Pada suatu malam di sebuah resto, saya bersama orang tua sedang menikmati makan malam. Saat terduduk menunggu makanan dihidangkan, seorang lelaki muda berkalung gitar di badannya. Lalu berkata, “Mohon maaf Bang, izinkan saya mengamen untuk sesuap nasi. Daripada saya berdiam diri atau mencuri!” katanya lalu mulai bernyanyi.
Menarik
bagi saya, bukan karena lagunya. Tapi kata-katanya saat memulai mengamem yang
menyebut “izinkan saya mengamen untuk sesuap nasi daripada berdiam diri”. Itulah
yang disebut “self identity”, tentang pandangan seseorang tentang dirinya
sendiri. Tukang ngamen yang mampu menyematkan identitas kepada dirinya sendiri.
Kesadaran untuk mengenal dan
menghayati dirinya tanpa perlu tenggelam dalam peran yang dimainkan.
Tukang
ngamen, dia sadar tidak akan sanggup untuk mencari rezeki dengan jalan yang
normal. Entah menjadi pegawai, pekerja kantoran atau berjualan. Dia hanya bisa
mengamen. Bekerja dan mencari rezeki satu-satunya yang "paling normal"
baginya adalah mengamen. Luar biasa, pemuda tukang ngamen itu mampu mendefinisikan
identitas dirinya.
Sejujurnya,
dia punya cukup nyali menjadi pencuri atau perampok. Dia bisa kok menghalalkan
segala cara untuk mendapatkan uang. Seperti yang terjadi di luar sana. Membegal,
merampok, membunuh atas motif ekonomi dan sebagainya. Apalagi saat orang-orang
sudah tidak mau memberikan uang saat dia mengamen. Tapi kenapa si pemuda tukang
ngamen tidak mau melakukannya? Karena dia tahu dan sadar tentang “self identity”.
Erik
H. Erikson dalam buku Psikososial menyebut identitas diri atau self identity adalah kesadaran seseorang akan siapa dirinya
dan apa yang dipertahankannya. Agar seseorang tidak mengalami krisis identitas.
Sehingga mampu mengembangkan komitmen dan peran dalam hidup yang bisa dilakukannya.
Maka hari ini, sangat penting siapapun memahami identitas dirinya. Karena suak
tdiak suka, hari ini banyak orang jutsru kehilangan identitas diri, apalagi di
media sosial.
Hati-hati
dengan identitas diri. Jangan terlalu mudah untuk merendahkan diri sendiri,
Tapi gampang membenci, berkeluh-kesah lalu menyalahkan orang lain. Seolah apa
yang terjadi pada dirinya akibat perbuatan orang lain. Mentalitasnya jadi “korban”
tanpa mau berbuat apapun. Secara tidak langsung, mereka telah merendahkan
dirinya sendiri. Kehilangan “self identity”.
Pernahkah
Anda mendengar atau membaca di media sosial. Orang-orang yang berkata, “Ini
negara apa sih, kok pemimpinnya begitu?”. “Saya terlalu sibuk, nggak punya
waktu untuk bersosial”. “Apalah saya, nggak ngerti apa-apa nggak bisa apapun”.
Dan akhirnya apriori berkata, “Saya nggak mungkin sukses, karena saya nggak
berpendidikan tinggi”. Begitulah pernyataan orang-orang yang kehilangan
identitas diri.
Jadi,
semuanya berawal dari cara pandang terhadap diri sendiri. Segalanya berawal
dari “self identity” alias identitas diri. Ketiak Anda gagal mendefinisikan diri
sendiri dan peran yang bisa dilakukan, maka di situlah makin banyak sikap
pesimis, keluh-kesah, dan menyalahkan orang lain. Jangan melemahkan diri
sendiri apalagi menyalahkan orang lain.
Contoh
“self identity” yang hebat dimiliki Nabi Musa. Sebagai anak angkat Firaun, Nabi
Musa harusnya rendah diri dan patuh kepada Firaun. Tapi dia tidak melakukannya.
Justru dia mau belajar dan tetap berpihak pada jalan yang benar hingga mendapat
wahyu untuk membebaskan kaum Firaun dari kesesatan. Self identity pun ditunjukkan
oleh Nabi Yusuf saat digoda dan difitnah Zulaikha, perempuan majikan yang cinta
kepadanya. Nabi Yusuf tetap bertahan pada identitas dirinya. Nabi Musa dan Nabi
Yusuf, tidak mau terjerumus ke dalam perbuatan tercela. Pikiran dan kahkalnya hanya
bertumpu pada jalan yang benar.
Identitas
diri itu sangat penting bagi siapapun. Hati-hati dalam berkata-kata dan jangan
pernah melemahkan diri sendiri. Berjuanglah untuk hidup dan tetap bertahan pada
jalan yang lurus. Karena di luar sana, terlalu banyak godaan untuk berbuat
jahat. Jaga lisan, pelihara perbuatan untuk selalu berpijak pada kebaikan dan
kebenaran.
Jangan
bikin rapuh identitas diri Anda sendiri. Percayalah, siapapun yang bertahan pada
identitas diri yang baik, maka dia berhak dibimbing Allah SWT ke jalan yang
benar. Silakan dibuktikan. Salam literasi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar