Sabtu, 24 Agustus 2019

Benang Merah Berantas Buta Aksara dan Putus Sekolah di Daerah yang Tidak Terjangkau

Entah sampai kapan buta aksara masih menyelimuti masyarakat kita?
Sementara di luar sana, jutaan orang berebut untuk mendapat “bangku”di perguruan tinggi. Untuk mengejar cita-cita setinggi mungkin. Agar mampu bersaing dan tidak terlindas laju peradaban zaman yang disesaki teknologi canggih. Tapi kaum buta huruf, tetap menjadi warga yang tidak terperhatikan. Warga yang tersisih dan kian terpinggirkan tanpa ada yang peduli.

Memang saat ini, tren angka buta huruf di Indonesia terus menurun. Tinggal 3,4 juta warga lagi atau sekitar 2,7% dari jumlah penduduk. Namun bila masih ada warga yang buta huruf. Itu beraryi, pendidikan tidak sepenuhnya berhasil. Bahkan program wajib belajar yang digaungkan puluhan tahun pun belum tuntas, belum menyentuh semua warga apalagi di kampung-kampung yang tidak terjangkau.

Persoalan buta huruf, tentu bukan soal sepele. Mari kita tarik benang merahnya.
Orang tua atau masyarakat yang buta aksara, akibat tidak bisa baca tulis atau tidak berpendidikan, sangat cenderung tidak menyekolahkan anak-anaknya. Itu pertanda ada potensi putus sekolah di anak-anak mereka. Sehingga menciptakan generasi buta aksara baru. Apalagi bagi orang tua yang miskin atau kesulitan ekonomi sementara sekolah di negeri ini belum semuanya gratis. Maka, anak-anak itu bakal tidak mendapat layanan pendidikan yang layak.

Sebut saja contohnya di Desa Sukaluyu Kec. Tamansari kab Bogor, sebuah kampung di Kaki Gunung Salak Bogor. Dengan tingkat mata pencaharian 71% tidak bekerja atau tidak memiliki –penghasilan tetap maka muncullah 81% warganya hanya berpendidikan SD dan 9% SMP. Maka dapat disinyalir bahwa di lokasi ini terdapat kaum buta aksara. Di sinilah saya berkiprah untuk memberantas buta aksara melalui GErakan BERantas BUta aksaRA (Geber Bura) dan memberi akses bacaan anak-anak melalui Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka.

Orang-orang pintar pasti tahu. Masih adanya warga buta aksara dan anak yang putus sekolah pasti memberi kontribusi terhadap rendahnya HDI (human development index, indeks pembangunan manusia) Indonesia. Bila buta aksara ada, maka HDI masih rendah. Bila angka putus sekolah masih tinggi, maka HDI pun hanya mimpi. Jangankan diajak membangun negeri atau mengambil keputusan, masyarakat yang buta aksara dan putus sekolah pun terus bergelut dengan kemisikinan dan kebodohan.

Maka untuk memberantas buta aksara atau putus sekolah, sungguh bukan hanya butuh terobosan baru. Tapi justru dibutuhkan intensifikasi dalam bentuk program yang berkelanjutan. Bukan sekedara proyek atau program sesaat yang direncanakan para perencana pemerintahan. Karena itu, duduk dan dengarkan masyarakat. Agar masalah itu datang dari masyarakat bukan dari para perencana atau pembuat proposal agar dianggap “punya program” pemberdayaan masyarakat di wilayahnya.


Sudah pasti semua setuju. Buta aksara harus diberantas dan putus sekolah harus ditekan. Kalimat dan tekad itu sudah sering kita dengan di seminar dan di diskusi ilmiah. Tapi bila masih ada warga yang buta aksara dan masih ada anak yang putus sekolah, berarti semua tekad itu gagal dan hanya mimpi. Lalu di mana letak masalahnya?

Masalahnya, program berantas buta aksara dan putus sekolah yang ada “belum menjangkau daerah yang tidak dapat dijangkau”. Artinya, harus ada kesadaran untuk melihat keadaan masyarakat secara objektif. Belaum dapat dijangkau bukan berarti lokasinya jauh atau di pedalaman. Tapi mereka adalah masyarakat yang tidak terperhatikan. Saya menyebutnya kaum buta aksara dan anak putus sekolah “spasial”; ada di dekat kita tapi tidak terdata buta aksara atau putus sekolah akibat ketidak-pedulian kita sendiri. Boleh jadi, kita selama ini punya tekad dan inisiatif keren di atas kertas di otak. Tapi tidak terjun ke lapangan untuk menemukan realitas yang ada di masyarakat.

Berantas buta aksara, menekan angka putus sekolah, sungguh hanya terjadi bila mampu menjangkau daerah yang tak terjangkau bukan secara geografi tapi secara mind set di kepala. Maka di situ, sangat dibutuhkan kepedulian dan penglihatan secara objektif. Tentang masyarakat yang buta aksara dan putus sekolah yang ada di dekat kita tapi tidak terdeteksi secara data pemerintahan.

Berangkat dari realitas itulah, TBM Lentera Pustaka di Kaki Gunung Salak Bogor memberanikan diri untuk menjalankan GErakan BERantas BUta aksaRA (GEBER BURA) sebagai bukti kepedulian untuk memberantas masyarakat yang buta aksara. Memang tidak mudah namun butuh kepedulian dan keberlanjutan. Sekalipun awalnya diikuti 4 ibu-ibu buta aksara dan kini tetap berjalan dengan 8 ibu-ibu yang tiap minggu belajara buta aksara. Setelah berhasil menjalankan program taman bacaan masyarakat dengan 60-an anak pembaca akatif dengan kegiatan membaca seminggu tiga kali dan rata-rata tiap anak mampu membaca 5-8 buku per minggu, kini TBM Lentera Pustaka bertekad “perang total” untuk memberantas buta huruf.

“Aktivitas membaca anak-anak di taman bacaan Lentera Pustaka sudah berjalan dengan 60-an anak pembaca aktif. Kini saya menjalankan program GErakan BERantas BUta aksaRA (Geber Bura) untuk memberantas kaum buta aksara. Inilah yang saya sebut “menjangkan daerah yang tidak terjangkau”, daerah yang terperhatikan akan masih adanya buta aksara dan putus sekolah. Insya Allah, saya jalankan dengan berkelanjutan” ujar Syarifudin Yunus, Pendiri dan Kepala Program TBM Lentera Pustaka, seorang pegiat literasi yang menggagas Geber Bura di Kaki Gunung Sala Bogor.

Maka, urusan buta aksara dan putus sekolah. Hakikatnya harus dimulai dari kepedulian dan dilakukan secara berkelanjutan. Apapun tantangan yang dihadapi, ikhtiar untuk membantu kaum ang tersisih hars tetap tegak di otak kepala kita. Karena tiak akan mungkin buta aksara atau putus sekolah menjadi 0% bila kita tidak peduli dan tidak mau terjun ke lapangan. Lebih baik berbuat daripada berdiam diri. 

Karena urusan buta aksara atau putus sekolah bukan “gimana nanti” tapi “nanti gimana”. Spirit kepedulian harus berpihak kepada mereka …. #GeberBura #TBMLenteraPustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar