Kamis, 08 Oktober 2020

Demi Pekerja, Pendanaan Pesangon Harus Wajib di PP UU Cipta Kerja

Banyak orang terkejut, saat UU Cipta Kerja disahkan DPR, 5 Oktober 2020 lalu. Seakan secepat kilat dan kejar tayang. Wajar mengundang reaksi publik. Kalangan pekerja dan buruh pun menolak lalu demonstrasi. Katanya, UU Cipta Kerja dapat 1) memacu peningkatan investasi di Indonesia, 2) Mengatrol pertumbuhan ekonomi nasional, dan 3) menciptakan lapangan kerja baru lebih banyak. Boleh saja, asal bisa dibuktikan dan sangat ditunggu realisasinya. Bukan begitu Bapak/Ibu yang terhormat?

Nah, salah satu bahasan yang bikin “gaduh” di UU Cipta Kerja adalah soal pesangon dan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Menyangkut klaster ketenagakerjaan dan berurusan langsung dengan pekerja atau buruh. Beragam isu muncul tentang pesangon dan PHK. Bahkan hoaks atau berita bohong seputar pesangon dan PHK pun beredar luas. Seperti uang pesangon dihilangkan, PHK bisa dilakukan secara sepihak dan tidak ada pesangon, dan sebagainya.

Maka untuk membantu pemahaman tentang pesangon dan PHK yang ada di UU Cipta Kerja, berikut butir-butir yang perlu diketahui publik dan pekerja. Setidaknya ada 14 butir yang harus dicermati terkait pesangon dan PHK di UU Cipta Kerja, antara lain:

 

1.      UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan dengan tegas di Pasal 156 menyatakan ayat (1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima. Patut diketahui, UU ini hanya mengatur hal-hal pokok terkait alasan PHK, sedangkan hal-hal teknis termasuk tata cara PHK dan besaran kompensasi PHK akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

2.      Nilai kompensasi dasar PHK atau uang pesangon tetap ada dan tidak berubah, terdiri dari: a) uang pesangon (UP) maksimal 9 kali upah, disesuaikan masa kerja (ayat 2), b) uang penghargaan masa kerja (UPMK) maksimal 10 kali upah, disesuaikan masa kerja (ayat 3), dan c) uang penggantian hak (UPH) seperti cuti tahunan dan biaya/ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya tetap berlaku (ayat 4). Kecuali uang penggantian hak kesehatan dan perumahan dengan faktor 15% upah dihapus. Kenapa dihapus? Karena dianggap sudah ter-cover dari BPJS Kesehatan dan Tapera.

3.      UU Cipta Kerja menambahkan program baru Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bila pekerja mengalami PHK. JKP diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial ini tidak menambah beban bagi pekerja/buruh dan manfaatnya cash benefits. Konon kabarnya  sebesar 6 kali upah. Anggap saja, JKP sebagai iktikad baik bahwa “negara hadir” untuk pekerja yang di-PHK.

4.      Jadi intinya, besaran pesangon akan diatur secara teknis dalam PP (Peraturan Pemerintah) sebagai turunan dari UU Cipta Kerja. Alokasinya UP + UPMK = 19 kali upah. Tapi bukan tidak mungkin, PP akan mengatur uang pesangon untuk jenis PHK tertentu menjadi 2 kali UP + 1 UPMK = 28 kali upah. Kenapa tidak? Maka penting penyusunan PP dikawal dengan ketak dan seksama.

5.      Untuk alasan PHK, UU Cipta Kerja Pasal 154A menyebutkan (PHK) dapat dilakukan perusahaan atas 14 alasan. Tadinya ada 9 alasan perusahaan boleh melakukan PHK (UU Ketenagakerjaan) seperti: 1) bangkrut, 2) tutup karena merugi, 3) perubahan status perusahaan, 4) melanggar perjanjian kerja, 5) melakukan kesalahan berat, 6) memasuki usia pension, 7) mengundurkan diri, 8) meninggal dunia, dan 9) mangkir. Lalu UU Cipta Kerja menambah 5 alasan PHK lagi, yaitu: 10) efisiensi, 11) melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan, 12) keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang, 13) melakukan perbuatan yang merugikan pekerja/buruh, dan 14) mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan. Hal ini bisa jadi sumber “ketakutan” pekerja. Karena ada ruang PHK sepihak lebih besar dilakukan perusahaan. Maka PP harus mengatur dengan jelas dan pemerintah harus ekstra hati-hati memonitor PHK yang dilakukan perusahaan. Agar tidak semena-mena kepada pekerja.

6.      Lalu apakah PHK akibat ke-14 alasan di atas, pekerja tidak mendapatkan uang pesangon? Sementara itu Pasal 167 UU Ketenagakerjaan yang mengaitkan program pensiun dengan pesangon nyata-nyata dihapus di UU Cipta Kerja. Maka jawabnya, lagi-lagi soal besaran kompensasi pesangon akibat PHK akan diatur dalam PP sesuai amanat Pasal 156 ayat (5) UU Cipta Kerja.

7.      Jadi dapat disimpulkan, soal pesangon dan PHK di UU Cipta Kerja kata kuncinya terletak di Peraturan Pemerintah (PP) yang akan disusun dalam waktu dekat. Hal-hal teknis terkait tata cara PHK dan besaran kompensasi PHK akan dituangkan ke dalam PP dan harus dikawal ketat agar membuka ruang masukan publik untuk memberi masukan. Jangan sampai UU Cipta Kerja ini justru jadi masalah di kemudian hari.



8.      Penting pula untuk disampaikan, seharusnya PP soal pesangon dan PHK sebagai turunan UU Cipta Kerja ini juga memuat aspirasi tentang program pensiun yang ada kaitannya dengan pesangon (seperti yang ada pada Pasal 167 UU Ketenagakerjaan). PP perlu mempertimbangkan program pensiun sukarela yang sudah ada dan dimiliki perusahaan/pemberi kerja agar dapat dikompensasikan (offset) sebagai kewajiban pesangon untuk semua alasan PHK, bukan hanya usia pensiun".

9.      Pesangon dan PHK adalah isu sensitif di pekerja/buruh. PP turunan UU Cipta Kerja harus merinci dengan optimal. Karena faktanya, saat besaran pesangon diatur 32,2 kali upah (sesuai UU Ketenagakerjaan) pun implementasinya hanya 7% perusahaan yang patuh memberikan pesangon sesuai ketentuan yang berlaku. Itu berarti, banyak perusahaan yang abai terhadap ketentuan atau regulasi. Maka wajar soal pesangon dan PHK seringkali membuat pekerja/buruh demonstrasi. Soal hak pekerja yang tidak dibayarkan.

10.  Sementara pada naskah sosialisasi UU Cipta Kerja yang beredar versi Kemenaker dan DPR RI tercantum kalimat paling atas yang berbunyi Pemerintah memastikan bahwa pesangon betul-betul menjadi hak dan dapat diterima oleh pekerja/buruh”. Itu berarti, pemerintah berkomitmen untuk memastikan pembayaran pesangon kepada pekerja betul-betul sesuai aturan. Perusahaan tidak boleh abai terhadap pesangon yang menjadi hak pekerja saat melakukan PHK.

11.  Maka selain penegakan hukum kepada perusahaan yang ketat, pemerintah melalui PP UU Cipta Kerja seharusnya mewajibkan “pendanaan pesangon” benar-benar dilakukan perusahaan/pemberi kerja. Agar saat terjadi PHK, uang pesangon benar-benar tersedia. Karena selama ini, problem besar pesangon adalah soal ketersediaan dana, bukan di regulasi. Pendanaan pesangon wajib dilakukan perusahaan. Di mana didanakan dan bagaimana melaporkannya?

12.  Pesangon adalah kewajiban perusahaan/pemberi kerja yang telah mempekerjakan pekerja. Maka saat PHK terjadi atau pensiun, uang pesangon pekerja harus tersedia dan siap dibayarkan. Terlepas dari besaran pesangon yang akan diatur dalam PP, perusahaan atau pemberi kerja harus memiliki kesadaran untuk "mendanakan" uang pesangon. Akan lebih baik bila didanakan secara terpisah dari sistem keuangan perusahaan, bukan hanya “dibukukan”.

13. Masalah utaman pesangon dan PHK adalah 1) tidak tersedianya dana /perusahaan pemberi kerja saat harus dibayarkan kepada pekerja, baik akibat PHK atau pensiun dan 2) kesadaran perusahaan/pemberi kerja untuk mendanakan pesangon masih minim. Maka solusinya, pendanaan pesangon harus dilakukan pemberi kerja sesuai amanat UU Cipta Kerja.

14.  Jadi soal pesangon, seharusnya bukan dilihat dari besar kecilnya. Tapi kemauan pemberi kerja untuk mendanakan sejak dini. Bila pesangon pekerja, cepat atau lambat harus dibayarkan. Maka semestinya, pemberi kerja harus berani untuk mendanakannya. Saat bisnis normal, maka sisihkan sebagian keuntungan untuk pendanaan pesangon. Karena pesangon atau PHK biasanya terjadi justru di saat pemberi kerja mengalami masalah finansial atau penurunan bisnis.

 

Sungguh, dalam dunia kerja, PHK bisa saja terjadi dan sah-sah saja. Asalkan perusahaan/pemberi kerja tetap memberikan uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja sesuai ketentuan yang berlaku. Begitu pula sebagai negara, pemerintah pun boleh-boleh saja menata ulang regulasi seperti UU Cipta Kerja agar dapat memacu peningkatan investasi dan menopang pertumbuhan ekonomi nasional.

 

Maka siapapun yang ditugaskan menyusun PP (Peraturan Pemerintah) UU Cipta Kerja khususnya soal pesangon dan PHK perlu mempertimbangkan berbagai aspek yang berpengaruh dan terpengaruh. UU Cipta Kerja adalah momentum untuk menata kembali “carut-marut” banyak sector yang diakibatkan oleh regulasi itu sendiri. Termasuk soal pesangon dan PHK yang harus menekankan pada “kewajiban pendanaan” apapun Namanya. Untuk pesangon, untuk hati tua atau untuk usia pension sekalipun.

 

Karena UU Cipta Kerja adalah untuk membangun sebuah harapan, bukan membuat kebingunan. Atas nama kesejahteraan… Salam sejahtera #EdukatorDanaPensiun #UUCiptaKerja #PesangonPekerja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar