Percaya
gak? Kalau mutu pendidikan itu sebetulnya sangat bergantung pada budaya
membaca. Harusnya sih begitu. Karena membaca kan memang untuk menambah ilmu dan
pengetahuan, bahkan wawasan. Buku-buku yang dibaca, tentang apapun, pastinya memberikan
informasi kepada si pembacanya. Jadi gak bisa dibantah, bahwa membaca sangat
menentukan mutu pendidikan.
Sebut
saja negara Finlandia.
Finlandia
adalah negara dengan system dan mutu pendidikan terbaik di dunia. Tiap kali ada
rating pendidikan, Finlandia selalu mengungguli
Amerika Serikat dalam literasi membaca, sains, dan matematika. Finlandia
selalu menempati skor terbaik dalam survei penilaian siswa internasional
(PISA). Padahal, sekolah di Finlandia memiliki hari sekolah yang lebih
singkat jika dibandingkan dengan sekolah di negara lain. Bahkan sekolah Finlandia
tidak melakukan ulangan atau ujian standar.
Masyarakat
Finlandia memang sangat membudayakan kegiatan membaca. Anak-anak usia sekolah
di sana sangat antusiasa atau ketagihan dalam urusan membaca. Finlandia memang
bukan negara kaya. Tapi urusan pendidikan, negara ini tergolong tidak
tertandingi. Jadi sangat jelas, budaya membaca pastinya menjadi alasan
meningkatnya mutu pendidikan.
Mari
kita tengok di Indonesia. Hari ini, berapa banyak anak-anak Indonesia yang
gemar mmbaca? Faktanya tidak banyak. Bila merujuk pada survei UNESCO (2012),
indeks tingkat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, hanya
ada satu orang dari 1000 penduduk yang masih ‘mau’ membaca buku secara serius.
Alhasil, sangat wajar Indonesia ditempatkan pada posisi 124 dari 187 negara
dalam penilaian Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Karena budaya membaca
sangat rendah. Budaya literasi pun baru sebatas didengung-dengungkan, belum
dimplementasi secara nyata, masif, dan berkelanjutan.
Bahkan di era digital
seperti sekarang, budaya baca semakin terpinggirkan. Minat baca anak-anak makin
rendah. Beragam jenis hiburan, game, handphone, tayangan TV, internet yang
kurang mendidik makin menjauhkan anak-anak dari buku bacaan. Bahkan guru atau
pendidik pun ikut terbawa arus. Karena faktanya, guru dan pendidik di Indonesia
saat ini pun makin “jauh” dari aktivitas membaca dan menulis.
Kata
banyak orang, waktu itu sangat penting. Tapi di Indonesia, bisa jadi, banyak
waktu yang terbuang percuma untuk kegiatan yang sia-sia. Waktu untuk membaca justru
habis digunakan untuk kebiasaan yang tidak baik, seperti ngobrol, main
handphone, nonton dan sebagainya. Sangat jelas, antusiasme membaca orang Indonesia
sangat rendah. Lebih senang aktivitas yang instan dan sedikit manfaatnya. Maka
wajar, mutu pendidikan di Indonesia pun masih rendah. Alih-alih, mutu
pendidikan membaik malah jadi menurun. Karena budaya membaca sudah semakin
langka. Membaca itu penting hanya sebatas diskusi dan seminar, tanpa perlu
benar-benar dibudayakan dalam perilaku.
Terbukti,
budaya membaca berpengaruh pada mutu pendidikan.
Riset
PISA dan Libang Depdiknas (2003) menyebutkan kemahiran membaca anak usia 15
tahun di Indonesia sangat memprihatinkan. Sekitar 38% hanya bisa membaca tanpa
bisa menangkap maknanya dan 25% hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan
satu informasi pengetahuan. Itu pertanda bahwa membaca bukan budaya di negeri
ini. Karena itu, upaya meningkatkan tradisi baca dan budaya literasi anak-anak
usia sekolah harus digalakkan dalam aksi nyata. Gerakan Literasi Sekolah (GLS)
yang sudah dicanangkan harusnya jangan sebatas gerakan tanpa aksi nyata. Atau
sebatas seremoni tanpa program berkelanjutan.
Maka
hari ini, suka tidak suka, kegiatan tradisi baca dan budaya literasi harus
disajikan ke tengah-tengah masyarakat. Karena semakin ke sini, makin banyak
orang Indonesia yang malas membaca dan malas menulis. Sementara bermain gawai
bisa menghabiskan 5,5 jam sehari. Luar biasa!!!
Budaya membaca tidak cukup sekadar bahan
diskusi atau seminar. Membaca harus jadi perilaku anak-anak dalam keseharian.
Membaca harus jadi kebiasaan, bahkan gaya hidup. “Kalau tidak baca tidak keren”,
begitu istilahnya. Dan jangan sampai, kebiasan hidup anak-anak kita “dikendalikan”
oleh gawai. Apalagi masa depan anak-anak hanya da di dunia maya, sungguh sangat
bahaya.
Berangkat dari realitas itu, TBM (Taman
Bacaan Masyarakat) Lentera Pustaka yang berlokasi di Desa Sukaluyu Kaki Gunung
Salak Bogor sangat peduli untuk membangun tradisi baca dan budaya literasi di
kalangan anak-anak usia sekolah. Karena dengan membaca, anak-anak akan menambah
pengatahuan, di samping memperbanyak kosakata termasuk membentuk karakter.
Bahkan bila membaca jadi kebiasaan, anak-anak pun akan lebih “sedikit ngomong”
daripada membaca.
“Di zaman serba instan begini,
aktivitas membaca anak-anak tidak boleh kalah dari gawai. Dengan membaca, anak-anak
pun tidak jadi manusia yang banyak omong. Karena itu, membaca harus dijadikan
gaya hdup sehari-hari. Nah, taman bacaan harus mengambil peran penting dalam
menegakkan tardisi baca dan budaya literasi di kalangan anak-anak kita. Karena
tanpa baca, kita merana” ujar Syarifudin Yunus, Pendiri dan Kepala Program TBM
Lentera Pustaka.
Oleh karena itu, TBM
Lentera Pustaka akan terus mengkampanyekan akan pentingnya membaca bagi
anak-anak daripada bermain, menonton TV, atau main gawai. Inilah saatnya, semua
pihak membangun kesadaran kolektif untuk bersinergi dalam membangun tradisi
baca dan budaya literasi di lingkungan masing-masing. Harus ada aksi nyata
untuk mengubah niat baik dalam membiasakan anak-anak untuk membaca.
Mutu pendidikan Indonesia pasti hebat
bila anak-anaknya gemar membaca.
Negara akan hebat, keluarga akan hebat
bila anak-anak yang ada di dalamnya selalu mau membaca dan dekat dengan buku.
Namun sebaliknya, siapapun akan sengsara bila anak-anak semakin jauh dari buku.
Inilah momentum,
untuk tegakkan tradisi baca dan budaya literasi anak-anak. Dekatkan anak-anak
pada buku, perbanyak membaca bukan bermain. Dan yang terpenting, jangan
jadikan anak-anak terlalu banyak omong tanpa pernah membaca di masa depan …
#TGS #TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen #BudayaLiterasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar