“Pak, maapin saya ya. Bacanya harus dekat-dekat. Abis mata saya udah susah lihat kalo jauh…” suara Bu Euis, seorang ibu warga belajar Gerakan BERantas BUta aksaRA (Geberbura) di Kaki Gunung Salak.
“Iyaa Bu, gak apa” jawab saya.
Bu Euis, hanya salah satu dari 12 ibu-ibu buta
aksara. Katanya, ia sama sekali tidak ingin terlahir sebagai orang buta huruf. Tapi
apa mau dikata, begitulah adanya. “Maklum Pak, orang kampung. Orang tua saya
juga buta huruf. Sampe tanggal lahir saya pun tidak tahu…” katanya lagi
menambahkan.
Bu Euis, mengaku, dia malu pada anak-anaknya. Apalagi
bila ada pekerjaan rumah dari sekolah. Ada rasa hati ingin membantu anaknya.
Tapi sayang, ia tidak bisa membaca, tidak bisa menulis. Apalagi bantu
mengerjakan PR anaknya. Sehari-hari, kerjanya hanya di rumah. Ia hanya pasrah
menerima nasib. Ekonominya pas-pasan bila tidak mau dibilang miskin. Ehh,
ditambah buta huruf lagi. Banyak orang bukan makin iba padanya. Malah makin
cuek dan tidak peduli. Memang, sudah nasibnya buta huruf. Gampang diremehkan…
Dulu, katanya, ia menanti orang-orang yang bisa
membaca mau mengajarinya. Tapi sayang, bak menggantang asap. Hingga usia 48
tahun pun ia tetap buta huruf. Sebagai ibu rumah tangga, terlalu banyak
waktunya terbuang percuma. Karena tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak berdaya
lagi tidak kuasa. Hingga Minggu siang itu, ia begitu bersemangat menuju Taman
Baca Lentera Pustaka. Untuk belajar membaca sekaligus menulis, sebisa yang dia
mampu. Prinsipnya sederhana. Mumpung ada yang mau ngajarin, ia selalu semangat
untuk dating. Belajar baca dan belajar tulis. Agar tidak lagi buta huruf.
Setibanya di taman baca, ia menegur saya. “Pak, kita
sekolah kan…?” tanya Bu Eusi. Saya pun menjawab lantang, “Sekolah dong Bu…”.
Raut wajahnya pun tampak memecah panasnya terik matahari di Kaki Gunung Salak. “Alhamdulillah
Pak, saya mah mau bisa baca dan tulis atuh Pak” suaranya lirih bak terdengar
dari kejauhan.
B-a Ba, c a ca … baca.
Begitulah cara Bu Euis dan teman-temannya mengeja
kata. Satu per satu, suara itu bergema di taman bacaan. Ibu-ibu yang tidak tahu
lagi zaman verkembang ke arah mana? Ia hanya tahu. Bahwa ia orag kampung, miskin
dan buta huruf. Tapi hebatnya, Bu Euis masih punya tekad. Untuk tetap bisa
membaca, bisa menulis. Mungkin hanya itu yang bisa dibanggakan dirinya esok. Ia
memang bodoh, ia memang buta huruf. Tapi ia, masih mau ikhtiar belajar. Dan semangat
untuk belajar di usia senja dengan penuh ikhlas dan kesungguhan.
“Pak, terima kasih ya. Sudah mau ajarin saya. Semoga Bapak
sehat ya Pak” harapannya terungkap. Seusai diperiksa PR-nya, maju ke papan
tulis untuk menulis lalu membaca sendiri tulisannya. Raut wajah Bu Euis pun
merekah. Seakan dalam hatinya, ia mau berkata. Saya bangga bisa merasakan susahnya
jadi orang yang sedang belajar. Bu Euis pun berhak membawa pulang seliter
beras. Sebagai hadiah ibu buta huruf yang masih mau belajar dengan ikhlas dari
sang guru.
Itulah fakta. Tentang Bu Euis dan 11 ibu lainnya yang
masih belajar di Gerakan BERantas BUta aksaRA (Geberbura) di Taman Baca Lentera
Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor. Ibu-ibu yang tidak mau tergilas zaman. Katanya
era maju era digital, semetara ia tetap tidak bisa baca dan tidak bisa tulis.
Mungkin di pelosok sana di negeri nusantara ini, masih banyak ibu-ibu yang
tetap buta huruf hingga saat ini. Karena mereka yang bisa dan mampu, tetap
belum mau mengajari mereka.
Saya sebagai guru buta aksara. Bu Euis dan teman-temannya
pun. Tetap tetap menjadi “ruang kuliah” yang penuh ilmu. Kaum bawahan yang tetap
mampu melecut saya untuk mau berbuat kepada mereka yang membutuhkan. Bukan
materi, tapi keberanian untuk mengajarkan mereka yang masih buta huruf.
Biar bagaimana pun, Bu Euis adalah suara ibu di kejauhan
yang ingin berteriak, “Tolong ajari saya…”. Suara yang memanggil dengan batin.
Untuk berbuat dan membebaskan mereka dari belenggu buta huruf.
Bu Euis, memang hanya bagian kisah nyata dalam kehidupan.
Tentang kaum ibu yang masih dilanda buta huruf. Di era yang katanya penuh
kecangghan teknologi, era modern yang kian menguatkan ego dan nafsu dunia.
Dari Bu Euis pula saya belajar.
Siapapun
orangnya. Bila mau mengerjakan kebaikan sekalipun tanpa bayaran. Maka suatu
saat, Allah akan “membayar” berkali-kali lipat dari apa yang ia kerjakan.
Seperti seorang buta huruf yang masih mau berjuang untuk bisa membaca dan
menulis. Penuh ikhlas dan kesungguhan, karena ia tahu itu baik.
Maka
hindari prasangka buruk pada orang yang ikhtiar baik …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar