Dirgahayu Indonesia, Selamat HUT Kemerdekaan ke-78 Republik Indonesia. Semoga jadi bangsa yang literat dan selalu eling lan waspada untuk rakyatnya.
Merdeka yang literat. Merdeka
yang tidak lagi melawan penjajah. Merdeka yang bukan untuk mengangkat senjata.
Tapi merdeka untuk ikut memperbaiki keadaan. Bukan mencaci kondisi yang terjadi.
Merdeka itu sama sekali tidak literat. Bila hanya waktu luang atau ikhtiar
hanya digunakan menebar kebencian, hoaks, dan bergibah tentang masalah tanpa
bisa mencarikan solusi. Merdeka itu bukan menggati “penjajahn” lalu dengan “penghakiman”
kepada orang lain tanpa jelas juntrungan.
Siapapun pasti ingin merdeka.
Terbebas dari belenggu, bebas dari tekanan. Bukan sebaliknya, justru meng-intimidasi
orang lain. Hidup di era merdeka tapi perilaku justru “menjajah” orang lain.
Apalagi di era serba digital seperti sekarang, terlalu mudah dan banyak tersebar
pesan-pesan yang tidak bermutu. Jadi, untuk apa merdeka bila gagal memahami
realitas?
Jadi sangat
penting, merdeka yang literat. Kemerdekaan yang dibarengi dengan kompetensi dan
kecakapan dalam hidup. Merdeka yang diisi oleh orang-orang yang berdaya untuk
memberdayakan keadaan. Merdekat yang literat terjadi ketika orang-orangnya punya kesadaran belajar, mampu memahami realitas, dan berani
mentransformasikan pikiran ke dalam perilaku sehari-hari yang baik. Hanya ada 3
(tiga) ciri merdeka yang literat, yaitu: 1) hidup yang selalu adaptif, 2) kontribusi
yang selalu positif, dan 3) manfaat yang pasti solutif. Tanpa itu, maka
kemerdekaan hanya “seremoni” bukan “esensi”.
Merdeka
hari ini, siapapun bebas mencari pengetahuan. Informasi yang bertebaran di
dunia maya harus digunakan untuk hal-hal yang produktif. Bukan sebaliknya untuk
mencari bahan menghakimi orang lain. Merdeka pun harus mampu membebaskan
siapapun dari pengkotak-kotakan. Janga nada lagi sekat-sekat kaya-miskin, bodoh-pintar
apalagi didasari SARA. Bangsa ini akan sangat lelah hanya untuk mengurusi
perbedaan. Lebih baik fokus pada persamaan dan kekuatan yang produktif.
Sehingga ujungnya, merdeka dipakai untuk kebebasan berinovasi. Kemerdekaan yang
tidak lagi bertempur dengan senjata. Melainkan pertempuran dengan pikiran-pikiran
inovatif untuk menjadikan kehidupan seluruh rakyat Indonesia menjadi lebih
baik, lebih maju.
Merdeka
yang literat, bukan menuding minat baca bangsa yang rendah. Tanpa mau
menyediakan akses bacaan dan tempat membaca. Merdeka tidak cukup dengan terheran-heran
karena masih ada kaum buta huruf di era digital. Tapi mengambil aksi nyata untuk
mengajarkan dan memebaskan mereka dari buta aksara. Merdeka yang literat pun
bersikap tidak apatis terhadap gerakan literasi dan taman bacaan. Harus ada
ruang dan akses untuk anak-anak dan masyarakat lebih dekta dengan buku bacaan.
Itulah yang dijalani Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka. Untuk mewujudkan
kemerdekana yang literat, demi tegaknya perilaku membaca dan budaya literasi
maysrakat.
Bila
sepakat, bangsa yang literat pasti dibentuk dari masyarakat
yang literat. Sedangkan masyarakat yang literat, tentu dibangun dari
individu-individu yang literat. Maka individu yang literat sejatinya hanya
memiliki fokus pada 3 (tiga) diskursus literasi yang penting, yaitu: 1)
kemampuan literasi dasar, 2) memiliki kompetensi, dan 3) mempunyai karakter
yang berkualitas. Sehingga lahirnya pribadi-pribadi yang literat,
yang merujuk pada “kompetensi dan
kecakapan” seseorang dalam menyeimbangkan pikiran dan perilaku, di samping mampu
adaptasi terhadap perubahan. Dan yang terpenting, mampu memecahkan masalah atas
realitas kehidupan sehari-hari.
Jadi, merdeka yang
literat adalah memperbanyak perbuatan baik dan menyedikitkan ocehan buruk.
Salam literasi #MerdekaYangLiterat #DirgahayuRI #TBMLenteraPustaka
#PegiatLiterasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar