Ini sedikit cerita tentang mantan tentara. Sampai sekarang masih jadi teman diskusi saya.
Sosok yang tegas dan sangat loyal kepada
negara. Walau terima uang pensiuan tidak seberapa pun, hingga kini dia selalu
berapi-api bila ngomongin soal tantara. Entah, mungkin di darahnya mengalir
darah “baret hijau’ dan merah putih. Maklum selama pengabdian jadi tentara, dia
sempat bertaruh nyawa dan berjuang melawan fretilin di timor-timor selama 2
tahun. Belum lagi ke Irian, entah urusan apa?
Saat kecil, saya tahunya dia pergi membela
negara. Walau harus meninggalkan keluarga bertahun-tahun. Gajinya tidak
seberapa. Tapi taruhannya nyawa. Begitulah tantara di bumi Indonesia yang saya
tahu.
Dari si mantan tentara ini, saya belajar
betul tentang "semangat juang dan katanya tentara itu tidak boleh berpikir
macam-macam". Mereka di-doktrin untuk bela negara, apapun keadaannya
siapapun musuhnya.
Dulu si mantan tentara ini, pernah
bilang. Bahwa hidup itu seperti menembak. Arahkan ke depan, jangan hiraukan
kiri dan kanan. Fokus hanya pada sasaran tembak, pada tujuan.
Dari situ, saya jadi
tahu beda tentara dengan sipil. Kalau tentara itu kerjanya hanya memberi bukti.
Diperintah pergi ke mana saja dijalankan. Entah bertempur atau hanya jaga
wilayah NKRI. Sementara sipil, mungkin, lebih suka kata-kata dan janji. Segala
sesuatu diperdebatkan. Diperintah justru malah berdebat. Hanya sekadar janji tanpa
ada bukti.
Bila hari-hari ini, ada mantan tentara turun
ke jalan, terkesan gaduh. Sekalipun atas nama “gerakan moral”, buat saya itu
tetap melenceng. Karena tentara dan mantan tentara, di darahnya itu mengalir
jiwa ksatria, tegas, dan bijaksana untuk menjaga kedaulatan bangsa dan negara. Pantang
menyerah untuk bela negara, bukan merongrong negara.
Si mantan tentara di rumah masa kecil saya
itu selalu bilang. Bila korps dan seragam baret hijau itu ibarat rumah, maka
Indonesia itu ibarat pekarangan. Maka “jaga rumah dan pekarangan itu sekalian”.
Tanpa pandang bulu, tanpa pikiran macam-macam. Sekarang saya baru berpikir, omongan
mantan tentara itu memang benar. Sangat benar.
Jujur, saya bukan tentara. Tapi saya
anak dari seorang mantan tentara. Dibesarkan dan dididik dengan cara-cara tentara,
tinggal pun di komplek tentara. Senjata,
kopel rim, sepatu lars, baret hijau, helm perang, PDL, dan lainnya itu pemandangan
sehari-hari di rumah. Hingga kini pun saya masih berdiskusi sengit dengan si
mantan tentara.
Saya selalu mengenang pelajaran
penting dari si mantan tentara. Bahwa tentara dan mantan tantara itu siap
bertempur bukan karena dia membenci apa yang ada di depannya. Tapi karena dia
mencintai apa yang ada di belakangnya. Kapan saja dan di mana saja.
Akhirnya, saya pun bilang ke si
mantan tantara.
"Letakkan senjatamu sekarang, bila
tiba waktunya untuk pulang....".
Salam hormat untuk mantan tentara dan peluk cium untukmu. Dirgahayu ke-75 TNI
#MantanTentara #HUTTNI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar