Banyak
orang terkejut, saat UU Cipta Kerja disahkan DPR, 5 Oktober 2020 lalu. Seakan
secepat kilat dan kejar tayang. Wajar mengundang reaksi publik. Kalangan pekerja
dan buruh pun menolak lalu demonstrasi. Katanya, UU Cipta Kerja dapat 1) memacu
peningkatan investasi di Indonesia, 2) Mengatrol pertumbuhan ekonomi nasional,
dan 3) menciptakan lapangan kerja baru lebih banyak. Boleh saja, asal bisa
dibuktikan dan sangat ditunggu realisasinya. Bukan begitu Bapak/Ibu yang
terhormat?
Nah,
salah satu bahasan yang bikin “gaduh” di UU Cipta Kerja adalah soal pesangon
dan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Menyangkut klaster ketenagakerjaan dan
berurusan langsung dengan pekerja atau buruh. Beragam isu muncul tentang
pesangon dan PHK. Bahkan hoaks atau berita bohong seputar pesangon dan PHK pun
beredar luas. Seperti uang pesangon dihilangkan, PHK bisa dilakukan secara
sepihak dan tidak ada pesangon, dan sebagainya.
Maka
untuk membantu pemahaman tentang pesangon dan PHK yang ada di UU Cipta Kerja, berikut
butir-butir yang perlu diketahui publik dan pekerja. Setidaknya ada 14 butir
yang harus dicermati terkait pesangon dan PHK di UU Cipta Kerja, antara lain:
1. UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan dengan tegas di Pasal
156 menyatakan ayat (1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,
pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan
uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Patut diketahui, UU ini hanya
mengatur hal-hal pokok terkait alasan PHK, sedangkan hal-hal teknis termasuk
tata cara PHK dan besaran kompensasi PHK akan diatur dalam Peraturan Pemerintah
(PP).
2. Nilai kompensasi dasar PHK atau uang pesangon tetap ada dan
tidak berubah, terdiri dari: a) uang pesangon (UP)
maksimal 9 kali upah, disesuaikan masa kerja (ayat 2), b) uang penghargaan masa
kerja (UPMK) maksimal 10 kali upah, disesuaikan masa kerja (ayat 3), dan c)
uang penggantian hak (UPH) seperti cuti tahunan dan biaya/ongkos
pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya tetap
berlaku (ayat 4). Kecuali uang penggantian hak kesehatan dan perumahan dengan faktor 15% upah
dihapus. Kenapa dihapus? Karena dianggap sudah ter-cover dari BPJS Kesehatan
dan Tapera.
3. UU Cipta Kerja menambahkan
program baru Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bila pekerja mengalami PHK. JKP diselenggarakan
berdasarkan prinsip asuransi sosial ini tidak menambah beban bagi pekerja/buruh dan manfaatnya cash benefits. Konon
kabarnya sebesar 6 kali upah. Anggap
saja, JKP sebagai iktikad baik bahwa “negara hadir” untuk pekerja yang di-PHK.
4. Jadi intinya, besaran pesangon akan diatur secara teknis dalam PP (Peraturan
Pemerintah) sebagai turunan dari UU Cipta Kerja. Alokasinya UP + UPMK = 19 kali upah. Tapi bukan
tidak mungkin, PP akan mengatur uang pesangon untuk jenis PHK tertentu menjadi
2 kali UP + 1 UPMK = 28 kali upah. Kenapa tidak? Maka penting penyusunan
PP dikawal dengan ketak dan seksama.
5.
Untuk alasan PHK, UU
Cipta Kerja Pasal 154A menyebutkan (PHK) dapat dilakukan perusahaan atas 14 alasan. Tadinya ada 9 alasan
perusahaan boleh melakukan PHK (UU Ketenagakerjaan) seperti: 1) bangkrut, 2) tutup
karena merugi, 3) perubahan status perusahaan, 4) melanggar perjanjian kerja,
5) melakukan kesalahan berat, 6) memasuki usia pension, 7) mengundurkan diri,
8) meninggal dunia, dan 9) mangkir. Lalu UU Cipta Kerja menambah 5 alasan PHK
lagi, yaitu: 10) efisiensi, 11) melakukan penggabungan, peleburan,
pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan, 12) keadaan penundaan kewajiban
pembayaran utang, 13) melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh, dan 14)
mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak
dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan. Hal
ini bisa jadi sumber “ketakutan” pekerja. Karena ada ruang PHK sepihak
lebih besar dilakukan perusahaan. Maka PP harus mengatur dengan jelas dan pemerintah
harus ekstra hati-hati memonitor PHK yang dilakukan perusahaan. Agar tidak
semena-mena kepada pekerja.
6.
Lalu apakah PHK akibat ke-14 alasan
di atas, pekerja tidak mendapatkan uang pesangon? Sementara
itu Pasal 167 UU Ketenagakerjaan yang mengaitkan program pensiun dengan
pesangon nyata-nyata dihapus di UU Cipta Kerja. Maka jawabnya, lagi-lagi soal
besaran kompensasi pesangon akibat PHK akan diatur dalam PP sesuai amanat Pasal 156 ayat (5)
UU Cipta Kerja.
7.
Jadi dapat disimpulkan, soal pesangon dan PHK di UU Cipta Kerja kata kuncinya terletak di Peraturan
Pemerintah (PP) yang akan disusun dalam waktu dekat. Hal-hal teknis terkait
tata cara PHK dan besaran kompensasi PHK akan dituangkan ke dalam PP dan harus dikawal ketat agar membuka
ruang masukan publik untuk memberi masukan. Jangan sampai UU Cipta Kerja ini
justru jadi masalah di kemudian hari.
8.
Penting
pula untuk disampaikan, seharusnya PP soal pesangon dan PHK sebagai turunan UU
Cipta Kerja ini juga memuat aspirasi tentang program pensiun yang
ada kaitannya dengan pesangon (seperti yang
ada pada Pasal 167 UU Ketenagakerjaan). PP perlu mempertimbangkan
program pensiun sukarela yang sudah ada dan dimiliki perusahaan/pemberi kerja
agar dapat dikompensasikan (offset) sebagai kewajiban pesangon untuk
semua alasan PHK, bukan hanya usia pensiun".
9.
Pesangon dan PHK adalah isu
sensitif di pekerja/buruh. PP turunan UU Cipta Kerja
harus merinci dengan optimal. Karena
faktanya, saat besaran pesangon diatur 32,2 kali upah (sesuai UU Ketenagakerjaan)
pun implementasinya hanya 7% perusahaan yang patuh memberikan pesangon sesuai
ketentuan yang berlaku. Itu berarti, banyak perusahaan yang abai terhadap
ketentuan atau regulasi. Maka wajar soal pesangon dan PHK seringkali membuat pekerja/buruh
demonstrasi. Soal hak pekerja yang tidak dibayarkan.
10. Sementara pada naskah
sosialisasi UU Cipta Kerja yang beredar versi Kemenaker dan DPR RI tercantum kalimat
paling atas yang berbunyi “Pemerintah memastikan bahwa
pesangon betul-betul menjadi hak dan dapat diterima oleh pekerja/buruh”. Itu berarti, pemerintah berkomitmen untuk memastikan pembayaran pesangon
kepada pekerja betul-betul sesuai aturan. Perusahaan tidak boleh abai terhadap
pesangon yang menjadi hak pekerja saat melakukan PHK.
11. Maka selain penegakan hukum kepada perusahaan yang ketat, pemerintah
melalui PP UU Cipta Kerja seharusnya mewajibkan “pendanaan pesangon”
benar-benar dilakukan perusahaan/pemberi kerja. Agar saat terjadi PHK, uang
pesangon benar-benar tersedia. Karena selama ini, problem besar pesangon adalah
soal ketersediaan dana, bukan di regulasi. Pendanaan pesangon wajib dilakukan
perusahaan. Di mana didanakan dan bagaimana melaporkannya?
12. Pesangon adalah kewajiban perusahaan/pemberi kerja yang
telah mempekerjakan pekerja. Maka saat PHK terjadi atau pensiun, uang pesangon
pekerja harus tersedia dan siap dibayarkan. Terlepas dari besaran pesangon yang akan diatur dalam PP,
perusahaan atau pemberi kerja harus memiliki kesadaran untuk
"mendanakan" uang pesangon. Akan lebih baik bila didanakan secara
terpisah dari sistem keuangan perusahaan, bukan hanya “dibukukan”.
13. Masalah utaman pesangon dan PHK adalah 1)
tidak tersedianya dana /perusahaan pemberi kerja saat harus dibayarkan kepada
pekerja, baik akibat PHK atau pensiun dan 2) kesadaran perusahaan/pemberi kerja
untuk mendanakan pesangon masih minim. Maka solusinya, pendanaan pesangon
harus dilakukan pemberi kerja sesuai amanat UU Cipta Kerja.
14. Jadi soal pesangon, seharusnya bukan dilihat dari besar
kecilnya. Tapi kemauan pemberi kerja untuk mendanakan sejak dini. Bila pesangon pekerja, cepat atau lambat harus dibayarkan.
Maka semestinya, pemberi kerja harus berani untuk mendanakannya. Saat bisnis
normal, maka sisihkan sebagian keuntungan untuk pendanaan pesangon. Karena
pesangon atau PHK biasanya terjadi justru di saat pemberi kerja mengalami
masalah finansial atau penurunan bisnis.
Sungguh,
dalam dunia kerja, PHK bisa saja terjadi dan sah-sah saja. Asalkan
perusahaan/pemberi kerja tetap memberikan uang pesangon dan uang penghargaan
masa kerja sesuai ketentuan yang berlaku. Begitu pula sebagai negara,
pemerintah pun boleh-boleh saja menata ulang regulasi seperti UU Cipta Kerja agar
dapat memacu peningkatan investasi dan menopang pertumbuhan ekonomi nasional.
Maka siapapun yang
ditugaskan menyusun PP (Peraturan Pemerintah) UU Cipta Kerja khususnya soal
pesangon dan PHK perlu mempertimbangkan berbagai aspek yang berpengaruh dan
terpengaruh. UU Cipta Kerja adalah momentum untuk menata kembali “carut-marut” banyak
sector yang diakibatkan oleh regulasi itu sendiri. Termasuk soal pesangon dan
PHK yang harus menekankan pada “kewajiban pendanaan” apapun Namanya. Untuk
pesangon, untuk hati tua atau untuk usia pension sekalipun.
Karena UU Cipta
Kerja adalah untuk membangun sebuah harapan, bukan membuat kebingunan. Atas
nama kesejahteraan… Salam sejahtera #EdukatorDanaPensiun #UUCiptaKerja #PesangonPekerja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar