Siapapun boleh hidup puluhan kali, bahkan seumur hidup silakan. Tapi ketahuilah, yang diingat orang hanya satu saja: wajah yang tampak. Hanya yang kelihatan, lalu mereka bisa memberi tafsir, menduga-duga, dan berpikir sesukanya. Semuanya di dunia ini, hanya sebatas yang tampak. Karena orang lain, mau sehebat apapun, tidak akan pernah benar-benar peduli tentang siapa kita di dalam
Cukup apa yang terlihat di mata.
Bahkan mereka akan mencar-cari apa yang bisa dilihat. Terlebih lagi, tentang
apa yang bisa mereka tafsirkan demi kenyamanan dirinya. Lebih suka pada tampak
fisik, bukan mental. Lebih mengagumkan hasil yang terlihat daripada proses yang
tersembunyi. Makanya wajah lebih penting daripada hati. Pikiran dianggap lebih
berkuasa daripada sikap. Wajar, akhirnya dunia memang tidak mendidik manusia
untuk memahami, hanya untuk menghakimi.
Terkadang, siapapun bisa jujur, tulus,
atau menderita dalam diam. Tapi jika tampak fisik tidak sesuai bayangan mereka,
maka segalanya sia-sia. Mereka (orang lain) hanya mau kita menjadi apa yang ada
di pikirannya. Mereka akan mengukir kita jadi “patung” yang mereka suka. Apakah
itu patung pahlawan, pecundang, pengkhianat, atau orang gagal. Dan parahnya,
banyak dari kita akhirnya belajar hidup dengan wajah yang bukan milik kita.
Berpikir dan bertindak seperti yang mereka mau. Hanya untuk diterima,
dihormati, atau sekadar tidak disingkirkan. Aneh sekali, di sistulah pentingnya
literasi.
Literasi itu penting untuk melawan
yang tampak. Untuk mengguncang pengagum “yang terlihat”, bukan ‘yang
tersembunyi”. Hanya ingin tahu rumah gedung di depan matanya tanpa peduli bagaimana cara membangunnya? Lebih suka melihat naik
apa dan pakai apa, bukan lagi bertanya untuk apa? Karena itulah, lahir dunia
yang palsu. Kita membentuk citra, membangun impresi, mengoleskan senyum buatan
demi menyelamatkan diri dari penilaian orang lain. Kita didorong untuk jadi apa
yang tampak baik, bukan apa yang sungguh-sungguh benar. Lebih senang dan
percaya pada cerita yang paling “ramai” bukan yang paling “benar. Karena
kebenaran dianggap tidak punya panggung, hanya kesan yang dirayakan. Maka
manusia tidak lagi tumbuh menjadi diri sendiri. Tapi menjadi tokoh dalam
sandiwara panjang bernama “kehidupan sosial.”
Literasi itu tugasnya menjaga
kebenaran, bukan membenarkan apa yang tampak dan terlihat. Kita sering melihat orang-orang yang hancur bukan
karena gagal. Tapi karena dinilai dengan cara yang tidak adil. Karena dihakimi
beramai-ramai tanpa bisa menyatakan yang sebenarnya. Banyak orang yang tahu sedikit
bicara banyak. Tidak tahu banyak tapi ngomong seperti yang paling tahu.
Akhirnya, jadilah seseorang yang rapuh
dijuluki lemah. Seseorang yang diam disanggap sombong. Seseorang yang sedih
dianggap drama. Tidak ada lagi yang benar-benar mau mengerti isi batin manusia.
Krena untuk itu dibutuhkan hati; dan hati yang hidup di zaman begini sudah jadi
barang mewah, semakin langka. Karena
banyak orang berlomba urusan fisik, urusan tampak muka.
Ini bukan soal individu. Tapi tentang sistem sosial dan
pikiran sesat yang kita biarkan tetap hidup. Banyak orang dididik oleh
prasangkanya sendiri. Anak-anak tumbuh dengan ketakutan menjadi dirinya
sendiri. Orang tua membesarkan anak demi gengsi, bukan demi nilai atau makna. Para
pejabat tampil bukan untuk menyuarakan nurani, tapi untuk memoles wajah di
depan kamera. Maka tidak heran, dunia kita makin lama makin penuh luka yang tidak
terlihat. Sebab semuanya sibuk melihat apa yang tampak, gemar atas apa yang
terlihat. Dan tidak satu pun yang mau dan berani masuk ke “proses batin” yang
lebih dalam.
Apa semuanya begitu? Tentu, tidak.
Masih ada orang dan tempat yang mau jadi seperti dirinya sendiri, apa adanya saja.
Masih banyak yang berusaha tetap menjadi otentik meski harus dibayar dengan
kesepian. Akan selalu ada manusia yang memilih tetap asli, berbuat baik dan
menebar manfaat. Tetap jujur walau dunia menertawakannya. Dan mungkin, tidak
akan dipahami banyak orang. Seperti berkiprah di taman bacaan, menyediakan
akses bacaan kepada anak-anak, dan menjadi relawan di taman bacaan. Kok mau
bersusah-susah di taman bacaan, toh anak-anak itu bukan anak kita? Untuk
menjawabnya, di situlah membutuhkan hati, bukan hanya logika. Butuh melihat
yang “tidak tampak”, bukan hanya yang “tampak”. Bukan lagi fisik tapi mental
dan batin. Maka literasi dan taman bacaan, pasti menjadi jalan sunyi pengabdian
yang tidak banyak orang memahaminya.
Literasi, memang hadir untuk melawan
yang tampak. Menetralisir apa-apa yang semuanya diukur secara fisik dan
terlihat jelas. Literasi bergerak di jalan sunyi, di kesepian, dan di kebenaran
bukan keramaian. Karena literasi tidak butuh pujian. Tidak butuh dicintai untuk
sesuatu yang bukan diri kita. Di ujung jalan literasi, akhirnya kita benar-benar
merasakan siapa diri kita yang sebenarnya. Untuk membuat siapapun yang ada di
dalamnya, tidak merasa sia-sia dalam hidupnya.
Itu semua bukti, manusia hari ini lebih
sering dipengaruhi oleh akal dan pikiran, bukan lagi hati. Maka literasi harus
berpegang pada esensi, bukan seremoni. Salam literasi #CatatanLiterasi
#TBMLenteraPustaka #TamanBacaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar