Banyak orang menghabiskan waktu di rumah untuk menonton televisi (TV). Apalagi di saat pandemi Covid-19. Bekerja dari rumah, belajar dari rumah. Maka apalagai yang mau dilakukan. Selain menonton TV sambil memainkan jari-jari di ponsel. Hidup belum paripurna bila belum menonton TV, begitu kata banyak orang.
Menonton TV, mau tidak mau, memang jadi
kegiatan favorit di rumah. Dari anak-anak hingga orang dewasa. Alasannya, untuk
mengisi waktu sekaligus hiburan. Maka wajar, studi Nielsen (2018) menyebut
orang Indonesia mampu menghabiskan waktu menonton TV rata-rata 5 jam setiap
harinya. Sementara berselancar di dunia maya rata-rata 3-4 jam per hari. Sementara
membaca koran dan majalah sekitar 55 menit. Bukan membaca buku ya. Tapi sayang,
tidak ada studi yang mengungkap. Berapa lama setiap orang ngomong? Atau membuang
waktu sia-sia?
Tradisi membaca, bisa jadi kian jeblok. Sekalipun di
era digital, di era revolusi industri.
Akibat “kalah” dibandingkan menonton TV. Banyak orang
lupa, menonton TV bisa berdampak buruk. Karena dapat mengganggu kesehatan
mental. Bahkan terjebak pada aktivitas gaya hidup yang kamuflastis. Selain
membuang waktu secara sia sia, menonton TV pun sama sekali tidak produktif.
Menonton TV jelas berbahaya. Hasil studi
menyebutkan, menonton TV dua jam sehari saja dapat membuat orang merasa gelisah.
Apalagi anak-anak, risiko depresinya sangat besar. Jadi sebab gangguan
ansietas. Keadaan tegang yang berlebihan atau tidak pada tempatnya. Selalu
khawatir, cemas, tidak menentu atau takut. Coba deh ditanyakan kepada para
penonton TV yang fanatik.
Pada kolom opini tulisan saya, di Harian Media
Indonesia, saya menegaskan adanya “krisis spiritual” akibat kebanyakan menonton
TV. Ada 4 (empat) krisis spiritual yang dialami seseorang akibat gemar menonton
TV:
1.
Krisis informasi akibat melimpahnya
informasi yang diterima tanpa ada eksekusi. Maka spritualnya menjadi gelisah dan
imajinasinya terganggu, Makin banyak informasi yang diperoleh, maka makin
bingung.
2.
Krisis imajinasi sosial akibat banyaknya
fantasi sosial yang ditayangkan tanpa mau aktualisasi diri secara sosial di
dunia nyata. Terhipnotis oleh bahasa hiperbola dan pleonasme yang disajikan TV.
3.
Krisis budaya akibat ajaran gaya hidup
TV yang merusak adab dan kebudayaan. Sehingga menjadi inspirasi perilaku
menyimpang. Lebih gemar sensasi daripada esensi kehidupan.
4.
Krisis identitas akibat pengaruh
tayangan yang tidak sesuai dengan realitas hidupnya secara nyata. Identitasnya goyah,
spiritualnya rapuh. Lalu, gagal jadi diri sendiri dan mudah kagum pada
kehidupan fantasi.
Bahkan kini, akibat sering menonton TV, banyak orang
merasa hidupnya tidak berharga. Mudah frustrasi dan tidak percaya diri. Lebih
gemar membanding-bandingkan kehidupan diri sendiri dengan orang lain. Hampir semua
penonton TV ingin bahagia. Tapi rujukannya bukan diri sendiri melainkan orang
lain. Jadi sebab utama pesimis dalam hidupnya sendiri.
Faktanya, masih banyak orang tidak literat
saat menonton TV. Akhirnya, semua tayangan “dimakan” mentah-mentah. TV bukan
jadi media yang mendidik malah menghardik. Lalu lupa. Bahwa televisi bukanlah
kehidupan nyata. Maka lebik baik banyak membaca buku daripada menonton TV. Salam literasi #KampanyeLiterasi
#TamanBacaan #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar