Rabu, 24 Maret 2021

Literasi Televisi, Jauhi 4 Krisis Spiritual Akibat Menonton TV

Banyak orang menghabiskan waktu di rumah untuk menonton televisi (TV). Apalagi di saat pandemi Covid-19. Bekerja dari rumah, belajar dari rumah. Maka apalagai yang mau dilakukan. Selain menonton TV sambil memainkan jari-jari di ponsel. Hidup belum paripurna bila belum menonton TV, begitu kata banyak orang.

 

Menonton TV, mau tidak mau, memang jadi kegiatan favorit di rumah. Dari anak-anak hingga orang dewasa. Alasannya, untuk mengisi waktu sekaligus hiburan. Maka wajar, studi Nielsen (2018) menyebut orang Indonesia mampu menghabiskan waktu menonton TV rata-rata 5 jam setiap harinya. Sementara berselancar di dunia maya rata-rata 3-4 jam per hari. Sementara membaca koran dan majalah sekitar 55 menit. Bukan membaca buku ya. Tapi sayang, tidak ada studi yang mengungkap. Berapa lama setiap orang ngomong? Atau membuang waktu sia-sia?

 

Tradisi membaca, bisa jadi kian jeblok. Sekalipun di era digital, di era revolusi industri.

Akibat “kalah” dibandingkan menonton TV. Banyak orang lupa, menonton TV bisa berdampak buruk. Karena dapat mengganggu kesehatan mental. Bahkan terjebak pada aktivitas gaya hidup yang kamuflastis. Selain membuang waktu secara sia sia, menonton TV pun sama sekali tidak produktif.

 

Menonton TV jelas berbahaya. Hasil studi menyebutkan, menonton TV dua jam sehari saja dapat membuat orang merasa gelisah. Apalagi anak-anak, risiko depresinya sangat besar. Jadi sebab gangguan ansietas. Keadaan tegang yang berlebihan atau tidak pada tempatnya. Selalu khawatir, cemas, tidak menentu atau takut. Coba deh ditanyakan kepada para penonton TV yang fanatik.

 

Pada kolom opini tulisan saya, di Harian Media Indonesia, saya menegaskan adanya “krisis spiritual” akibat kebanyakan menonton TV. Ada 4 (empat) krisis spiritual yang dialami seseorang akibat gemar menonton TV:

1.   Krisis informasi akibat melimpahnya informasi yang diterima tanpa ada eksekusi. Maka spritualnya menjadi gelisah dan imajinasinya terganggu, Makin banyak informasi yang diperoleh, maka makin bingung.

2.   Krisis imajinasi sosial akibat banyaknya fantasi sosial yang ditayangkan tanpa mau aktualisasi diri secara sosial di dunia nyata. Terhipnotis oleh bahasa hiperbola dan pleonasme yang disajikan TV.



3.   Krisis budaya akibat ajaran gaya hidup TV yang merusak adab dan kebudayaan. Sehingga menjadi inspirasi perilaku menyimpang. Lebih gemar sensasi daripada esensi kehidupan.

4.   Krisis identitas akibat pengaruh tayangan yang tidak sesuai dengan realitas hidupnya secara nyata. Identitasnya goyah, spiritualnya rapuh. Lalu, gagal jadi diri sendiri dan mudah kagum pada kehidupan fantasi.

 

Bahkan kini, akibat sering menonton TV, banyak orang merasa hidupnya tidak berharga. Mudah frustrasi dan tidak percaya diri. Lebih gemar membanding-bandingkan kehidupan diri sendiri dengan orang lain. Hampir semua penonton TV ingin bahagia. Tapi rujukannya bukan diri sendiri melainkan orang lain. Jadi sebab utama pesimis dalam hidupnya sendiri.

 

Faktanya, masih banyak orang tidak literat saat menonton TV. Akhirnya, semua tayangan “dimakan” mentah-mentah. TV bukan jadi media yang mendidik malah menghardik. Lalu lupa. Bahwa televisi bukanlah kehidupan nyata. Maka lebik baik banyak membaca buku daripada menonton TV. Salam literasi #KampanyeLiterasi #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar