Rabu, 21 April 2021

Kartini Itu Sosok Perempuan yang Membaca dan Menulis

Selamat Hari Kartini. Begitu kalimat yang meramaikan linimasa banyak orang di media sosial. Lalu, apa hikmah yang bisa dipetik dari peringatan Hari Kartini?

 

Kartini itu bukan soal pejuang emansipasi wanita. Karena diskursus tentang emansipasi wanita hari ini, bisa jadi sudah kelar atau sudah mencapai 80%. Hanya wanita-wanita yang kurang beruntung yang belum ter-emansipasi. Itu pun akibat dari kemiskinan atau ketidak-adaan akses ekonomi. Tapi lebih penting dari itu. Bahwa Kartini adalah sosok perempuan yang membaca dan menulis. Kumpulan surat-surat Kartini pada periode 1879-1904 yang kemudian diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul asli “Door Duisternis tot Licht” atau “Habis gelap Terbitlah Terang” jadi bukti Kartini menulis dan membaca. Kartini itu sosok perempuan literat.

 

Kartini pun banyak membaca. Mulai dari surat kabar hingga majalah, termasuk majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan.  Majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie juga jadi bacaan langganannya. Maka banyak tulisan Kartini juga dimuat majalah tersebut. Lagi-lagi jangan lupa, Kartini itu sosok yang membaca apa saja dan menulis dengan penuh kesungguhan. Perjuangan menjadi sosok wanita yang literat itulah yang kini penting dikemukakan dan diteladani dari Kartini.

 

Kartini memang sosok literat. Di saat usianya belum 20 tahun, Kartini sudah tuntas membaca buku-buku seperti: Max Havelaar, Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraacht atau Kekuatan Gaib karya Louis Coperus, dan Die Waffen Nieder atau Letakkan Senjata karya Berta Von Suttner. Semua buku yang dibaca Kartini pun berbahasa Belanda. Esai berjudul Upacara Perkawinan Pada Suku Koja pun jadi karya Kartini yang tidak dapay dikesampingkan.

 

Apa yang saya mau katakan di sini? Jelas, bahwa Kartini adalah sosok perempuan yang membaca dan menulis. Sekalipun hidup di zaman yang belum maju, Kartini sangat literat. Sadar akan pentingnya membaca dan menulis dalam hidupnya. Hingga menjadi bagian dari sejarah. Sederhana sekali, peringatan Hari Kartini harusnya bisa mengembalikan kita dan publik di bumi Indonesia untuk membaca dan menulis. Karena membaca dan menulis, Kartini diperingati sebagai sosok bersejarah. Dari membaca, dia mengintip dunia lain di di luar dirinya. Dari menulis, dia ber-ekspresi dan mengungkap cita-citanya untuk dunia.

 


Kartini bukan soal emansipasi. Bukan lagi soal kesetaraaan gender. Apalagi soal antipoligami. Tapi Kartini patut diteladani sebagai sosok yang literat. Sosok perempuan yang bergelimang nilai-nilai. Bukan perempuan yang mengejar status sosial sebagai harga. Tapi lupa kodrat yang berpegang pada nilai-nilai keperempuanan. Feminisme Kartini bukan hanya sebatas gerakan. Tapi diikuti oleh tindakan untuk memajukan kaumnya, memajukan bangsanya.

 

Maka Kartini hari ini. Harusnya dilihat sebagai sikap. Bukan ambisi apalagi perjuangan eksistensi. Emansipasi itu orientasinya ditanam ke dalam diri, bukan dikejar ke luar diri. Karena sikap Kartini itu jadi cerminam perbuatan yang berdasar pada keyakinan untuk lebih bernilai. Bukan ambisi berupa hasrat atau nafsu untuk menjadi sesuatu. Salah bila Kartini hanya ngotot meraih status, pangkat atau kedudukan untuk mengangkat eksistensi sosial.

 

Sungguh, emansipasi wanita di zaman now sama sekali bukan isu lagi. Karena hari ini, begitu banyak wanita yang bekerja keras. Berkarier untuk menghidupi keluarganya. Bahkan tidak sedikit wanita berstatus single parent merangkap predikat ibu sekaligus ayah. Atas sebab apa pun. Di bumi ini, wanita sudah pasti punya hak bekerja, hak pendidikan, bahkan hak dipilih dalam politik. Tapi itu semua bukan alasan wanita-wanita harus menjelma jadi laki-laki. Agar disebut berhasil dalam emansipasi. Atau agar ingin dihargai dan diterima kaum laki-laki. Kartini bukan soal wanita tidak boleh lebih rendah dari laki-laki. Tapi ada nilai-nilai yang powerfull dari seorang Kartini.

 

Hari ini. Menjadi wanita yang sukses, wanita yang pintar, dan wanita yang kaya tidaklah susah. Tapi menjadi wanita yang solehah, wanita yang bersyukur, wanita yang sabar itu sama sekali tidak mudah. Maka wanita harus bersikap sesuai kodratnya. Apapun pangkat dan jabatannya. Karena kaum Kartini sadar bahwa "ada di dunia" untuk "tetap ada di akhirat".

 

Bila ada hari ini, banyak wanita gampang lupa kewajibannya. Wanita yang hebat dalam pendidikan dan karier. Akibat mengejar urusan dunia. Tapi di saat yang sama, mereka gagal dalam mengemban amanah. Entah sebagai ibu atau istri di rumahnya. Karena Kartini hanya dianggap ambisi, bukan sikap.

 

Kartini ya kartini. Wanita ya wanita.

Maka Kartini bukan simbol pemberontakan wanita terhadap kodrat kewanitaannya. Kartini tidak pernah berjuang untuk setara dengan laki-laki lalu melupakan kodratnya. Ketahuilah, Kartini adalah sosok literat. Maka Kartini berhak berjuang untuk mencapai apa yang dicita-citakannya. Tapi Kartini pun tidak pernah merasa sudah berjuang mati-matian untuk anak-anaknya. Lalu boleh “melukai hati” anak dengan kata-katanya, dengan caci-makinya.

 

Ada pelajaran dari Kartini. Bahwa jadi sosok literat itu penting. Bukan hanya membaca dan menulis. Tapi mampu memahami realitas kehidupan dengan baik. Maka pesan penting Hari Kartini adalah “membangun sikap bukan mengokohkan ambisi”. Salam literasi #SelamatHariKartini #BudayaLiterasi #TBMLenteraPustaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar