Kamis, 16 Juni 2022

Kisah dari Taman Bacaan, Mau Apa Anak-anak dengan Membaca Buku?

Tercatat 90 persen penduduk usia di atas 10 tahun gemar menonton televisi, tapi tidak suka membaca buku (Perpusnas RI, 2015). Itu berarti, minat baca masyarakat Indonesia dapat dikatakan sangat rendah. Di samping ada persoalan dengan ketersediaan akses bacaan. Memang, ada “pekerjaan rumah” di dunia literasi Indonesia.  

 

Maka, saya selalu bangga pada anak-anak yang mau membaca buku di era digital. Salut pada anak-anak usia sekolah yang mau datang ke taman bacaan. Karena sejatinya, membaca buku bukan hanya untuk menambah ilmu pengetahuan. Tapi dari buku dan taman bacaan, siapa pun dan anak-anak bisa belajar tentang cara memperbaiki diri. Untuk menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.

 

Dari buku dan taman bacaan, siapa pun selalu diingatkan. Bahwa manusia adalah makhluk yang serba lemah, dan harus bersedia memperbaiki diri. Dari buku siapa pun bisa lebih mengenal jati dirinya. Bahkan dari buku dan interaksi di taman bacaan, ada ikhtiar yang baik untuk menerima nasihat baik. Dari buku sekalipun. Tentu beda dengan orang-orang atau anak-anak yang tidak mau membaca. Selalu merasa paling benar, tanpa mau memperbaiki kekurangannya.

 

Faktanya, membangun kegemaran membaca dan budaya literasi memang tidak mudah. Apalagi di tengah gempuran era digital yang kian masif. Apalagi di daerah-daerah yang level pendidikan, ekonomi, dan sosial tergolong masih bermasalah. Karena itu, pegiat literasi dan taman harus puya semangat juang yang tinggi. Taman bacaan tidak cukup hanya ikhtiar baik. Tapi harus didukung sikap militan dan spartan dalam menghidupi taman bacaannya. Demi tegaknya kegemaran membaca dan budaya literasi masyarakat.

 


Menurut standar UNESCO, satu orang seharusnya membaca minimal 3 buku tiap tahunnya. Asia Timur, Eropa dan Amerika Serikat rata-rata sudah mampu 15-30 buku per tahunnya. Sementara di Indonesia, pasti jauh dari standar UNESCO. Akibat jumlah ideal keberadaan buku di Indonesia masih minim. Idealnya, Indonesia butuh 810 juta eksemplar buku per tahun yang harus beredar di masyarakat. Namun, nyatanya, total jumlah bacaan berbanding rasional nasional di Indonesia hanya 0,9 persen atau kurang dari 1 persen. Alias 1 buku ditunggu oleh 90 orang.

 

Jadi apa yang harus dilakukan? Tidak ada kata lain, selain membumikan gerakan membaca buku dan literasi di Indonesia. Hal ini pula yang jadi spirit Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor. Sejak didirikan 5 tahun lalu, hanya 14 anak yang mau membaca buku. Tapi kini, tidak kurang dari 130 anak usia sekolah yang rajin membaca buku seminggu 3 kali. Bahkan kini, TBM Lentera Pustaka telah menjalankan 14 program literasi, termasuk di dalamnya gerakan berantas buta aksara, calistung kelas prasekolah, TBM ramah difabel, motor baca keliling, yatim binaan, jompo binaan, dan koperasi simpan pinjam. Taman bacaan yang tadinya hanya tempat membaca buku, kini berubah menjadi sentra pemberdayaan masyarakat yang bersifat inklusif. Tidak kurang 250 orang per minggu tercatat sebagai pengguna layanan TBM Lentera Pustaka.

 

Dari buku dan taman bacaan, anak-anak mau apa?

Tentu, agar anak-anak dilatih untuk berani memperbaiki diri. Agar tidak cepat merasa puas dengan apa yang diraih tapi belum tentu baik. Anak-anak yang mau ikhtiar untuk menjadikan hari esok lebih berkualitas. Dari buku dan taman bacaan, anak-anak bisa belajar tentang pentingnya proses dan ikhtiar tanpa perlu menakutkan hasil.

 

Agar esok, jangan lagi bilang hidup kok begini-begini saja. Salam literasi #BacaBukanMaen #TamanBacaan #TBMLenteraPustaka



Tidak ada komentar:

Posting Komentar