Apapun alasannya, uang pesangon wajib dibayarkan oleh perusahaan kepada karyawan yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau pensiun. UU No. 6/2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja Pasal 156 ayat (1) dengan tegas menyebut: “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.” Aturan pesangon pun diperjelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2021.
Sesuai
regulasi, ada tiga komponen utama uang pesangon yaitu 1) uang pesangon (UP), 2)
uang penghargaan masa kerja (UPMK), dan 3) uang penggantian hak (UPH). Uang Pesangon
(UP) mengacu pada kompensasi pokok yang dihitung berdasarkan masa kerja dan
alasan berhenti bekerja, sementara Uang Penghargaan Masa Kerja (UPMK) mengacu
pada kompensasi yang diberikan untuk karyawan terkait masa kerja, dan Uang
Penggantian Hak (UPH) sebagai penggantian hak-hak karyawan yang belum
terpenuhi, seperti cuti tahunan yang belum diambil. Tabel acuannya bisa dilihat
di kedua regulasi tersebut, baik UU No. 6/2023 atau PP No. 35/2021.
Bagaimana
realisasi uang pesangon di Indonesia? Ternyata, tingkat kepatuhan perusahaan
(pemberi kerja) atas pembayaran uang pesangon karyawan tergolong rendah. Estimasinya,
kepatuhan pembayaran uang pesangon hanya 27,6% membayar sebagian dan hanya
16,7% yang membayar penuh atas jumlah uang pesangon sesuai aturan (Kemenkeu RI,
2025). Artinya, hanya 2 dari 10 karyawan yang dibayar uang pesangonnya sesuai
regulasi. Padahal, uang pesangon ini berlaku hanya untuk “karyawan tetap”, yang
berarti karyawan kontrak tidak eligible untuk mendapat uang pesangon.
Rendahnya
kepatuhan perusahaan dalam membayar uang pesangon bukan tanpa alasan. Sebabnya,
selama ini sebagian besar perusahaan hanya mencatat nilai kewajiban uang
pesangon tapi tidak ada pendanaan khusus. Dana uang pesangon yang menjadi
kewajiban perusahaan “tidak dipisahkan” dari kekayaan perusahaan. Pesangon
hanya dicatat dan dibukukan tapi tidak didanakan. Konsekuensinya, saat terjadi
PHK atau pensiun maka berpotensi besar “uang pesangon” tidak atau belum
tersedia. Maka wajar, uang pesangonn yang menjadi hak karyawan hanya 16,7% yang
dibayar penuh. Selebihnya wallahu a’lam.
Kita
sepakat, setiap karyawan yang berhenti bekerja akibat PHK atau pensiun wajib
mendapat uang pesangon. Tapi data lain menunjukkan, dari kejadian PHK atau
pensiun, karyawan yang berhak atas pesangon sebesar 11,3%,
namun yang benar-benar menerima pesangon hanya 3,2%, sedangkan yang uang pesangonnya dibayar penuh hanya 0,5%.
Jadi, mau tidak mau, solusi atas kepatuhan perusahaan dalam pembayaran uang
pesangon kepada karyawan adalah “mewajibkkan pendanaan uang pesangon” bagi
perusahaan-perusahaan. Bukan hanya dicatat dan dibukukan tapi dididanakan melalui
dana pensiun.
Kita
tahu, tingkat loyalitas atau masa kerja karyawan bekerja di suatu perusahaan rata-rata
9 tahun. Sementara sebagian besar perusahaan atau pemberi kerja “berupaya” agar
karyawan tidak pensiun di perusahaannya. Maka, apalagi yang bisa diharpankan
selain membayar uang pesangon sesuai dengan aturan. Jadi, soal kepatuhan
perusahaan membayar uang pesangon karyawan harus ditingkatkan. Wajib dan wajib!
Patut
diingat, sistem ketenagakerjaan di Indonesia itu “tidak portabel”. Sebab masa
kerja (termasuk uang pesangon) tidak bisa dibawa saat seseorang pindah tempat
kerja, pindah skema, atau berubah status kerja. Itulah yang disebut “payung ajaib”
(perlindungan karyawan yang Ajaib). Kalau portabel, “paying” ikut ke mana pun karyawan
berjalan. Karena tidak portabel, “payungnya” nempel di kantor lama. Begitu karyawan
resign atau berhenti kerja, ya bye-bye saja. Dan karyawan pun “kehujanan” lagi,
mulai dengan “payung” baru.
Begitulahdunia
kerja dan ketenagakerjaan. Pindah kerja, hak tidak ikut pindah. Ganti status
kerja (karyawan tetap jadi freelance) maka perrlindungan hangus atau berhenti. Ganti
program (misal dari program A ke program B) maka manfaat lama tidak bisa dibawa
ke yang baru. Intinya, benefit karyawan pasti nyangkut di sistem lama. Begitulah
seterusnya bagi karyawan yang sering pindah-pindah kerja. Rudi masa kerja, rugi
perhitungan uang pesangon ditambah kepatuhan perusahaan bayar pesangon pun
rendah.
Urusan
ketenagakerjaan dan dana pensiun, mungkin sederhana saja. Cukup mencari cara
untuk meningkatkan kepatuhan perusahaan dalam membayar uang pesangon yang jadi
hak karyawan saat berhenti bekerja, entah akibat PHK atau pensiiun. Selain
sudah diatur oleh regulasi, uang pesangon pasti dibayarkan perusahaan, cepat
atau lambat. Masalahnya, uang pesangonnya ada atau tidak?
Kepatuhan
membayar uang pesangon, itulah esensi tantangan dana pensiun dan
ketenagakerjaan di Indonesia. Tidak masalah karyawan berhenti bekerja (akibat
PHK atau pensiun), asal uang pesangon dibayar sesuai aturan. Di situlah,
edukasi dana pensiun menjadi penting dilakukan. #YukSiapkanPensiun
#EdukasiDanaPensiun #UangPesangon

Tidak ada komentar:
Posting Komentar