Hari ini jelang pilpres 2019, ada
realitas bahasa di dunia politik yang terbelah; penuh sindiran, hujatan bahkan
kebencian. Mulai dari capres-cawapres, koalisinya, dan pendukungnya semua
menari di atas “panggung politik” hanya untuk satu tujuan, yaitu meraih
kekuasaan. Kini teks politik dalam bentuk kata-kata dan kalimat terurai
mengotori bahasa kita, bahasa di jagat media sosial. Komentarnya bernada miring, kata-katanya
bermuatan negatif. Itulah sentimen bahasa politik. Akibat emosi yang
berlebihan. Atau karena iri hati; alias tidak senang. Bentuk reaksinya menjadi
penuh "sentimen".
Di tengah
maraknya fenomena bahasa politik yang penuh sentimen, mahasiswa semester 7
Pendidikan Bahasa Indonesia Unindra justru meluncurkan buku “Sentimen Bahasa
Politik” pada Minggu, 18 November 2018 di Festival Literasi Gunung Salak TBM
Lentera Pustaka. Buku ini hadir sebagai kajian ilmiah teks bahasa politik
yang beredar di media massa atau media sosial. Teks bahasa politik pun harus didekati
dari persfektif bahasa. Bukan hanya didasari pragmatisme politik semata.
“Melalui buku Sentimen
Bahasa Politik, saya mengajarkan mahasiswa untuk menuliskan secara ilmiah
mengapa bahasa politik penuh sentimen. Agar mereka belajar, bahasa yang penuh
sentimen jangan dibalas dengan sentimen. Maka di situ, kita butuh kesantuanan
berbahasa. Kami mendekati teks bahasa politik sebagai realitas berbahasa,
menelaah isi bahasanya lalu ditulis secara ilmiah” ujar Syarifudin Yunus, Dosen
Menulis Ilmiah Unindra di sela acara peluncuran dan bedah buku.
Berbahasa politik penuh sentimen hanya
menjadi sebab rugi; untuk orangnya, untuk bangsanya, bahkan untuk orang yang
dibelanya. Ketika sentimen bahasa politik bergelimpangan. Maka
di situ kita lupa. Bahwa
menjauhkan bahaya dan dampak buruk dari apa yang dikatakan itu lebih utama
daripada memperjuangkan manfaatnya. Menolak terganggunya keharmonian dan
persatuan sebagai bangsa itu lebih penting daripada memenangkan orang yang
belum tentu bisa memperjuangkan mimpinya.
Inilah buku kumpulan artikel ilmiah “Sentimen
Bahasa Politik” yang terbit di tengah hingar-bingar dunia
politik jelang Pilpres 2019. Buku ini merupakan “buah pena” mahasiswa Semester VII (Reguler Sore) Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Indraprasta PGRI
2018/2019 peserta mata kuliah “Menulis Ilmiah”. Sebuah cara belajar beda
dalam dalam
Menulis Ilmiah; karena menulis hanya terjadi bila ditulis.
Buku ini merupakan bentuk
konkret pembelajaran Menulis Ilmiah yang lebih berani, dalam menuliskan dan mempublikasikannya. Karena
menulis adalah sebuah keberanian, bukan pelajaran. Terlepas dari
kekurangan yang ada, buku ini menjadi bukti mahasiswa bisa menulis sekalipun “dipaksa”.
Sentimen bahasa politik, sungguh hanya
kesia-siaan. Karen orang-orang sentimen sering lupa. Bahwa menjauhkan
"bahaya" dan dampak buruk dari apa yang dikatakan itu lebih utama
daripada memperjuangkan manfaatnya. Menolak terganggunya keharmonian dan
persatuan sebagai bangsa itu lebih penting daripada memenangkan orang yang
dibelanya.
Ketika sentimen
terungkap dalam kata-kata, maka kalimat pun retak persis seperti dunia politik,
itu Sentimen Bahasa Politik. #MenulisIlmiahUnindra #SentimenBahasaPolitik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar