Hari Aksara Internasional diperingati tiap 8 September. Sebagai momentum untuk mengingatkan pentingnya budaya literasi dan memajukan agenda keaksaraan. Untuk mewujudkan masyarakat yang literat. Tapi bila mau introspeksi diri, berapa banyak bacaan yang bermanfaat kita lakukan? Lebih banyak mana aktivitas yang bermanfaat berbanding kegiatan yang sia-sia?
Berbagai
predikat yang kurang bagus pun disematkan ke Indonesia. Riset World’s Most
Literate Nations Ranked (2016) menyatakan Indonesia menduduki peringkat ke-60
dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di
atas Bostwana (61). Sekalipun bisa diperdebatkan, apa sudah cukup akses
bacaan di Indonesia untuk meningkatkan minat baca? Sementara WeareSocial (2017)
mengungkap orang Indonesia mampu menatap layar gawai 9 jam sehari. Makanya orang
Indonesia didaulat juara ke-5 di dunia sebagai negara paling cerewet di dunia.
Sejujurnya, persoalan
keaksaraan dan rendahnya literasi di Indonesia bukanlah masalah baru. Selalu
jadi diskursus yang selalu di-ekspos dan jadi topik seminar di mana-mana. Literasi
selalu dibedah, minat baca selalu dipersolakna. Tapi akses bacaan dan dukungan
konkret kepada pelaku literasi begitu-begitu saja. Literasi hanya didekati pada
soal buku-buku. Bukan sebagai gerakan untuk memberdayakan masyarakat untuk membangun
kultur literat di tengah gempuran era digital. Sebut saja, literasi yang masih
sebatas seremoni belum menyentuh esensi.
Narasinya, tahun
2045 nanti, Indonesia menuju “Indonesia Maju” sebagai negeri dengan kekuatan
ekonomi terbesar ke-6 di dunia. Secara literasi, apa iya masyarakat Indonesia
siap? Dugaan saya, selagi persoalan literasi ditinggalkan berpotensi besar
kemajuan menjadi kurang produktif. Maka atensi terhadap persoalan literasi
harus mendapat prioritas. Karena tidak ada artinya kemajuan secara ekonomi yang
tidak didukung tingkat literasi Masyarakat yang tidak memadai. Literasi yang
rendah, pasti akan jadi “biaya tinggi” secara sosial dan psikologis ke
depannya.
Keaksaraan dan
literasi hari ini, secara subjektif, mungkin masih “jauh panggang dari api”. Masih
dihadapkan pada kendala besar yang belum terselesaikan, diantaranya 1)
persoalan “satu komando” yang menggerakkan literasi, 2) kolaborasi di gerakan
literasi yang masih minim, dan 3) sikap tidak peduli terhadap gerakan literasi
yang masih membelenggu. Karena itu, ketiga hal di atas harus dicarikan
solusinya. Agar literasi mampu jadi “obat mujarab” untuk menyeimbangkan kemajuan
ekonomi dan digitalisasi yang merasuk di masyarakat. Maraknya judi online atau
pinjol bisa jadi bukti rendahnya tingkat literasi masyarakat.
Sementara
persoalan literasi dasar belum selesai, muncul lagi literasi digital. Jago digital
tapi untuk belanja, media sosial, bahkan bikin konten yang tidak mendidik.
Disuruh baca e-book tanpa diimbangi ketersediaan akses baca secara manual. Maka
wajar, literasi kian terpinggirkan. Maka momen Hari Aksara Internasional, ada
baiknya menjadi refleksi bersama. Untuk mengecek kembali, seberapa besar pertumbuhan
tingkat literasi masyarakat? Apa sudah sesuai track-nya atau belum? Apa saja
yang harus dibenahi untuk tegaknya literasi di bumi Indonesia?
Geliat literasi
memang sudah terasa. Berbagai seminar, diskusi, hingga festival literasi ada di
mana-mana. Semua kalangan pun “berebut tempat” soal literasi. Data riset dan
program meningkatkan literasi sudah dirancang. Taman bacaan di mana-mana,
perpustakaan ke mana-mana, komunitas literasi pun ada di mana-mana. Tapi sayangnya,
masih berjalan sendiri-sendiri. Membuat “panggung literasi” sendiri-sendiri. Sehingga
belum ada jawaban pas, sebenarnya literasi harus dimulai dari mana? Siapa yang
eksekusi dan bagaimana hasilnya?
Dan akhirnya,
setelah 6 tahun berkiprah menjadi pegiat literasi di Taman Bacaan Masyarakat
(TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Menjalankan aktivitas taman
bacaan masyarakat, gerakan berantas buta aksara, belajar calistung kelas prasekolah,
motor baca keliling, dan koperasi simpan pinjam dengan 200 orang pengguna
layanan setiap minggu dan mencakup 4 desa di Kec. Tamansari Kab. Bogor dengan dukungan
12 wali baca dan relawan, ternyata dapat disimpulkan bahwa “literasi dan taman
bacaan masih tetap jadi jalan sunyi pengabdian”. Belum banyak yang peduli,
belum optimal perhatian terhadap gerakan literasi.
Mau kemana
gerakan literasi itu melangkah ke depan? Salam literasi
#HariAksaraInternasional #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar