Dari sekian perjalanan kehidupan, akhirnya saya terdampar di taman bacaan. Tepatnya Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Lentera Pustaka di kaki Gunung Salak Bogor yang saya dirikan 5 tahun lalu. Kenapa taman bacaan? Mungkin, taman bacaan sudah jadi jalan hidup saya. Momen langka yang “menyadarkan” saya betapa hidup harus “dipaksa” untuk bermanfaat bagi orang banyak. Manfaat memang harus diperjuangkan, tidak bisa dijalani sambil lalu.
Tapi bukan itu solanya,
justru di taman bacaan. Saya belajar betul tentang hidup sederhana. Apalah artinya
harta benda bahkan kekayaan bila hanya untuk disombongkan. Atau dipamerkan yang
tanpa sengaja akhirnya “menyakiti” orang-orang miskin atau orang yang tidak
mampu. Menurut saya, pasti ada yang salah.
Bila nikmat dan anugerah rezeki yang luar biasa dari Allah SWT hanya dimanfaatkan
untuk kepentingan diri sendiri. Tanpa bisa didedikasikan untuk kebaikan orang
lain.
Di taman bacaan, tanpa
disadari, saya berkurban untuk hidup sederhana. Sebuah cara pandang tentang hidup yang langka
hari ini. Sementara di luar sana, banyak orang berlomba-lomba mempertontonkan
kekayaaan. Hidup bergaya, konsumeris, bahkan borjuis. Hidup atas keinginan
bukan lagi kebutuhan. Bahkan tidak sedikit yang “memaksakan diri” sehingga utang
sana-sini atau pinjam uang sana-sini.
Berkat hidup sederhana,
saya merasakan indahnya berbagi kepada sesama. Menjadikan saya lebih mampu
mensyukuri nikmat yang diberikan Allah SWT. Hidup apa adanya, cara hidup pun
yang simpel-simpel saja. Seperti di TBM Lentera Pustaka, rumah yang dijadikan
taman bacaan. Membimbing ratusan anak membaca buku setiap hari Minggu, menyantuni
anak-anak yatim hingga membeasiswai untuk sekolah atau kuliah. Bergaul dnegan 9
kaum jompo dan ibu-ibu buta aksara. Jadi driver motor baca keliling, hingga memfasilitasi
anak-anak kelas prasekolah dan anak difabel. Semua itu, mengajarkan kepada saya
akan pentingnya hidup sederhana.
Hidup sederhana, tentu bukan tanpa
alasan. Karena mungkin, banyak orang hidup tidak lagi sederhana. Terlalu
berlebih-lebihan. Tidak lagi hidup bersahaja seperti alm. Buya KH. Syafii
Maarif. Malu hidup apa adanya. Lebih berani tampil mewah dan tidak sederhana.
Kenapa?
Banyak orang lupa. Kekayaan dan harta
benda yang dikelola atas dasar kesederhanaan adalah bentuk kemewahan sejati. Termasuk
menikmati apa yang ada dan tetap bersyukur atas apa yang dimiliki. Karena sederhana,
sejatinya lebih baik daripada memaksakan diri untuk terkesan mewah. Adalah Nabi
Muhammad SAW patut jadi teladan. Lebih memilih hidup sederhana padahal dia kaya
dan kuat.
Hidup sederhana itu bukan hemat apalagi
pelit. Tapi sederhana adalah mampu menggunakan aset sesuai kebutuhan dan lebih bermanfaat.
Agar tidak terjebak pada hidup yang hedonis atau konsumeris. Toh, harta benda
dan kekayaan siapa pun sifatnya hanya sementara. Semua hanya titipan dari Allah
SWT, tinggal untuk apa dan bagaimana menggunakannya?
Jadi di hari Idul Adha, Idul Qurban. Bila
tidak mampu berkurban dengan sapi atau kambing, Mak cukup, berkurban untuk
hidup sederhana sambil memperbanyak amal ibadah. Salam literasi #TamanBacaan #PegiatLiterasi #TBMLenteraPustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar