Selamat Hari Kartini. Begitu kalimat yang meramaikan linimasa banyak orang di media sosial. Lalu, apa hikmah yang bisa dipetik dari peringatan Hari Kartini?
Kartini itu bukan soal pejuang emansipasi wanita.
Karena diskursus tentang emansipasi wanita hari ini, bisa jadi sudah kelar atau
sudah mencapai 80%. Hanya wanita-wanita yang kurang beruntung yang belum
ter-emansipasi. Itu pun akibat dari kemiskinan atau ketidak-adaan akses ekonomi.
Tapi lebih penting dari itu. Bahwa Kartini adalah sosok perempuan yang membaca
dan menulis. Kumpulan surat-surat Kartini pada periode 1879-1904 yang kemudian diterbitkan pada tahun 1911 dengan judul asli “Door Duisternis tot
Licht” atau “Habis gelap Terbitlah Terang” jadi bukti
Kartini menulis dan membaca. Kartini itu sosok perempuan literat.
Kartini pun banyak membaca. Mulai dari surat kabar hingga majalah, termasuk majalah kebudayaan dan ilmu
pengetahuan. Majalah wanita Belanda “De Hollandsche Lelie” juga jadi bacaan langganannya. Maka banyak tulisan Kartini juga dimuat majalah
tersebut. Lagi-lagi jangan lupa, Kartini itu sosok yang membaca apa saja dan
menulis dengan penuh kesungguhan. Perjuangan menjadi sosok wanita yang literat
itulah yang kini penting dikemukakan dan diteladani dari Kartini.
Kartini memang sosok literat. Di saat usianya belum 20
tahun, Kartini sudah tuntas membaca buku-buku seperti: Max Havelaar, Surat-Surat Cinta karya Multatuli, De Stille Kraacht atau Kekuatan Gaib karya Louis Coperus, dan Die Waffen Nieder atau Letakkan Senjata karya Berta Von Suttner. Semua buku yang dibaca Kartini pun berbahasa Belanda. Esai berjudul “Upacara Perkawinan Pada Suku Koja” pun jadi karya Kartini yang tidak dapay dikesampingkan.
Apa yang saya mau katakan di sini? Jelas, bahwa
Kartini adalah sosok perempuan yang membaca dan menulis. Sekalipun hidup di
zaman yang belum maju, Kartini sangat literat. Sadar akan pentingnya membaca
dan menulis dalam hidupnya. Hingga menjadi bagian dari sejarah. Sederhana
sekali, peringatan Hari Kartini harusnya bisa mengembalikan kita dan publik di
bumi Indonesia untuk membaca dan menulis. Karena membaca dan menulis, Kartini diperingati
sebagai sosok bersejarah. Dari membaca, dia mengintip dunia lain di di luar dirinya.
Dari menulis, dia ber-ekspresi dan mengungkap cita-citanya untuk dunia.
Kartini bukan soal emansipasi. Bukan lagi soal
kesetaraaan gender. Apalagi soal antipoligami. Tapi Kartini patut diteladani
sebagai sosok yang literat. Sosok perempuan yang bergelimang nilai-nilai. Bukan
perempuan yang mengejar status sosial sebagai harga. Tapi lupa kodrat yang
berpegang pada nilai-nilai keperempuanan. Feminisme Kartini bukan hanya sebatas
gerakan. Tapi diikuti oleh tindakan untuk memajukan kaumnya, memajukan
bangsanya.
Maka Kartini hari ini. Harusnya dilihat
sebagai sikap. Bukan ambisi apalagi perjuangan eksistensi. Emansipasi itu orientasinya
ditanam ke dalam diri, bukan dikejar ke luar diri. Karena sikap Kartini itu jadi
cerminam perbuatan yang berdasar pada keyakinan untuk lebih bernilai. Bukan ambisi
berupa hasrat atau nafsu untuk menjadi sesuatu. Salah bila Kartini hanya ngotot
meraih status, pangkat atau kedudukan untuk mengangkat eksistensi sosial.
Sungguh, emansipasi wanita di zaman now sama sekali
bukan isu lagi. Karena hari ini, begitu banyak
wanita yang bekerja keras. Berkarier untuk menghidupi keluarganya. Bahkan tidak
sedikit wanita berstatus single parent merangkap predikat ibu sekaligus ayah. Atas sebab apa
pun. Di bumi ini, wanita sudah pasti punya hak bekerja, hak pendidikan, bahkan hak
dipilih dalam politik. Tapi itu semua bukan alasan wanita-wanita harus menjelma
jadi laki-laki. Agar disebut berhasil dalam emansipasi. Atau agar ingin
dihargai dan diterima kaum laki-laki. Kartini bukan soal wanita tidak boleh
lebih rendah dari laki-laki. Tapi ada nilai-nilai yang powerfull dari
seorang Kartini.
Hari ini. Menjadi wanita yang sukses, wanita yang
pintar, dan wanita yang kaya tidaklah susah. Tapi menjadi wanita yang solehah,
wanita yang bersyukur, wanita yang sabar itu sama sekali tidak mudah. Maka
wanita harus bersikap sesuai kodratnya. Apapun pangkat dan jabatannya. Karena kaum
Kartini sadar bahwa "ada di dunia" untuk "tetap ada di
akhirat".
Bila ada hari ini, banyak wanita gampang lupa
kewajibannya. Wanita yang hebat dalam pendidikan dan karier. Akibat mengejar
urusan dunia. Tapi di saat yang sama, mereka gagal dalam mengemban amanah.
Entah sebagai ibu atau istri di rumahnya. Karena Kartini hanya dianggap ambisi,
bukan sikap.
Kartini ya kartini. Wanita ya wanita.
Maka Kartini bukan simbol pemberontakan
wanita terhadap kodrat kewanitaannya. Kartini tidak pernah berjuang untuk
setara dengan laki-laki lalu melupakan kodratnya. Ketahuilah, Kartini adalah
sosok literat. Maka Kartini berhak berjuang untuk mencapai apa yang
dicita-citakannya. Tapi Kartini pun tidak pernah merasa sudah berjuang
mati-matian untuk anak-anaknya. Lalu boleh “melukai hati” anak dengan
kata-katanya, dengan caci-makinya.
Ada pelajaran dari Kartini. Bahwa jadi sosok literat
itu penting. Bukan hanya membaca dan menulis. Tapi mampu memahami realitas kehidupan
dengan baik. Maka pesan penting Hari Kartini adalah “membangun sikap bukan
mengokohkan ambisi”. Salam literasi #SelamatHariKartini #BudayaLiterasi
#TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar