut pandang orang lain. Salam literasi. #TamanBacaan
#PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen #KampungLiterasiSukaluyu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar