Kematian Brigadir J akibat penembakan (bukan temak-menembak) itu salah paham atau salah kaprah? Sekalipun motif-nya sedang didalami, sama sekali tidak dibenarkan, siapa pun menghilangkan nyawa seseorang. Atas alasan apa pun. Tegas, tidak dapat dibenarkan.
Kapan salah paham dan kapan salah kaprah?
Di
zaman digital dan “kenyang” informasi begini, banyak orang sudah gagal memahami
arti salah paham atau salah kaprah. Apalagi di media sosial, terlalu banyak
orang tidak paham sesuatu tapi banyak berkomentar di publik. Sehingga ujungnya
jadi fitnah, gibah, atau menanamkan kebencian atau permusuhan. Akhirnya menjadi
masalah dan hukuman. Manusia yang gagal ber-tabayyun, gagal berpikir positif dari setiap
realitas yang ada.
Jadi
begini. Salah paham itu terjadi ketika siapa pun “salah dan keliru
dalam memahami pembicaraan, pernyataan, sikap orang lain”. Lalu, menimbulkan tindakan
dan reaksi yang berlebihan, bahkan melanggar hukum. Jadi apa pun motifnya, kok
bisa seseorang ajudan ditembak dan dibunuh oleh bos-nya. Sudah pasti itu
tindakan salah paham. Orang yang keliru. SALAH PAHAM.
Lain
halnya dengan salah kaprah. Salah kaprah berarti kesalahan atau kekeliruan yang
digunakan secara luas dan massal sehingga dianggap kaprah (biasa; lumrah). Lalu,
dianggap sebagai kelaziman. Jadi kalau ada “atasan menyuruh bawahan (ajudannya)
untuk menembak orang lain” itu pasti salah kaprah. Siapa bilang atasan harus
dipatuhi bila tindakannya salah? Tanpa sebab, tanpa tahu duduk masalahnya bertindak
semena-mena, itu salah kaprah. Bertindak bengis pada orang lain tanpa tahu apa
masalahnya. SALAH KAPRAH.
Salah
paham atau salah kaprah, itulah pentingnya keterampilan berbahasa yang baik dan
benar. Bahasa Indonesia memang “gampang”. Tapi bukan berarti bisa “digampangkan”.
Menembak kok dibikin tembak-menembak. Gampang itu berarti mudah atau tidak
sukar. Asal paham karena mau mempelajarinya. Beda dengan “menggampangkan” yang
berarti menganggap enteng, meremehkan sesuatu. Hingga akhirnya jadi salah paham
dan fatal akibatnya.
Salah
paham. Bila membuat kesimpulan sendiri lalu harus membunuh ajudan. Prasangka
yang berlebihan jadi sebab penyesalan. Bila kuku-nya yang kotor, maka bukan
jari-nya yang dipotong. Maka salah paham itu, yang harus dipotong ego-nya bukan
orang-nya.
Salah kaprah. Bila yang beredar Brigadir J
tapi yang disebut Yoshua. Perginya ke Yogyakarta tapi menulisnya Jogjakarta.
Huruf-nya J bacanya Y, jadi tertukar-tukar satu sama lainnya. Jangan sampai
pengen minum “jus” tapi bilangnya “yus”. Itu salah kaprah.
Maka
pesannya, berhati-hatilah dalam berbahasa. Karena bahasa sangat memengaruhi
pikiran. Dan pikiran jadi asal-muasal tindakan. Hati-hatilah dalam berbahasa.
Agar tidak terjadi “mulutmu harimaumu” atau “jarimu hukumanmu”. Segala tindakan
atau perkataan yang diucapkan apabila tidak dipikirkan dahulu maka dapat
merugikan diri sendiri bahkan mungkin orang lain.
Sadarilah, di dunia ini. Terkadang kita menginginkan
sesuatu, padahal itu tidak baik. Terkadang kita membenci pula sesuatu, padahal itu
sangat baik untuk kita. Jangan sampai tidak mampu membedakan antara salah paham
atau salah kaprah.
Yuk,
mulai membangun kebiasaan berbahasa Indonesia yang baik, benar, dan santun. Baik
itu sesuai tempatnya, benar itu sesuai kaidah, dann santun itu dapat diterima
maknanya.
Agar jadi manusia yang literat. Salam literasi #BahasaIndonesia #TBMLenteraPustaka
#PegiatLiterasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar