Sedari pagi, Pak Darto duduk di bangku taman, menatap jalanan yang ramai dengan tatapan kosong. Di pinggiran kota Jakarta. Dulu, jalanan itu adalah bagian dari rutinitasnya. Setiap pagi, ia berjalan tegap dengan pakaian rapi. penuh semangat menuju kantornya. Senbuah perusahaan ekspedisi yang menjadi tempatnya bekerja selama 28 tahun. Tapi sekarang, yang tersisa hanyalah kenangan.
Pensiun.
Kata itu masih terasa asing di telinganya. Bagaimana bisa hidup tanpa gaji
bulanan? Tanpa tunjangan ini itu? Pak Darto tidak pernah benar-benar
memikirkannya. Ia terlalu sibuk bekerja, mengejar karier, dan membesarkan
anak-anaknya. Ia lupa mempersiapkan hari tuanya sendiri.
Kini, anak-anaknya
sudah dewasa dan memiliki keluarga sendiri. Mereka baik, sesekali mengirimkan
uang, tetapi Pak Darto tidak mau terus-menerus bergantung kepada anak-anaknya. Ia
ingin mandiri, tetapi apa daya? Usianya sudah senja, tidak ada perusahaan yang
mau menerimanya bekerja. Pak Darto sudah jadi pensiunan.
Setiap hari,
Pak Darto datang ke taman kota. Bukan untuk menikmati udara segar, melainkan
untuk mencari sisa-sisa rezeki. Ia memungut botol plastik bekas, atau sisa-sisa
acara yang bisa dijualnya ke pengepul. Berharap bisa mendapat rezeki di taman
kota. Terkadang, ada pejalan kaki yang sedang olahraga merasa iba, lalu memberinya
sedikit uang. Tapi itu tidak seberapa dan tentu tidak cukup untuk biaya hidupnya
di hari tua.
Di rumah,
istrinya, Bu Rini, juga merasakan hal yang sama. Mereka harus berhemat,. Tidak
jarang Pak Darto dan istrinya mengurangi jumlah makan dalam sehari, bahkan
menahan diri untuk tidak membeli apa pun. Tagihan listrik dan air terus datang,
menambah beban pikiran mereka setiap bulan. Mereka bingung, apa yang bisa diperbuat
menjalani hari tua dalam kondisi ekonomi yang sulit. Mau bagaimana dan harus
apa, serba bingung.
Pak Darto
sering bertanya pada diri sendiri, di mana salahnya? Kenapa hari tuanya jadi
seperti ini? Ia merasa telah bekerja keras sepanjang hidupnya, tapi kenapa
tidak ada jaminan untuk hari tuanya?
Suatu sore,
seorang pemuda menghampirinya. Pemuda itu tersenyum dan menyapanya dengan
sopan. "Pak, maaf mengganggu. Saya dari komunitas sosial. Kami ada sedikit
bantuan untuk para lansia," kata pemuda itu.
Pak Darto
terkejut. Ia tidak pernah menyangka akan menerima bantuan yang lumayan banyak.
Ada beras sekarung dilengkapi dengan minyak goreng, mie instan, gula pasir, dan
banyak lagi. Bahkan di dalam kantong terdapat amplop berisi uang. Air mata Pak
Darto tiba-tiba menggenang saat menerima bantuan itu. Ia tidak tahu harus
berkata apa.
"Terima
kasih, Nak. Terima kasih banyak," hanya itu yang bisa diucapkannya. Pak
Darto menerimanya dengan tangan gemetar. Ia merasa ada setitik harapan di
tengah kesepian dan kesulitan hidupnya di masa pensiun.
Malam itu,
Pak Darto dan Bu Rini makan dengan lahap. Untuk pertama kalinya dalam waktu
yang lama, mereka bisa makan kenyang. Mereka berdoa bersama, bersyukur atas
bantuan yang diterimanya. Pak Darto sadar, bantuan ity tidak akan bertahan lama.
Tapi setidaknya, ia tahu bahwa ia tidak sendirian. Masih ada orang-orang yang
peduli, yang mau membantunya melewati masa-masa sulit di hari tuanyai. Dan itu,
cukup untuk membuatnya bertahan hidup.
-----
Hingga suatu
hari di senja yang sepi di taman kota. Sambil menatapi air mancur, Pak Darto merenung
akan kondisi hari tuanya. Kesulitan masalah keuangan, ingin lepas dari himpitan
ekonomi. Daya belinya menurun, dan mengenang ternyata masa bekerja yang tergolong
mentereng tidak jadi jaminan untuk bisa hidup tenang di masa pensiun. Sambil
menyesalinya, Pak Darto hanya berpikir dalam hati, “Seandainya dulu saat
bekerja, dia ikut dana pensiun. Mungkin hidup di hari tuanya tidak sesulit ini”.
Ternyata, dana pensiun itu penting untuk hidup di hari tua yang nyaman. “Kerja
yes, pensiun oke”, ujar Pak Darto membatin. Salam #YukSiapkanPensiun
#SadarPensiun #EdukasiDanaPensiun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar