Catatan sejarah sudah membuktikan. Bahwa Ibu Raden Ajeng Kartini, sang pahlawan nasional adalah perempuan hebat. Selain dikenal pejuang emansipasi, Kartini pun punya cita-cita besar untuk memajukan perempuan Indonesia pada masanya. Semasa hidupnya, Kartini terpaksa tidak melanjutkan sekolah dan menjalani pingitan. Akibat budaya dan tradisi Jawa pada saat itu,Namun begitu, Kartini tetap bermimpi untuk bisa meneruskan pendidikannya. Di sela aktivitas surat-menyurat dengan teman-temannya yang berada di Belanda, Kartini pun tertarik pada kehidupan dan cara berpikir perempuan di Eropa. Kartini bermimpi agar perempuan pribumi dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin tanpa terbatas dengan tradisi.
Namun sejatinya, apa yang diperjuangkan Ibu
Kartini sejatinya sudah kelar. Emansipasi dan kesetaraan gender sudah tidak
jadi isu di Indonesia. Karena perempuan dan laki-laki memang sudah setara, sudah
sama dari sisi apa pun. Maka persamaan hak perempuan telah usai, emansipasi bukan
lagi masalah. Bahkan tidak sedikit tafsir
tentang emansipasi perempuan pun jadi kebabalasan.
Bila mau jujur, fakta hari ini emansipasi
pun sudah bergeser. Karena emansipasi perempuan, banyak yang menafisrkan
sebagai perilaku dan ambisi. Emansipasi tidak lagi dilihat sebagai values atau
nilai-nilai ke-perempunan-an seperti yang diperjuangkan Ibu Kartini. Emansipasi
sering dianggap sebagai “harga” dan status sosial. Feminisme hanya sebatas
gerakan. Sehingga tidak sedikit kaum perempuan yang terjebak untuk mengejar statsu
sosial dan gaya hidup. Sosialita dan komunitas gaya hidup di kantor-kantor
justru berkembang pesat. Semata-mata hanya untuk mengejar ambisi dan memenuhi ekspektasi sosial.
Maka sebagai bahan renungan, penting
bila hari ini, emansipasi perempuan dikembalikan kepada sikap, bukan ambisi.
Sikap perempuan yang dinaungi nilai-nilai positif di dalam diri sendiri, bukan justru
mencari dan dikejar ke luar dirinya. Emansipasi sebagai sikap yang dalam perbuatan
yang berdasar pendirian dan keyakinan yang baik. Sementara emansipasi yang
dipersepsi sebagai ambisi, tentu hanya menjadi pelampiasan hasrat atau nafsu
untuk menjadi sesuatu. Ambisi untuk meraih status, pangkat atau kedudukan agar dianggap “berhasil” di mata publik.
Tidak dapat dipungkiri, perempuan
hari ini sudah banyak yang pergi pagi pulang malam. Menjadi Menteri, direktur, Wanita
karier, bahakn menjadi tulang punggung keluarga. Di berbagai sector industri,
di berbagai profesi. Tidak ada lagi perbedaan antara perempuan dan laki-laki. Bahkan
lebih dari itu, saking pedulinya negara, ada kementerian khusus bernama "Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA)" yang dulunya bernama
"Menteri Urusan Wanita". Sebuah komitmen negara untuk memberdayakan
perempuan.
Akibat emansipasi, terus terang,
untuk menjadi perempuan sukses, wanita yang pintar, dan wanita yang kaya
nyata-nya tidaklah susah. Tapi di tengah kesuksesannya, perempuan pun harus
tetap menjunjung tinggi nilai-nilai. Untuk menjadi perempuan yang solehah, selalu
bersyukur, sabar, dan Sesuai kodrat ke-perempuanan-nya. Karena perempuan tetap
perempuan, apapun stuatus dan jabatannya. Karenanya emansipasi perempuan butuh
sikap, bukan ambisi.
Sikap perempuan yang tidak gampang
lupa atas kewajibannya dan kodratnya. Perempuan yang tidak hanya mengejar urusan
dunia. Tapi mampu pula menjadi tiang keluarga, Amanah, dan tetap mendidikan
anak-anaknya melalui contoh pikiran dan perilaku baiknya. Karena sejatinya,
emansipasi bukanlah pemberontakan terhadap kodrat kewanitaannya. Bukan pula
berjuang untuk setara di satu sisi. Tapi salah kaprah dengan keberhasilan dan
kebebasan dirinya di sisi lain.
Emansipasi bukan perempuan sibuk
yang akhirnya membiarkan anak-anak kesepian. Bukan pula anak-anak yang mudah
dicaci maki karena ibunya merasa benar tanpa mampu introspeksi diri. Bila hari
ini, masih ada anak-anak yang "terluka hatinya" karena ibu mereka.
Itu tanda bahwa Kartini hanya sebatas ambisi bukan sikap.
Sekali lagi, emansipasi itu sikap
bukan ambisi. Maka jangan pernah ada. Kaum perempuan yang berani berkata
"ya" untuk orang lain. Tapi mudah berkata “tidak” untuk keluarganya. Maka
di Hari Kartini, perempuan harus tetap introspeksi diri. Untuk berubah menjadi sosok
yang lebih baik. Tentu, harus dimulai dengan memperbaiki sikapnya bukan mengubah
kondisi di luar dirinya. Apalagi hanya
untuk mengejar ambisi atau obsesi.
Makna Hari Kartini adalah memperbaiki
sikap bukan mengokohkan ambisi. Karena emansipasi adalah sikap bukan ambisi.
Salam dari Kartono untuk Kartini. #HariKartini #EmansipasiWanita #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar