Omnibus Law Omnibus Law. Tidak habis pikir sama sekali. UU-nya belum dibaca, sudah marah – demo lalu merusak. 25 halte busway dibakar, Pemda DKI Jakarta terpaksa keluarkan “kocek” 65 milyar untuk memperbaikinya. Menyalurkan aspirasi tapi anarkis dan merusak. Kenapa bisa begitu ya?
Hari ini PSBB di DKI Jakarta dilonggarkan.
Kasihan saudara-saudara kita pengguna busway. Di mana lagi dia harus menunggu?
Haltenya sudah dibakar habis. Belum lagi pos polisi yang dihanguskan, plang
dirusak, barier pembatas jalan, pot bunga, hingga lampu lalu lintas yang dirobohkan.
Belum
belajar membangun. Tapi sudah praktik merusak.
Sulit
dimengerti. Bereaksi cepat tanpa tahu masalahnya apa? Aspirasi ingin diterima tapi
harus membakar dan merusak. Apa itu solusi? Kotanya sendiri, fasilitasnya
sendiri tapi dirusak. Itu apa namanya?
Belum
membangun, sudah merusak.
Tiba-tiba
gagap dan alpa. Karena harus merusak, apa tidak ada cara lain? Orang yang
membangun itu tidak mungkin merusaknya. Karena dia tahu susahnya membangun,
sulitnya berproses untuk mencapai keadaan seperti sekarang. Bila ada yang
kurang, bila ada yang tidak pas itu sudah pasti. Maka salurkan aspirasi dengan
baik dan benar. Biar efektif tanpa perlu merusak. Saya jadi malu. Bila saya
belum bisa membangun, kenapa saya harus merusak apa yang dibangun orang lain?
Saya ini
pegiat literasi. Sejak 3 tahun lalu saya bangun taman bacaan di Kaki Gunung
Salak Bogor. Anak-anak yang terancam putus sekolah akibat miskin. Kini sudah
rajin baca buku dan berharap tidak ada yang putus sekolah. Begitu pula ibu-ibu
buta huruf tiap hari Minggu saya ajar. Agar bisa baca dan tulis. Sehingga orang
tua bisa lebih bermartabat di mata anaknya. Begitu pun anak-anak yatim yang
dibina. Agar mereka tetap bisa sekolah sampai lanjut. Bila itu sudah saya
bangun susah-susah. Lalu, kenapa saya harus merusaknya? Arau apa ada orang lain
yang ingin merusaknya? Silakan jawab sendiri saja dengan hati nurani…
Kawan
saya bilang. Itu terjadi gara-gara ada yang provokasi. Itu terjadi karena termakan
hoaks. Katanya ditunggangi. Lalu menuding, karena wakil rakyatnya goblok. Saya
pun bilang, kok bisa? Kenapa kita mau diprovokasi? Kenapa pula kita termakan
hoaks, kenapa kita mau ditunggangi? Bukankah kita semua orang pintar. Ya kalau wakil
rakyatnya bodoh, itu siapa yang pilih. Kenapa jadi melebar ke mana-mana? Kan soalnya
cuma omnibus law, terus kenapa halte bus yang dibakar? Kenapa sih kita begitu?
Mereka itu
mungkin orang-orang pintar. Mereka bisa jadi orang cerdas yang tahu betul cara
mengelola negara. Bahkan mereka terlalu canggih dalam memahami arti sebuah
perjuangan. Atas nama rakyat, atas nama keadilan. Tapi sayang, mereka mungkin
belum tahu banyak tentang akhlak dan adab. Lupa tentang budi pekerti, lupa
tentang perilaku baik. Maka, lebih suka merusak daripada membangun.
Entahlah,
apa lagi yang harus kita perbuat?
Bila
belum belajar membangun. Tapi sudah praktik merusak. Hingga tidak tahu lagi
cara menyalurkan aspirasi yang baik dan benar. Semuanya salah orang lain. Sementara
kita tidak pernah salah. Inilah imbas buah dari pendidikan yang basisnya ke otak,
bukan ke hati.
Semoga kita
tidak lupa. Bahwa ilmu yang tinggi, pendidikan
yang mentereng. Atau perjuangan yang militan sama sekali tidak berguna tanpa
diimbangi akhlak yang baik.
Jadi,
janganlah tinggalkan akhlak sekalipun ilmu kita tinggi. Otak kita boleh benar.
Tapi otak orang lain juga belum tentu salah. Jangan merusak bila tidak mau
membangun. Sungguh, ada soal tentang budaya literasi kita … #UUCiptaKerja
#OmnibusLaw #BudayaLiterasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar