Suatu kali. Ada orang-orang pintar ngobrol di kedai kopi. Lalu, mereka bilang begini “Kenapa ya, bangsa Indonesia yang kaya raya gini kok penduduknya masih banyak yang miskin?” Bagi saya, itu obrolan orang keder. Mereka yang ngobrol, mereka yang tanya pula. Tapi aneh, bila tidak ada yang bisa menjawab. Padahal jawabannya sederhana. Karena mereka tidak mau mengakui. Bahwa mereka, mungkin tergolong kaum yang tidak mampu berbuat apa-apa. Fokus kepada masalah, bukan solusi. Banyak bicara tapi sangat sedikit berbuat.
Pengakuan,
bisa jadi hal yang paling langka hari-hari ini.
Ya,
pengakuan bukan keakuan. Sebuah keberanian, untuk mengaku atau mengakui.
Mengaku tentang apa saja. Tentang cara atau perbuatan untuk mengaku. Sesuatu
yang nyata terjadi dan harus diakui. Mengaku salah, mengaku banyak kekurangan,
mengaku tidak membaca buku. Mengaku apapun, apa adanya. Itulah sebuah
pengakuan.
Mengaku
bahwa Covid-19 bukan wabah biasa. Puluhan ribu bahkan jutaan manusia meninggal
dunia. Covid pula yang jadi sebab anak-anak tidak ke sekolah. Mahasiswa
terpaksa kuliah daring. Bahkan orang kerja disuruh dari rumah. Lalu, kenapa masih
tidak percaya Covid-19 itu ada? Apalagi ikut menebar hoaks tentang Covid. Sungguh,
Tindakan yang butuh pengakuan.
Mudik
lebaran jelas sudah, dilarang. Tapi kenapa masih banyak yang cari strategi
untuk tetap bisa mudik? Stasiun dan bandara tetap saja ramai. Hingga aturan
mudik makin dipersulit, waktunya pun jadi diperpanjang. Kok bisa terjadi
begitu? Sungguh, semua itu harus diakui.
Orang
Indonesia. Setengah dari populasinya, 180-an juta, kini punya akses terhadap
internet. Tapi sayang, tradisi bacanya tidak lebih dari 1 jam sehari. Sementara
berselancar di dunia maya bisa 5-8 jam sehari. Internet di genggaman tangan
tapi dipakai untuk hal yang tidak produktif. Saat diingatkan, langsung jawab. Kuota
punya gue, handphone punya gue. Ngapain sih mikirin urusan orang?
Sebuah
pengakuan memang penting. Untuk muhasabah diri, untuk instrospeksi.
Karena
sejatinya, banyak sisi kehidupan kita yang belum mau diakui. Bahkan bisa jadi
belum bisa diterima oleh jiwa dan raga. Masih belum percaya, tentang realitas
yang terjadi. Persis seperti orang yang puyeng tapi berlagak tenang. Seperti
orang gak punya uang tapi bergaya selangit. Seperti kaum jomblo yang sibuk
ingin berduaan. Seperti orang-orang yang merasa peduli. Tapi tidak berbuat
apa-apa. Ibarat “orang yang memegang buku tapi tidak pernah dibacanya”. Itulah
realitas yang harus diakui.
Mengaku
atau mengakui realitas sebenarnya. Memang sulit dilakukan. Termasuk mengakui
kekurangan diri. Berani meminta maaf saat mengakui salah. Lalu, kenapa harus
membenci orang tidak seharusnya dibenci? Sebuah pengakuan, harus dilakukan
sesulit apapun keadaannya. Bukankah orang kalah itu bukan berarti salah? Orang
tidak sepaham itu bukan berarti benci. Jadi, akuilah.
Saya
pun harus mengakui. Sudah 5 tahun ini, saya gagal menyelesaikan naskah
buku-buku yang harus saya selesaikan. Mulai dari Allah First, Gue Gak Bisa
Nulis, The Art of Pension; From Values to Heroes, Belajar Dari Orang Goblok, Penelitian
Pendidikan Bahasa dan Sastra, dan Kompetensi Menulis Ilmiah. Harus
diakui, saya lalai untuk menuntaskan naskah buku-buku itu. Tapi saya berjanji
untuk tetap bisa menyelesaikan dan menerbitkannya.
Di
Hari Buku Sedunia, 23 April ini. Bisa jadi momen pengakuan. Bahwa membaca itu
penting. Siapapun harusnya sadar tradisi baca dan budaya literasi harusnya jadi
bagian hidup setiap anak manusia. Apalagi di tengah gempuran era digital. Buku-buku
harusnya bukan hanya dipajang atau ditumpuk. Tapi dibaca dan diterapkan ilmunya.
Karena hidup tanpa membaca itu ibarat tubuh tanpa jiwa.
Sebuah
pengakuan itu penting. Untuk introspeksi diri, muhasabah diri apalagi di bulan
puasa. Karena banyak hal yang harus terus diperbaiki. Sebagai diri, sebagai
lingkungan maupun sebagai bangsa. Untuk berpikir lebih positif dan tetap berbuat
baik. Agar hidup atas apa yang diperbuat
bukan atas yang diomongkan.
Pengakuan,
adalah catatan penting Hari Buku Sedunia. Bersikap untuk berani membaca buku.
Sambil selalu membersihkan hati,
meningkatkan iman. Karena tidak ada iman yang baik tanpa hati yang bersih. Pengakuan
pun lebih terhormat daripada mencari pembenaran. Apalagi mencari kesalahan
orang lain. Tapi mengakui bahwa diri sendiri masih banyak khilaf dan salah. Sehingga
berani mengakui diri sendiri apa adanya, bukan berjuang menjadi seperti yang
ingin diakui orang lain. Salam literasi #KampanyeLiterasi #HariBukuSedunia
#TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar