Ada yang bertanya, apa itu cinta? Agak sulit menjawabnya. Karena cinta katanya tidak bisa dikatakan tapi bisa dirasakan. Ada lagi yang bilang cinta itu segalanya. Maka tanpa cinta, matilah dia …
Jadi begini, mungkin tidak usah
berlebihan tentang cinta. Karena cinta itu hanya “tools” untuk menjadikan hidup
lebih baik. Maka bila akhirnya karena cinta jadi tidak lebih baik, bahkan jadi
nestapa karena cinta, segera tinggalkan cinta itu. Cinta itu terbukti omong
kosong bila dijalani dengan idealisme. Pasti frustrasi bila cinta diekspektasi
terlalu tinggi. Cinta itu biasa dan waras, tapi mengagumi cinta itu tergolong
“tidak waras “.
Carl Rogers, psikolog AS menyebut
cinta itu bukan sekadar keterikatan emosional atau romantis, melainkan hubungan
mendalam antara dua individu yang sadar dan otentik. Jadi, cinta harus sadar
bukan “kurang sadar” alias “mabuk cibta’. Karenanya, cinta itu butuh
orisinalitas bukan rekayasa atau paksaan. Cinta harus seperti yang dirasa diri
sendiri, bukan topeng sosial atau atas ego semata.
Rogers mengingatkan siapapun yang
bercinta untuk tidak memaksa seseorang agar berubah. Tidak perlu menjadi cocok
karena sesuai harapan pasangannya. Justru, cinta itu menerima dan menghargai
perbedaan sebagai sesuatu yang memperkaya hubungan. Ini selaras dengan konsep
Rogers tentang unconditional positive regard — penerimaan tanpa syarat
terhadap orang lain.
Cinta itu harus menghormati keunikan
masing-masing dan saling membantu untuk berkembang menjadi lebih baik. Jadi,
tidak ada tuntutan atau paksaan dalam cinta. Cinta mengalir dan kian dewasa
karena kesadaran akan kekurangan dan kelebihan pasangannya. Maka lucu, bila ada
yang bercinta. Tapi tidak boleh ini tidak boleh itu. Terlalu banyak aturan, itu
bukan cinta tapi penjara.
Rogers percaya, melalui terapi
klinis”, cinta itu jafi tempat yang subur bagi pertumbuhan pribadi. Ketika dua
orang saling mencintai dalam pengertian yang sehat, masing-masing menjadi
cermin dan pendukung bagi perjalanan jiwa raga satu sama lainnya yang mencerdaskan.
Karena cinta bukan tentang mengekang, melainkan mendorong untuk menjadi versi
terbaik dari diri masing-masing. Cinta yang apa adanya, jauh dari ekspektasi
ideal dan utopia masing-masing.
Sepanjang pengalaman saya 29 tahun
bercinta dengan istri, ternyata cinta tidak cukup hanya dengan hati dan
perasaan. Tapi harus dikendalikan oleh akal sehat. Maka cinta adalah permainan
akal, bukan main perasaan. Cerdas dlama bercinta, namanya.
Cinta yang cerdas itu seperti “minum
es teh manis” berdua sambil disedot. Tapi cinta berubah jadi bodoh bila “minum
es teh manis” berdua tapi ditiup. Begitulah cinta, salam literasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar