Singkong, nama kerennya itu manihot utilissima. Tapi hari ini, mungkin banyak orang tidak suka singkong. Karena dianggap makanannya orang miskin. Panganannya kaum alit, bukan kaum elit. Padahal hampir di semua swalayan. Ada jajanan yang dikemas bagus, dibumbui enak. Ehh, ternyata terbuat dari singkong. Walau enak itu relatif ya.
Lebih dari itu. Bisa jadi, singkong itu pohon yang
hidupnya tidak ribet. Tetap tumbuh di tanah bawah atau di tanah kering. Bisa
ditanam di mana saja, tanpa perlu pupuk sekalipun. Dalam keadaan apa pun,
singkong tidak baperan, tidak mudah galau. Hebatnya lagi, semua bagian pohonnya
berguna. Daunnya buat lalapan atau sayur. Batangnya dibikin pagar. Buahnya pun
enak. Simpel dan alami, singkong tetap tumbuh, tanpa direkayasa.
Singkong itu pun literasi. Saat pohonnya tumbuh
menjulang tinggi. Tapi bagian yang membesar tetap ada di bawahnya. Justru akar
yang jadi buahnya. Berbeda dengan manusia. Karena tidak sedikit manusia yang makin
menjulang pangkat dan jabatannya. Justru makin menjauh dari akarnya. Makin lupa
diri dari mana dia berasal?
Hidup pun harusnya seperti singkong.
Siapa pun saat meninggi atau menjulang pangkat, jabatan, harta atau status
sosial. Tapi manfaatnya tetap terasa sampai ke bawah, ke orang-orang yang
membutuhkan. Seperti di taman bacaan, apa pun keadaannya. Tetap komitmen
membangun tradisi baca kepada anak-anak yang tidak punya akses bacaan.
Mungkin, Sebagian kita tidak suka ngemil
singkong. Karena kalah bonafid daripada roti atau pizza. Tapi ketahuilah,
singkong tetap apa adanya bukan ada apanya. Singkong sederhana. Bila doyan
silakan kunyah. Bila tidak pun, jangan dikunyah. Selain tidak suka merekayasa
diri, singkong sama sekali tidak gemar gagah-gagahan. Karena dunia itu
sementara. Diserang pandemi Covid-19, dunia itu sudah kalang kabut. Lalu, apa
yang mau digagahin? Apa yang mau disombongkan?
Maka agak kontradiksi. Bila ada yang pengen hidup
sederhana. Tapi mereka tidak suka singkong. Bila ingin dibilang benar. Tapi
maynya menyalahkan orang lain. Hidup di zaman canggih, di era digital. Tapi apa
yang diucap dengan apa yang dikerjakan, justru makin berbeda?
Singkong, itu gurunya hidup sederhana.
Nrimo ing pandum atau menerima segala pemberian dan segala keadaan. Istilahnya tetap qona’ah
alias apa adanya. Agar hidup lebih acceptable, berterima di segala ruang dan
waktu. Tanpa gengsi tanpa frustrasi.
Seperti singkong, mau setinggi apapun
pohonnya. Dia tetap rendah hati, tetap tidak mau menampakkan buahnya. Salam literasi
#KampanyeLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar