“Pilih mana, jadi orang hebat tanpa manfaat atau jadi orang biasa yang bermanfaat?” tanya seorang anak TBM Lentera Pustaka kepadaku. Hingga saat ini, pertanyaan itu masih terngiang-ngiang. Kenapa aku harus memilih antara orang hebat tapi tanpa manfaat atau jadi orang biasa yang bermanfaat. “Kenapa sih harus memilih?” pikirku sederhana. Apa aku tidak berhak menjadi orang yang hebat dan bermanfaat?
Dan hari ini, di hari ke-4 bulan Ramadhan 1445 H, setelah
melalui sedikit perenungan. Aku mantap memilih untuk menjadi orang biasa yang
bermanfaat. Karena bila kadar ema situ adalah karatnya. Maka kadar manusia itu
ada pada manfaatnya untuk orang lain. Mau sehebat apapun yang aku omongkan.
Tapi bila tidak ada manfaat untuk orang lain ya percuma saja. Tapi sebaliknya,
sekecil apapun perbuatan yang aku lakukan seperti berkiprah di taman bacaan. Bila
itu bermanfaat bagi banyak orang, maka itu jauh lebih baik. Tidak apa-apa jadi
orang biasa asal masih bisa menebar manfaat. Karena “sebaik-baik manusia adalah
yang paling bermanfaat untuk manusia lainnya.
Memang benar. Kadar emas adalah karat. Kadar manusia itu
manfaat. Apapun yang dikerjakan, pada akhirnya bila mampu memberi bermanfaat jauh lebih penting
daripada sekadar dipandang hebat. Tidak peduli apa kata orang, tidak peduli
pada prasangka buruk orang lain. Karena yang bermanfaat itu pasti ada rasanya.
Sementara yang hebat terkadang hanya sebatas pandangan mata. Lebih baik menjadi manusia dengan kadar manfaat tinggi. Bukan sekadar
menjadi seonggok daging berbungkus kulit yang hanya hebat tanpa manfaat.
Banyak riwayat menyebut, siapapun yang bisa menghadirkan
senyum ke hati orang lain. Menghilangkan kesusahan atau kelaparan yang dialami
orang lain. Bahkan menyenangkan hati anak-anak yang membaca buku di taman
bacaan. Itulah perbuatan dan amalan yang paling dicintai Allah SWT. Bahkan
lebih dicintai daripada ber-i’tikaf di masjid Nabawi selama sebulan lamanya.
Karena mau berbuat baik dan bermanfaat untuk orang lain. Maka, jangan pernah
melemah untuk menjadi pribadi yang penuh manfaat bagi sesama, di mana pun dan
hingga kapan pun.
Di cerita lainnya, aku juga pernah “kalah telak”. Ketika niat
dan perbuatan baik yang aku jalani. Tiba-tiba dibenci dan dizolimi orang lain.
Diteror dan difitnah, hingga “dirampas” segala hak-hak yang ada padaku. Hingga
menjadi manusia yang “terusir” akibat jalur “mulut manis” manusia. Tapi
qadarullah, aku masih menjadi manusia biasa yang tetap menebar manfaat. Di
tengah terpaan badai, aku tetap diam dan terduduk di singgasana kesabaran. Aku
masih seperti yang dulu, sekalipun hanya orang biasa. Masih tetap mengajar
lebih dari 29 tahun di kampus, masih bekerja untuk membiayai anak-anakku, dan
masih tetap berkiprah di taman bacaan sebagai jalan hidup pengabdian. Tidak
peduli seberapa benci orang-orang itu padaku hingga kini.
Dan hari ini, pertanyaan lain ada lagi. "Pilih mana,
bersinar di tempat kecil? Atau biasa-biasa saja di tempat besar?" ujar
seseorang kepadaku. Aku pun tertunduk sejenak. Sambil bertanya pada diri
sendiri, kenapa harus memilih lagi? Apa aku tidak boleh bersinar di tempat yang
besar? Ternyata, jalan hidup orang tidak bisa dipilih. Semuanya akan mengalir
dan berproses ke tempat yang semestianya, sesuai kehendak-Nya. Di luar
aktivitas keseharianku, kini aku akhirnya terdampar dan memilih “lebih baik
bersinar di tempat kecil”. Menjadi lentera bagi ratusan anak dan warga di taman
bacaan di kaki Gunung Salak Bogor. Lagi-lagi, tidak peduli apa kata orang. Aku
hanya mengerjakan apa yang harusnya dikerjakan.
Ayahku, sebelum meninggal di tahun 2021 lalu, dia pernah
berkata, “Tidak apa-apa Nak, asal kamu tetap baik dan bermanfaat. Kerjakan
saja, apalagi bila kamu senang mengerjakannya. Insya Allah berkah ada di situ”.
Dan hingga kini, aku masih memegang teguh nasihat dari ayahku. Lebih baik
berada di tempat kecil namun memberi sinar. Daripada berada di tempat yang
besar tapi biasa-biasa saja. Ternyata benar, tidak terlalu penting punya nama
besar dan omongan hebat. Bila akhirnya tidak mampu berbuat baik dan menebar
manfaat. Apalagi hanya bisa menyalahkan orang lain dan mengeluhkan keadaan.
Dan hari ini, aku genap
berusia 54 tahun. Hanya seorang lelaki biasa yang ingin tetap menebar sinarnya
di tempat yang kecil. Tetap berkiprah di taman bacaan, untuk mengisi hari-hari
tersisa menjelang kematian. Bertekad untuk selalu memperbaiki diri, tetap
berbuat baik dan menebar manfaat di taman bacaan. Bergaul dengan anak-anak yang
rajin membaca, menyantuni anak-anak yatim dan kaum jompo. Dan terus bersyukur
sekalipun jadi “driver motor baca keliling” dari kampung ke kampung setiap
minggunya. Kiprah sosial yang jadi jalan hidup, di luar aktivitas keseharianku
yang terbilang padat. Selalu menyediakan waktu dan tenang untuk menebar manfaat
kepada orang lain.
Bila ada yang bertanya
mau apa lagi di usia ke-54 tahun? Aku pun hanya bisa menjawab dengan sederhana.
Aku hanya ingin terus memperbaiki diri, sambil berbuat baik dan menebar manfaat
kepada orang lain. Tetap berada di lingkungan kecil yang lebih menghargai
keberadaanku. Dibandingkan berjuang punya nama besar di lingkungan besar yang
tidak memberi manfaat apapun. Di usia yang sudah tua kini, aku hanya bertekad
dan ikhtiar untuk 1) menyelesaikan disertasi dan meraih gelar doctor manajemen
pendidikan, 2) diberi sehat dan panjang umur untuk beribadah kepada-Nya, dan 3)
tetap berkiprah secara sosial di taman bacaan yang aku dirikan sendiri. Dan
menemani anak perempuan kesayanganku untuk menggapai cita-citanya, insya Allah.
Aku hanya bisa memperbaiki niat dan membaguskan ikhtiar di mana pun.
Selebihnya, aku serahkan segalanya kepada Allah SWT. Biarkan Allah yang bekerja
untukku esok. Aku hanya ingin menyenangkan Allah, agar Allah pun sudi
menyenangkanku, amiin.
Aku dan siapapun boleh
bekerja, boleh berbisnis, boleh bersosial, bahkan sangat boleh bergaul. Tapi
pekerjaan, bisnis, aktivitas sosial, dan pergaulan yang paling baik adalah yang
bisa menyambungkan kita lebih dekat pada Allah. Karena soal hidup dan usia
seseorang bukan terletak pada seberapa lama. Tapi seberapa baik dan bermanfaat
kita untuk orang lain. Itulah orientasi hidup yang paling utama, untuk lelaki
yang kini berusia 54 tahun.
Bila kadar emas itu adalah karat, maka kadar manusia itu ada
pada manfaatnya. Maka jangan pernah lelah untuk menjadi pribadi yang lebih baik
dan lebih bermanfaat. Salam literasi #BacaBukanMaen #TamanBacaan
#TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar