Zaman now sering dibilang zaman matik. Semuanya serba matik.
Motor matik, mobil matik. Pengukur suhu tubuh matik, bahkan ada juga cewek
matik. Survei membuktikan, 80% cewek zaman now pun lebih suka pakai barang yang matik.
Karena lebih instan, lebih cepat.
Matik, bolehlah diartikan otomatis. Bisa
bergerak dengan sendirinya. Tanpa digenjot, tanpa diputar sudah bisa sendiri.
Beda dengan yang manual. Tidak bisa bergerak bila tidak digerakkan. Maka wajar,
banyak orang lebih memilih yang matik. Daripada yang manual. Konon katanya,
matik lebih keren daripada manual. Apa iya?
Sejatinya, matik itu hanya simbol. Simbol sebuah era. Saat banyak orang ingin semuanya serba
instan. Kalau perlu,
tidak usah menanam pohonnya. Langsung buahnya saja. Tidak perlu kerja, uangnya
saja. Itulah prinsip matik. Sebuat saja, orang-orang yang tidak mau repot. Maunya, tinggal
starter langsung ngacir. Matik banget.
Matik sudah jadi gaya
hidup. Bahkan orientasi hidup. Semua hal dipandang mudah. Kalau bisa cepat, kenapa
harus lambat? Kalau bisa nyogok, kenapa harus ikut prosedur? Akhirnya jadi gerabak-gerubuk. Hantam kromo. Main gadget
tiap hari tapi menganggap palng sibuk sedunia. Kata orang-orang matik. Tidak usah belajar asal dapat
ijazah. Tidak usah kuliah
yang penting wisuda. Tidak usah kerja yang penting dapat duit. Enak banget, hidup kaum matik
ya.
Berbeda dengan pegiat literasi di taman bacaan. Membaca buku saja masih
manual. Buka tutup taman bacaan hanya untuk melayani anak-anak yang membaca. Isi
kartu baca, kartu pinjam buku, dan antre bawa buku. Semuanya manual di taman
bacaan. Maka taman bacaan, pasti tidak cocok untuk kaum matik. Terlalu tradisional.
“Bisa gak sih langsung pintar tanpa baca buku” begitu kata kaum matik.
Cara pikir matik, perilaku pun matik. Jadi salah
jalan.
Dikasih teknologi media sosial, malah dipakai untuk
menghujat, mencaci dan berkata-kata kotor.
Dikasih pengetahuan agama malah dipakai untuk
“menyalahkan” orang lain. Dikasih hidup nyaman malah dipakai
untuk “mengecilkan” orang lain. Begitulah sifat matik.
Matik itu belum tentu baik. Karena matik sering bikin manusia jadi berpikir
dangkal. Tidak produktif bahkan melupakan cara-cara yang benar dan etik. Sifat
matik pula yang mampu menghilangan manusia dari rasa peka dan cinta. Makin
tidak peduli, makin tidak punya empati. Karena berjiwa matik.
Kaum matik, bisa jadi “gagal” merasakan apa yang dirasakan
orang lain. Ingin baik tapi
tidak melakukan apapun. Kaum matik lupa. Kesalehan itu bukan hanya
ritual. Tapi juga butuh kesalehan sosial dan kesalehan emosional.
Matik sangat salah. Bila ingin besar tapi lupa hal-hal
kecil. Salam literasi #KampanyeLiterasi
#TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar