Orang dewasa gampang ngomel pada anak-anak yang sikap dan perilakunya dianggap nggak sesuai dengan pikirannya. Seorang ibu mudah marah pada anaknya yang kerjanya main terus. Sepulang kerja, seorang ayah pun sering berkata-kata kasar saat anaknya malas belajar. Marah-marah kepada anak, karena anaknya nggak tutrut perintahnya. Persis seperti marahnya kita hari ini kepada Emanuel Ebenezer (Wamenaker) yang sebelumnya bicara di mana-mana tentang antikorupsi dan gantung koruptor. Tapi nyatanya dia sendiri yang memeras dan korupsi. Pengen marah itu lazim.
Tapi
sayangnya, orang dewasa dan kita jarang mau memberi respek kepada anak-anak
sekolah yang begitu konsisten membaca buku di taman bacaan. Anak-anak yang
memilih ada di TBM bersama-sama secara rutin, sakng guyub dan akrab dengan
buku. Anak-anak tahu waktu kapan harus ke taman bacaan. Anak-anak yang bisa
membagi waktu antara sekolah, belajar, main dan membaca buku. Apa kita respek pada
mereka? Sorry ye (kata Presiden Prabowo), kalua mau dihormati ya hormati dulu
orang lain. Bila mau dihargai, maka hargai dulu orang lain. Menghormati anak-anak
yang rutin membaca buku saja nggak mampu,, apalagi yang lain? Lalu, menyangka apa
anak-anak yang membaca buku paham? Lha, kita yang dewasa saja sering gagal
paham. Milih pemimpin yang nggak jelas, fanatik sama orang bukan ide-gagasan. Apalagi
bersikap respek kepada anak-anak yang membaca. Orang dewasa udah nggak mau baca
tapi susah respek. Nggak gemar bahas gagasan, lebih suka ngomongin orang.
Anak-anak
yang membaca itu bukan kebetulan. Tapi harus didasari komitmen yang kuat untuk
mau menemani mereka membaca. Harus punya konsistensi berkegiatan di TBM. Kapan
bukanya, hari apa, jam berapa? Semuanya harus jelas. Di zaman digital begini, buku
bacaan itu susah diakses apalagi anak-anak di kampung-kampung. Di mana pun, kita
berharap anak-anak Indonesia mau dan bisa berubah ke arah yang lebih baik. Tapi kita lupa, perubahaan itu nggak mungkin
datang dengan sendirinya. Harus ada kesadaran, tekad, dan aksi nyata. Sebab
masa depan anak-anak itu bukan "hadiah". Tapi hasil dari proses dan
langkah-langkah kecil yang dibentuk sejak kecil. Dibiasakan membava sedini
mungkin. Karena itu, TBM Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor selalu
respek kepada anak-anak yang membaca buku. Selalu hormat pada anak-anak yang
mau membagi waktu: antara sekolah, main, dan datang ke taman bacaan.
Apa
dampaknya? Sabar, tunggu saja 10 tahun atau 20 tahun dari sekarang. Saya yakin
anak-anak di TBM Lentera Pustaka tumbuh menjadi remaja atau orang dewasa yang
lebih matang, lebih punya pengalaman. Tentang bagaimana mereka harus
"membawa diri" ke tengah masyarakat. Insya Allah, nantinya anak-anak
yang membaca mampu melihat kembali perjalanan hidup mereka sewaktu kecil dengan
penuh rasa syukur, bukan penyesalan. Anak-anak yang dibesarkan oleh optimism,
bukan pesimisme. Anak-anak yang lebih senang ngomongin ide-gagasan ketimbang ngomongin
orang.
Itulah
yang saya sebut di TBM Lentera Pustaka sebagai "taman bacaan akar
rumput". Taman bacaan yang komit dan konsisten menyediakan akses bacaan,
berjuang mengajak anak-anak membaca. Bukan anak-anak yang “ujug-ujug ada”
seperti di sekolahan. TBM akar rumput yang bersedia mengubah niat baik menjadi
aksi nyata. Karena taman bacaan dan literasi nggak mungkin dibesarkan lewat
narasi apalagi diskusi. Hanya aksi dan eksekusi yang biasa membuat membaca jadi
kebiasaan anak-anak.
Selamat
membaca Nak, kami bangga dan bersyukur bisa menemani kalian! Salam literasi!
#TBMLenteraPustaka #TamanBacaan #BacaBukanMaen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar