Tertunduk bukan berarti lemah. Menangis pun bukan berarti kalah. Melainkan karena telah berusaha keras untuk menemukan jasad sang anak di Sungai Aare. Pilu Kang Emil adalah pilu kita semua. Kesedihan semua orang tua, kesedihan bangsa yang kehilangan sosok muda yang cerdas dan ber-akhlak baik.
Pilu Kang Emil, bisa dirasakan semua
orang. Pergi untuk mendaftarkan anak kuliah S-2 di Swiss. Tapi apa mau dikata.
Allah SWT, sang pemilik jagat raya lebih mencintainya. Memanggil pulang ke
hadirat-Nya. Siapa pun makhluk hidup, tanpa terkecuali, pasti akan mati. Tidak
akan pernah bisa menghindari takdir-Nya.
Dari pilu Kang Emil. Tanpa maksud menggurui,
setiap manusia itu bak sebutir debu yang harus selalu siap ditelan samudera.
Bahwa tiap orang berjalan dengan ujiannya sendiri. Dan dari situlah, dia ditempa
untuk menjadi pribadi yang sabar dan ikhlas. Sambil terus bertawakal
kepada-Nya. Pilu Kang Emil pun jadi cara alam mengajarkan kepada kita akan pentingnya
sikap empati kepada sesama.
Dari lubuk hati yang dalam, teriring doa.
Semoga Kang Emil dan keluarga diberi ketabahan untuk menerima kepergian Ananda Eril.
Insya Allah, Ananda Eril husnul khotimah. Karena Allah SWT lebih tahu jalan
terbaik untuk hamba-Nya. Selalu ada hikmah dari setiap
hal yang dialami manusia.
Kematian pun kepergian.
Selalu meninggalkan pilu yang sulit disembuhkan. Seperti cinta pun selalu meninggalkan
kenangan yang tidak bisa dicuri siapa pun. Sungguh,
sehebat dan sekokoh apa pun dinding yang kita bangun di dunia ini. Sama sekali tidak
akan mampu menahan
kesedihan saat orang tua kehilangan anaknya.
Pilu Kang Emil di mata pegiat literasi. Bahwa tertunduk itu bukan lemah. Tapi untuk menyatakan dalam hati. Manusia itu bukan
apa-apa tanpa-Nya. Untuk selalu eling. Bahwa ada waktu untuk datang, dan ada saatnya
untuk pergi. Untuk siapa pun dan di mana pun.
Selamat jalan ananda
Eril, doa kami menyertaimu ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar