Tidak ada yang bantah. Bahwa membaca buku itu penting, Katanya, membaca sebagai jendela dunia. Ada lagi yang sebut, membaca adalah samudera ilmu pengetahuan. Bahkan tidak sedikit orang yang meyakini, masa depan dan kesuksesan katanya kaibat membaca buku. Maka nasihat orang-orang pintar dan sukses, selalu menyebut “perbanyaklah membaca untuk meraih hidup yang lebih baik”.
Lalu kata orang bijak, “Membacalah untuk
hidup, bukan hidup untuk membaca”. Entah, itu maksudnya apa? Apa orang disuruh
membaca agar hidup atau jangan hidup untuk membaca. Sama dengan “makanlah untuk
hidup, bukann hidup untuk makan”. Kadang, orang-orang pintar malah suka bikin
bingung orang-orang awam. Membaca buku saja bisa dibolak-balik. Pantas, membaca
buku kian sulit jadi kebiasaan. Akibat sering dipelintir atau dinarasikan
belaka.
Membaca dinanti tapi dikhianati.
Semua orang sepakat. Membaca itu besar
manfaatnya. Membaca itu penting. Bahkan membaca masih jadi topik bahasan yang
tidak lekang oleh waktu. Banyak orang yang menantikan saat-saat untuk membaca
buku, di mana pun dan kapan pun. Tapi sayang, membaca pun sering dikhianati.
Membaca buku sudah diabaikan banyak orang. Apalagi di era digital yang semuanya
serba gawai.
Karena sibuk, banyak orang tidak punya
waktu untuk membaca buku lagi. Ada yang kemana-mana membawa buku tapi tidak
pernah dibaca. Ada yang berbicara tentang membaca atau literasi tapi perilaku
membacanya kosong. Akhirnya, membaca pun hanya sebatas omongan, bukan
kelakukan. Membaca sering dinanti tapi selalu dikhianati.
Membaca dinanti tapi dikhianati.
Katanya gemar membaca tapi satu buku
belum tentu tuntas dibaca dalam seminggu. Katanya membaca penting tapi sebatas
teori tanpa praktik. Katanya senang membaca tapi nongkrongnya di kafe-kafe.
Katanya kutu buku tapi tiap hari tawaf di mal atau tempat hiburan. Katanya sedang
membaca buku tapi nyatanya lagi ngobrol. Kasihan aktivitas membaca, sering dijadikan
“tameng” tanpa pernah dijadikan “tindakan”. Itulah kenapa membaca sering
dinanti tapi selalu dikhianati.
Atas realitas itulah, Taman Bacaan
Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor selalu menyuarakan
akan perilaku membaca di kampung-kampung. Tidak kurang 130 anak-anak usia
sekolah dari 3 desa (Sukaluyu, Tamansari, Sukajaya) ditemani dan diajak agar
terbiasa membaca. Membaca sebagai keberanian bukan pelajaran. Membaca sebagai
praktik bukan teori. Bahkan mendatangi kampung-kampung yang tidak punya akses
bacaan melalui MOtor BAca KEliling (MOBAKE) seminggu 2 kali. Agar anak-anak usia
sekolah lebih akrab dengan buku-buku bacaan. Tadinya hanya 1 program literasi,
kini TBM Lentera Pustaka pun menjalankan 14 program literasi, termasuk
pemberantasan buta aksara, calistung anak prasekolah, dan koperasi simpan
pinjam. Tentu semua program literasi punya tujuan dan ciri masing-masing. Tidak
kurang 250 orang per minggu menjadi pengguna layanan TBM Lentera Pustaka.
Membaca dinanti tapi dikhianati.
Membaca sering dirindu tapi kerap diseteru.
Membaca dicinta tapi selalu dinista. Membaca disukai tapi dicederai. Banyak
yang lupa, membaca bukan soal gaya-gayaan. Membaca bukan pula untuk status
sosial. Tapi membaca adalah status akhirat. Tentang apa yang sudah dikerjakan
dan diperbuat. Karena apa pun pasti dipertanggungjawabkan nantinya. Maka
membaca itu jalan bukan tujuan.
Kenapa membaca? Karena membaca adalah
ikhtiar untuk memperbaiki diri. Untuk introspeksi diri agar lebih baik di kemudian
hari. Maka membaca jangan dikhianati, Membaca tidak cukup hanya dinanti tapi
harus di-eksekusi. Karena tanpa membaca, siapa pun akan merana. Salam literasi
#TamanBacaan #BacaBukanMaen #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar