Metode belajar-mengajar siswa di sekolah berubah. Akibat merebaknya wabah Covid-19. Belajar jarak jauh pun diterapkan. Namun faktanya, banyak reaksi yang timbul akibat pembelajaran jarak jauh (PJJ). Survei TBM Lentera Pustaka bertajuk “Anak Belajar Jarak Jauh Di Mata Ibu-Ibu” pada Selasa, 28 Juli 2020 mengkonfirmasikan bahwa 71,1% Ibu-ibu merasa kerepotan atau kewalahan dengan belajar jarak jauh yang dialami anaknya, sementara 28,3% menjawab tida, dan 0,6% tidak tahu.
Survei yang baru
dijawab 180 ibu-ibu ini menegaskan perlunya pemerintah merumuskan dengan rinci
program dan petunjuk teknis PJJ. Utamanya materi belajar yang berbasis “social
empowerment” ketimbang “self empowerment”. Karena agak rancu bila yang belajar
anaknya. Tapi yang kerepotan ibunya. Sistem PJJ pun menyiratkan justru beban
besar malah dialami kaum ibu. Apalagi bagi ibu-ibu yang selama ini kurang peduli
terhadap materi pelajaran anak di sekolah.
Sebagai
reaksi terhadap PJJ, beberapa ibu dalam survei ini memberi komentar: 1)
jangan kebanyakan tugas, 2) saya sebagai ibu rumah tangga bener bener repot; harus
mengerjakan semua tugas rumah, sekarang ditambah lagi ngajar anak-anak, 3) cara
mengajar sy beda dengan guru, 4) anak-anak jadi susah diatur, tugas yang dikasih
guru belum selesai anaknya malah nonton tv atau maen hp, 5) belajar online tidak
efektif, karena anak lebih patuh pada guru, kalau pada ibunya anak tidak nurut,
6) sebaiknya sebelum diberikan tugas anak-anak diberikan penjelasan secara
online tatap muka, dan 7) memberi tugasnya kalau bisa jangan banyak-banyak,
Harus
diakui, PJJ sebagai metode belajar seharusnya tidak masalah. Reaksi kaum ibu
ini bisa jadi akibat masih “terpaku” pada cara belajar yang konvensional alias
tatap muka. Anak tidak terbiasa, si ibu merasa terbebani. Atau bahkan guru dan
sekolah tidak punya kreasi dalam belajar jarak jauh karena tidak terbiasa.Masih
mengacu pada kurikulum yang kaku.
Sejatinya,
PJJ adalah alternatif pembelajaran yang diperlukan di era digital. Apalagi di
tengah wabah Covid-19. Untuk itu, dominasi model pembelajaran seharusnya tidak
lagi bersandar pada guru dan kurikulum. Itulah yang disebut dengan “Deschooling
Society”, model pembelajaran yang mendorong terjadinya kolaborasi orangtua,
guru, dan siswa. Sekolah bukanlah satu-satunya tempat belajar. Selain itu, PJJ
harusnya lebih diarahkan pada upaya siswa mendapatkan personalisasi pengalaman
belajar yang kreatif dan bermakna sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
Kondisi ini
menyiratkan ada ketidak-siapan dunia pendidikan dalam menjalankan PJJ. Oleh
karena itu, sesuai rencana pemerintah yang akan menjadikan PJJ secara permanen.
Maka diperlukan rumusan dan sosialisasi model belajar jarak jauh kepada seluruh
pemangku kepentingan. Bahwa belajar jarak jauh bukanlah cara belajar semata tapi
soal cara berpikir tentang belajar.
Ke depan,
belajar jarak jauh adalah model belajar yang tidak bisa dihindari lagi. Maka
harus ada koordinasi dan sinergi antara pihak sekolah, orang tua, dan guru dalam
memberdayakan kegiatan belajar. Sambil perlahan mengubah perspektif tentang
belajar anak di sekolah yang tidak hanya terbatas di ruang kelas atau berdasar
kurikulum semata. Tapi lebih kepada membangun cara berpikir dan karakter siswa dalam
kehidupan di luar pelajaran #TBMLenteraPustaka #PembelajaranJarakJauh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar