Zaman boleh maju, boleh serba digital. Tapi faktanya, kian banyak orang yang pengen mengatur hidup orang lain. Bila perlu, orang lain di bawah kendalinya, di bawah kekuasaannya. Sebut saja, manusia yang gila pengaruh. Maka apa saja dilakukannya. Asal bisa jadi orang berpengaruh. Tapi sayang, orang itu masih takut sama virus Covid-19.
Orang-orang
gila pengaruh. Lalu, merasa berkuasa atas orang lain. Hobi memberi tahu orang lain
tanpa ditanya. Tapi giliran
di medsos, berteriak seolah jadi korban, seperti orang baik. Tapi di dunia nyata,
semuanya bertolak belakang. Gambarnya tidak seindah aslinya. Manusia gila pengaruh
itu tidak punya prestasi bahkan tidak bisa apa-apa. Tapi perilakunya sering ngotot untuk
membuktikan kepintarannya. Agar
mendapat pengakuan dari orang-orang sekitarnya. Penting banget kali ya.
Belum punya kekuasaan sudah bertindak sesuka hati. Kerjanya hanya
mencari-cari kesalahan orang lain. Bahkan kesalahan negara dan pemimpinnya pun
bisa jadi alat untuk mem-bully. Belum apa-apa sudah ingin melukai orang lain.
Pikirannya buruk, sikapnya gamang, dan perilakunya tidak berkualitas. Merasa
benar sendiri, sementara semua orang lain salah. Maka wajar ada pepatah “belum
berkuku hendak mencubit”.
Belum apa-apa sudah bertindak sesuka hati. Belum ada
kontribusi sudah teriak berbuat ini berbuat itu. Tidak ada manfaatnya tapi merasa
paling berguna di mata orang lain. Manusia yang lupa. Bahwa dia bukan apa-apa
dan bukan siapa-siapa di muka bumi ini.
Belum berkuku hendak mencubit.
Mereka yang kerjanya mau menyalahkan tanpa mau
disalahkan. Berani mengkritik tapi tidak mau dikritik. Gemar menghakimi tapi
tidak mau dihakimi. Ingin jadi orang benar tapi caranya mengumpulkan kesalahan
orang lain. Pikirannya rancu, perilakunya keliru. Manusia yang tekun
dan rajin memperjuangkan pikiran yang tidak
sepenuhnya benar. Sangat subjektif dan terlalu gila pengaruh. Itulah realitas
sebagian orang di era digital ini.
Entah kenapa? Hari ini banyak orang gemar “tidur bareng” dengan ketakutan,
keraguan, kesalahan, kebencian hingga takhayul. Di mata mereka, “kebaikan nyata” dianggap nisbi. Bila
bertindak baik pun hanya dijadikan objek nafsu dan selera semata. Untuk
publikasi di media sosial. Setiap hari, mereka berjuang mati-matian
untuk kepentingannya sendiri. Sebut saja, manusia-manusia
nothing.
Mungkin ke depan, manusia gila pengaruh akan kian
marak.
Selaian egois dan individualis, mereka hidup dalam nafsu.
Iya nafsu, yang ada di antara naluri dan akal sehat. Saat nafsu bersemayam,
maka naluri hilang dan akal sehat pun bersembunyi. Maka ketika naluri
dan akal bersinergi. Di situlah manusia tidak akan
pernah istirahat dari kecemasan yang dia bangun sendiri. Selalu merasa tidak puas dan ingin berkuasa. Kekuasaan
atas nama nafsu. Kekuasaan yang menipu.
Maka wajar. Untuk siapapun.
Ketika nafsu berkuasa, maka tiap orang selalu melihat orang lain sebagai
ancaman. Jangan ingin bermanfaat bagi orang lain. Tapi orang justru dilihat
sebagai musuh.
Ketika gila pengaruh, maka akhirnya “gajah
di pelupuk mata tak tampak, kuman di seberang lautan pun tampak”. Alias kesalahan
orang yang sedikit tampak, tetapi kesalahan sendiri yang besar tidak
tampak. Hingga
akhirya “bagai balam dengan ketitiran”, dia yang tidak bisa apa-apa, tapi
yang disalahin orang lain. Akibat terlalu gila pengaruh. Bak “belum berkuku
hendak mencubit”. Kok bisa ya?
Hidup itu nasehat. Pepatah pun isinya nasehat atau
wejangan. Agar siapa pun tetap berhati-hati. Agar tidak usah
cemas apalagi khawatir sedikit pun. Atas apa
yang dipikirkan atau dikatakan orang lain. Karena mereka, mungkin dalam
keadaan tidak mengerjakan apapun. Gelisah atas gila pengaruhnya sendiri.
Maka tetaplah lakukan yang terbaik, kerjakan yang
bermanfaat untuk orang lain. Khoirunnass anfa’uhum linnass. Karena sebaik-baik
manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.
Hari ini, memang tidak cukup punya pikiran bagus. Bila
tidak mampu digunakan dengan baik. Salam literasi. #TamanBacaan
#TBMLenteraPustaka #BacaBukanMaen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar