Namanya Pak Syarif, karyawan tetap di sebuah perusahaan telekomunikasi ternama di Jakarta. Setiap bulan, gajinya mencapai Rp20 juta, cukup besar untuk ukuran staf senior. Biar cuma stafm gaya hidupnya tergolong mentereng. Kantornya megah, mobilnya mentereng, dan makan siang hampir selalu di restoran. Jarang di kantin kantornya.
Pak Syarif,
setiap gajian, uangnya langsung mengalir ke berbagai kebutuhan: cicilan rumah,
mobil, untuk biaya anaknya sekolah dan kebutuhan bulanan. Makannya pun
tergolong enak. Dia menabung tapi untuk liburan ke Bali atau belanja online. Pak
Syarif nyaman banget saat bekerja, segalanya tercukupi. Merasa aman, karena
baginya "hidup kan harus dinikmati, bukan untuk dihitung-hitung."
Suatu kali,
ketika koleganya mulai ikut dana pensiun sukarela (DPLK) dan mengatur tabungan untuk
hari tua, ia tertawa kecil. "Ah, masih lama pensiun mah. Nanti juga ada
pesangon dari kantor dan Jaminan Hari Tua BPJS, kan?" katanya membatin.
Waktu memang
berjalan cepat. Tak terasa, usia Pak Syarif sudah menyentuh 55 tahun. Dia dipanggil
HRD untuk menerima surat pensiunnya. Sekaligus dia menerima uang pesangon
sebagai penghargaan atas masa kerjanya. Tapi uang pesangon langsung dipakai
untuk melunasi utang dan sisa cicilan. Tak ada tabungan yang besar. uang JHT
pun “terpaksa” harus dirit-irit untuk menutupi biaya bulanannya setiap bulan. Pak
Syarif “terpaksa” harus disiplin mengandalkan hidup dari uang JHT yang dipunya
walau tidak besar. Bila untuk 60 bulan
ke depan, kira-kira dia hanya bisa memgambil Rp800 ribu per bulan. Sudah tentu,
tidak cukup untuk keuarganya. Untuk makan harian dan bayar listrik sudah pas.
Apalagi bila dibandingkan gajinya waktu bekerja yang Rp. 20 juta, sudah pasti
standar hidupnya di masa pensiun jadi menurun drastis.
Apa yang
terjadi setelah lima tahun pensiun? Kini Pak Syarif tinggal di rumah anaknya di
Bojong Gede, Bogor. Hidupnya di hari tua jauh dari gemerlap kota yang dulu ia
kenal saat masih bekerja. Istrinya pun sering mengeluh soal belanja, sementara
anak-anaknya sibuk dengan kehidupan masing-masing. Saat anaknya diminta bantuan
pun, jawabnya enteng “lagi nggak ada uang, buat keperluan sendiri” kata
anaknya.
Tidak tahan
kondisi ekonominya yang kian merosot. Pak Syarif mencoba melamar kerja lagi,
tapi usianya dianggap "sudah lewat." Tidak ada perusahaan yang
tertarik mempekerjakan pensiunan tanpa tabungan. Sehebat apapun saat masih
bekerja, kini ia hanya menyesali, kenapa dulu saat bekerja tidak ikut dana
pensiun?
Setiap malam
Pak Syarif termenung, menatap rembulan. Sambil mengenang masa lalu: "Dulu,
kalau saja aku sisihkan 10% gajiku untuk dana pensiun... hidupku tak akan
begini." Da kini, ia hanya bisa bertahan dengan uang Rp800 ribu per bulan
yang dipakai untuk memenuhi biaya hidupnya di hari tua. Tabungannya tidak bisa
diambil dengan boros, karean akan mengganggu kehidupan di bulan-bulan
berikutnya. Pak Syarif, hanya kisah pensiunan yang sengsara di hari tua.
Sementara gaji besar saat bekerja tinggal kenangan.
----
Dari kisah
Pak Syarif, ternyata gaji besar tidak menjamin hari tua yang sejahtera. Tanpa
perencanaan pensiun sejak dini, masa pensiun bisa jadi masa penderitaan. Untuk
apa gaji besar saat bekerja bila akhirnya sengsara di masa pensiun.
Jadi untuk
siapapun yang saat ini sedang bekerja dan pasti akan pensiun, cepat atau
lambat. Silakan tentukan mau seperti apa kita di masa pensiun? Karena pensiun
bukan soal waktu tapi soal keadaan. Salam #YukSiapkanPensiun #EdukasiDanaPensiun
#DPLKSAM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar