Ananda Zahra, siswa kelas 3 SD. Saya paham, dia punya kendala mata. Saat membaca, teks harus didekatkan ke matanya. Sudah berulang kali berobat, bahkan ada kaca matanya. Tapi entah, mungkin ada masalah di matanya. Maka di taman bacaan, setiap buku yang dibacanya harus didekatkan ke matanya. Walau mengalami kesulitan dibanding kawan-kawannya, dari sejak kelas 1 SD dia selalu ada di taman bacaan. Dari tidak bisa baca, perlahan mengeja dan kini sudah bisa membaca. Walau lambat.
Saya pernah tanya. “Nak, kamu kan agak
susah melihat huruf. Tapi kok, kamu rajin datang ke TBM Lentera Pustaka?” Dia
pun menjawab “Iya Pak. Saya memang tidak bisa membaca secepat teman-teman. Tapi
saya harus rajin ke TBM. Biar tetap bisa baca”.
Buat saya, Zahra anak luar biasa.
Sekalipun punya kendala mata. Tapi dia tetap rajin datang ke TBM. Ada
kesungguhan untuk bisa membaca buku. Dan yang paling penting, dia tidak menyerah
dengan keadaannya. Saya pun belajar dari Zahra.
Begitu pula mengelola taman bacaan. Kata orang
sifatnya sosial. Tidak ada rapor, tidak ada absen di taman bacaan. Anak-anaknya
datang sesuka hati. Bila mau datang, bila tidak ya main saja. Saya kira, pengelola
taman bacaan di banyak tempat juga hebat. Mereka bukan hanya peduli. Tapi
kreatif dan terus mencari cara agar taman bacaannya tetap bisa bertahan. Dengan
segala tantangannya. Seperti ponsel, sikap cuek orang tua, kemiskinan, dan
sebagainya.
Bila mau jujur. Tidak banyak pula “orang mampu”
yang peduli pada taman bacaan. Kondisi taman bacaan banyak yang mati suri. Sekitar
70% taman bacaan di Indonesia, survei kecil saya, terkesan “ada tapi tiada”. Nama
TBM-nya ada, tapi aktivitasnya tidak ada. Orang peduli taman bacaan sedikit
sekali. Mereka lebih memilih berbagi ke panti asuhan daripada taman bacaan. CSR
pun lebih memilih tempat yang bisa jadi “panggung sorot kamera” ketimbang taman
bacaan. Walau CSR yang hanya bersifat hit and run; lempar lalu kabur. Tidak
berkelanjutan dan belum tentu ada nilai kemanfaatannya. Begitulah kondisi di
taman bacaan pada umumnya.
Dalam berbagai diskusi sesama
pegiat literasi. Saya selalu katakan. Bahwa pendidikan nonformal itu sama pentingnya
dengan pendidikan formal. Karena itu diatur di UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hanya mungkin di negeri ini,
pendidikan nonformal sudah lama “ditinggalkan” atau kurang diperhatikan. Maka otokritik
saya, pengelola taman bacaan di manapun hanya kirang satu hal. Ap aitu?
KESUNGGUHAN. Bersungguh-sungguh dalam mengeloa taman bacaan. Jangan sambil lalu
atau dianggap sosial sehingga tidak dilandasi “komitmen dan konsistensi”.
Proses pendidikan,
termasuk di taman bacaan, sangat memerlukan kesungguhan. Karena mengelola taman
bacaan adalah sebuah proses panjang, perlu kerja keras, kesabaran dan harus
istiqamah. Jadi kata kuncinya, kesungguhan.
Di taman bacaan, sejatinya,
kita sedang membangun peradaban aksi yang ditanam untuk masa depan anak-anak. Sementara
di luar sana, tidak sedikit orang sedang bergumul peradaban kata-kata. Bijak
dan indah tanpa aksi nyata.
Taman bacaan,
bukan hanya tempat baca. Taman bacaan memang pekerjaan sosial tanpa “panggun
popularitas”. Tapi taman bacaan, di manapaun, harus dikelola dengan kesungguhan,
tekun dalam menjalani prosesnya. Itu harga mati.
Berkiprah di taman bacaan. Bila niatnya baik, tujuannya baik, ikhtiarnya
baik. Doanya baik. Maka KESUNGGUHAN ITU HARUS DIPAKSA. Di taman bacaan memang
capek fisik dan hati, lelah iya, pusing pasti. Bahkan bosan dan malas pasti
sering terjadi. Semuanya harus dilawan dengan “kesungguhan”.
Seperti Ananda Zahra, dari tidak bisa baca hingga bisa membaca walau
terkendala mata. Itu terjadi berkat KESUNGGUHANNYA. Karena itu, tanggal 23 Agustus
lusa saat Agustusan di TBM Lentera Pustaka, Zahra akan mendapat “reward khusus”
sebagai anak rajin yang bersungguh-sungguh membaca di taman bacaan, bersama 4
anak rajin lainnya.
Man Jadda Wajada, siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil.
Insya Allah #TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #PegiatLiterasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar